Pemotongan Pajak AS, Populis tetapi Tidak Populer
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Partai Republik memberikan hadiah Natal kepada rakyatnya berupa pemotongan pajak secara substansial. Kebijakan yang diyakini akan menaikkan popularitas pemerintah yang rendah ini ternyata tidak populer di mata publik AS. Sebuah pelajaran berharga bahwa kebijakan publik yang populis, tetapi sarat persoalan ternyata tetap berujung pada popularitas yang rendah.
Pasca-pemotongan pajak, diskusi publik tentang arah kebijakan fiskal AS justru semakin menguat. Seberapa besar defisit anggaran akan meningkat dan utang pemerintah akan terakumulasi akibat pemotongan pajak? Seberapa besar defisit dan utang itu akan semakin bertambah lagi karena meningkatnya pengeluaran untuk infrastruktur sebagaimana dijanjikan presiden?
Apakah Partai Republik yang konservatif telah berubah ideologi? Benarkah narasi politik yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi yang tercipta karena pemotongan pajak dan tambahan infrastruktur akan meningkatkan penerimaan dan pada akhirnya mendispensasi berkurangnya pemasukan pajak?
Kongres AS yang dikuasai Partai Republik, baik di DPR (House of Representative) maupun Senat, menyetujui pengurangan pajak dengan nilai fantastis, sekitar 1,5 triliun dollar AS, dalam satu dekade ke depan. Pengesahan Kongres atas Tax Cut and Job Act (TCJA), dan kemudian menjadi undang-undang setelah ditandatangani Presiden Trump pada 22 Desember 2017, tepat terjadi sebelum liburan Natal.
Respons publik dan dampak fiskal
Bagi kaum Republiken, persetujuan Kongres ini sebuah pencapaian besar setelah kegagalan sebelumnya pada isu Obama Care yang memalukan dan serangkaian kejadian yang menunjukkan perpecahan di internal partai yang berujung pada popularitas yang rendah. Bagi Trump, pencapaian ini dianggap sebagai kemenangan besar setelah hampir satu tahun pemerintahannya tidak menghasilkan kebijakan yang substansial.
Meskipun besaran komponen pajak (tax code) sering kali diubah, reformasi pajak kali ini memiliki magnitude terbesar dalam tiga dekade terakhir, sebanding dengan yang dilakukan di masa Presiden Ronald Reagan. Perbedaan besar dari kedua ”tax overhaul” itu adalah bahwa kali ini prosesnya dilakukan secara sangat tergesa-gesa dan dibayangi oleh penerimaan publik yang rendah meski tergolong kebijakan yang sangat populis.
Ketergesaan terlihat dari pembahasan secara sepihak di Partai Republik dengan tidak satu pun anggota DPR ataupun Senat dari Partai Demokrat yang mendukung. Diskusi publik yang panjang, yang melibatkan banyak pihak seperti yang terjadi di masa Reagan, juga tidak dilakukan.
Kesepakatan bipartisan bukan saja tidak terlihat, bahkan draf usulan diserahkan kepada Demokrat dengan tenggang waktu yang sangat terbatas sebelum pemungutan suara. Republiken benar-benar memanfaatkan posisi mayoritasnya di Kongres untuk memuluskan jalan segera bagi pengesahan reformasi pajak yang mendasar ini.
Ketergesaan itu pula yang menjadi latar belakang penerimaan publik yang rendah, padahal seharusnya publik merasa gembira karena mendapatkan pengurangan pajak. Sekumpulan ahli pajak, dari praktisi sampai akademisi, membuat sebuah petisi yang menyatakan kelemahan struktural dalam TCJA adalah dari mulai keberpihakannya kepada kelompok elite sampai kepada risiko hambatan internasional, seperti perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Keberatan sama terlihat dalam bentuk protes baik di jalan maupun di media tentang struktur pajak yang lebih menguntungkan sebagian kecil kelompok elite. Namun, semua keberatan itu tak diindahkan. Janji bahwa reformasi pajak akan bersifat ”revenue neutral” (tak berpengaruh pada pendapatan) juga hanya sebatas retorika politik belaka. Komite Gabungan Perpajakan (Joint Committee on Taxation/JCT) memperkirakan tambahan defisit 1,5 triliun dollar AS dalam satu dekade ke depan.
Sementara beberapa ekonom memperkirakan tambahan rasio defisit terhadap produk domestik bruto (PDB) dari 3,5 persen pada tahun ini menjadi lebih dari 5 persen pada 2022. Rasio utang pemerintah terhadap PDB juga diperkirakan meningkat dari 76 persen tahun ini menjadi sekitar 90 persen pada 2022 dan terus meningkat mendekati 100 persen pada akhir periode pemotongan pajak ini, yaitu pada tahun 2027.
Hitung-hitungan defisit tersebut tentu saja belum memperhitungkan tambahan pengeluaran yang akan dibahas terpisah pada saat penyusunan anggaran, misalnya dalam hal tambahan pengeluaran infrastruktur yang telah sering dijanjikan.
Kenyataan lain yang harus disadari adalah ruang ekspansi fiskal AS sudah sangat terbatas atau bahkan tak ada. Pada 22 Desember, saat pemotongan pajak ditandatangani Trump dan menjadi UU, sebenarnya adalah jadwal pembahasan batas utang pemerintah yang tak boleh dilampaui kecuali ada kesepakatan politik baru untuk menaikkan batas atas utang itu (debt ceiling).
Namun, Kongres untuk kesekian kalinya berhasil mengundur pembahasan dengan menyetujui ”stopgap spending bill” yang akan menghindari terjadinya kelumpuhan pemerintahan (partial government shutdown). Ke depan, pengurangan penerimaan pajak tentu akan semakin meningkatkan utang yang mendekati batas maksimalnya itu.
Cerita keseluruhan tentang pengurangan pajak dan juga janji tambahan pengeluaran infrastruktur di tengah kenyataan tidak adanya ruang fiskal karena ketiadaan likuiditas fiskal sangat sulit untuk dicerna. Gambaran semacam itu menjadi kian absurd ketika kebijakan fiskal yang sangat ekspansif semacam ini sesungguhnya juga sangat berbeda dengan sifat Partai Republik yang biasanya konservatif.
Dampak ke perekonomian
Narasi politik tentang dampak luar biasa dari pengurangan pajak pada perekonomian juga banyak didiskon para ekonom. Dampak pada pertumbuhan diperkirakan terbatas, antara 0,2 poin persen dan 0,4 poin persen.
Pengurangan pajak korporasi yang cukup besar, yaitu dari 35 persen menjadi 21 persen, belum tentu ditransmisikan menjadi tambahan investasi. Sementara itu, pengurangan pajak pendapatan diperkirakan tidak banyak berdampak kepada konsumsi karena sebagian besar penerima pengurangan pajak itu adalah kelompok berpenghasilan tinggi yang pola konsumsinya tidak lagi sensitif.
Keberpihakan kepada segelongan kelompok elite, ketidakjelasan arah kebijakan fiskal, dan minimnya diskusi publik kemudian menjadikan reformasi pajak yang sangat populis ini pada akhirnya menjadi tidak populer. Dari sembilan survei yang diadakan pada Desember lalu, secara rata-rata 52 persen responden menolak reformasi pajak, dan hanya 33 persen yang setuju.
Selisih minus 19 persen antara yang menerima dan yang menolak tersebut sangat berkebalikan apabila dibandingkan dengan survei pada tahun 1981 pada saat pengurangan pajak oleh Reagan dilakukan dengan hasil selisih positif sebesar 25 persen (lebih banyak yang menerima), atau sebesar positif 12 persen pada tahun 2001 pada saat George Walker Bush melakukan pemotongan pajak.
Bahkan, dibandingkan dengan kenaikan pajak yang tidak populer di masa Bill Clinton dengan selisih negatif sebesar minus 10, kebijakan Trump yang populis ini bahkan kalah populer.
Ke depan, pembahasan fiskal tentang debt ceiling dan tambahan anggaran untuk infrastruktur diperkirakan masih kontroversial, ditambah dengan agenda pembahasan lain yang tidak kalah kontroversial, seperti kebijakan perdagangan luar negeri dan deregulasi di sektor keuangan. Di bidang politik, pengusutan keterlibatan Rusia dalam pemilu yang lalu serta kebijakan luar negeri AS dalam hal Israel yang ditolak mayoritas anggota PBB juga akan terus mewarnai berita dengan nada yang sumbang.
Popularitas partai Republik yang terus menurun telah berdampak buruk, seperti kekalahan pada pemilihan Senat baru-baru ini di Alabama yang dikenal sebagai salah satu basis Republiken. Dengan agenda pemilu Senat pada tahun 2018, Partai Demokrat hanya perlu memenangi pemilihan untuk merebut mayoritas di panggung politik. Pada saat itu, agenda politik Amerika akan semakin menarik lagi.
ERWIN HARYONO, Kepala Perwakilan Bank Indonesia di New York