logo Kompas.id
OpiniPerang Yaman dan Separatisme...
Iklan

Perang Yaman dan Separatisme Selatan

Oleh
Smith Alhadar
· 6 menit baca

Aden, markas pemerintahan Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi yang diakui PBB, dilanda konflik militer. Pada 29 Januari, kelompok bersenjata dukungan Uni Emirat Arab mengudeta pemerintahan Hadi dukungan Arab Saudi. Kelompok bersenjata yang setia pada Dewan Transisi Selatan (STC), gerakan politik yang ingin memisahkan diri dari Yaman utara yang dikuasai Houthi, memilih jalan militer. Seminggu sebelumnya, STC pimpinan Aidarous al- Zubaidi menuntut Hadi memecat Perdana Menteri Ahmed bin Dagher dan membubarkan kabinet kalau ingin pemerintahan berlanjut. Persis yang dilakukan Houthi tiga tahun lalu.Perang Yaman pun memasuki babak baru. Kini kubu Hadi bukan hanya berperang melawan Houthi dukungan Iran dan loyalis mantan Presiden Ali Abdullah Saleh, melainkan juga harus menghadapi STC. Perkembangan ini menyulitkan posisi koalisi Arab pimpinan Arab Saudi untuk melanjutkan perang di Yaman. Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) ingin menjadikan perang Yaman ajang legitimasi. Ia mengambil risiko besar membawa Arab Saudi berperang di Yaman demi mengembalikan Hadi  ke tampuk kekuasaan sekaligus menyingkirkan pengaruh Iran. Posisi Yaman sangat strategis. Menguasai Yaman sama dengan menguasai Selat Bab el-Mandeb, tempat lalu lalang puluhan tanker internasional. MBS juga ingin dipandang rakyat Saudi sebagai mujahid agar posisinya mendapat legitimasi. Namun, di luar dugaan MBS, kendati perang telah berlangsung hampir tiga tahun, nyaris tidak ada kemajuan yang dicapai koalisi. Houthi tetap menguasai sebagian besar wilayah Yaman utara, termasuk ibu kota Sana\'a. Upaya menyelesaikan perang bukan tidak ada. April 2016, dengan dukungan koalisi, pihak-pihak bertikai berunding di Kuwait dengan PBB sebagai mediator. Sayang, perundingan tiga bulan itu tidak membuahkan hasil. Terpisah lamaYaman utara dan Yaman selatan telah terpisah lebih dari satu abad ketika Yaman utara dijajah Turki Usmani dan Yaman selatan di bawah dominasi Inggris. Pada 1967, rakyat di selatan merdeka dari Inggris dan mendirikan Republik Demokratik Rakyat Yaman dengan ibu kota Aden. Yaman Utara lebih dulu merdeka dari penjajah Turki, tetapi pada 1962 kaum nasionalis memberontak terhadap kaum royalis. Perang saudara berlangsung enam tahun, berujung pada kemenangan kaum nasionalis. Mereka mendirikan Republik Arab Yaman dengan ibu kota Sana\'a. Tahun 1990, kedua Yaman bersatu. Namun, pada 1994 pihak selatan memberontak meski berhasil dipadamkan pihak utara. Dari segi mazhab pun berbeda. Mayoritas penduduk selatan menganut Sunni mazhab Syafi\'i, mayoritas populasi utara menganut mazhab Syiah Zaidiyah. Kedudukan penting dalam struktur kaum Zaidi adalah imam keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad Rasulullah, dalam keagamaan sekaligus politik.  Rintangan lain yang dihadapi koalisi dalam menaklukkan lawan adalah perselisihan Uni Emirat Arab (UEA) dan Hadi serta ketidakkompakan koalisi.  UEA marah kepada  Hadi yang memecat Gubernur Aden Mayor Jenderal Aidarous al-Zubaidi dan Perdana Menteri Khaled Mahfoud Bahah, keduanya loyalis UEA, setelah mengetahui mereka menggerakkan separatisme. Zubaidi membentuk dan memimpin STC  beranggotakan 303 orang dengan mengabaikan Hadi, termasuk menolak menyerahkan Bandara Internasional Aden. Zubaidi dipromosikan UEA dengan memberikan uang dan pasukan dengan dugaan UEA ingin mengendalikan Pulau Socotra yang strategis di Samudra Hindia dan pelabuhan Aden. Di luar itu, UEA telah menghabiskan 3 miliar dollar AS untuk pembangunan infrastruktur di selatan dan beberapa miliar dollar lagi untuk mempersenjatai kelompok separatis selatan. Ini menunjukkan UEA sedang memperluas pijakan, apalagi UEA berkepentingan pada keamanan Selat Bab el-Mandeb.           Saudi ketinggalan dalam soal ini karena enggan mengirim pasukan darat ke Yaman. Melihat tekanan internasional yang terus meningkat, UEA mengambil prakarsa sendiri. Perselisihan Saudi- UEA kian runcing karena UEA tak mau partai mana pun yang dekat dengan Hadi dan Partai Islah di lingkaran kekuasaan. Partai Islah partainya Ikhwanul Muslimin yang mendukung Hadi. Perselisihan Saudi-UEA juga terkait ditolaknya pesawat pengangkut mata uang Yaman yang dicetak di Rusia oleh UEA. Saudi mengontrol wilayah utara dan timur, sementara UEA mengendalikan wilayah selatan dan Aden. Bank Sentral Yaman (BSY), yang loyal kepada Saudi, menuduh UEA menghambat masuknya mata uang Yaman agar ekonomi Yaman tercekik. Berubah haluanAS, sekutu Saudi, juga berubah haluan menghadapi perang ini. Akhir Desember lalu, AS menyatakan perang bukan solusi. Houthi diminta menghentikan serangan rudal ke wilayah Saudi sebagai syarat memulai perundingan damai. Perkembangan yang tak diharapkan ini, ditambah ketiadaan prospek kemenangan, biaya perang yang cukup besar, dan makin lunturnya dukungan rakyat Yaman kepada Hadi, membuat Saudi ingin mengakhiri perang. Ini diharapkan bisa dilakukan setelah rekonsiliasi dengan Iran. MBS pun menghubungi Baghdad untuk menjadi perantara perbaikan hubungan Riyadh dan Teheran. Namun, rekonsiliasi gagal karena Iran mensyaratkan Saudi menghentikan serangan ke Houthi dan tak lagi bekerja sama dengan Israel. Selain jalur Iran, MBS pun mengambil jalur  UEA. Ia mengutus Ahmed al-Asiri (mantan juru bicara militer koalisi Arab) ke Abu Dhabi untuk bertemu Ahmed, putra Saleh, dan membicarakan kemungkinan membentuk pemerintahan baru  di Yaman dengan Saleh sebagai presiden. Ahmed, mantan pemimpin militer yang berkuasa, mengasingkan diri di UEA sejak lima tahun silam. Melalui Ahmed, Saudi dapat berhubungan dengan Saleh, tokoh yang telah ikut disingkirkan Saudi pada 2012. Rekonsiliasi Saudi-Saleh dapat dilihat dari sikap Saleh yang berubah terhadap Houthi. Hubungan keduanya kemudian memburuk saat Khalid al-Radhi, anggota senior Partai Kongres Umum pimpinan Saleh, ditembak mati. Desember silam, di tengah konflik bersenjata terbuka antara Houthi dan loyalis Saleh di Sana\'a, skenario Saudi  mulai berjalan ketika Saleh mengajak koalisi Arab menghentikan serangan. Sayang, dua hari kemudian, 4 Desember, Houthi membunuhnya. Pasukan Saleh pun demoralisasi. Gagallah upaya Saudi keluar dari Yaman dengan mengadu domba Houthi-Saleh. Apakah kudeta STC terhadap pemerintahan Hadi jadi peluang  MBS untuk mundur dari Yaman? Belum tentu. Kendati STC kini berkonsentrasi pada upaya menundukkan pasukan Hadi di Aden, perang belum berakhir. Houthi masih akan berperang, paling tidak sampai STC mengembalikan sebagian wilayah Yaman utara yang masih diduduki sesuai demarkasi perbatasan tahun 1990. Korban konflik ini tentu saja adalah rakyat sipil. Di utara, untuk sementara konflik internal antara Houthi dan loyalis Saleh dapat ditekan. Namun, ke depan, konflik terbuka tak terhindarkan, mengingat keduanya punya sejarah permusuhan panjang. Ketegangan hubungan keduanya saat ini merupakan cermin dari perang saudara kaum loyalis (diwakili Houthi) dan kaum nasionalis (diwakili loyalis Saleh) tahun 1962-1968. Isu Yaman pun makin rumit dan koalisi Arab ataupun PBB menghadapi kesulitan besar. Hanya Iran, Saudi, dan UEA yang mampu mengatasi, asal mereka membuang ego masing-masing di meja perundingan.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000