Untuk mengatasi ”kemunduran” demokrasi, perlu penataan sistem dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi modern.
Oleh
OTTO GUSTI MADUNG
·3 menit baca
Filsuf dan pemikir politik Karl Raimund Popper (1902-1994) mengakui keunggulan demokrasi sebab demokrasi mampu membuka ruang bagi semua warga negara untuk secara hukum dan tanpa kekerasan dapat menurunkan pemerintahan yang sedang berkuasa (Przeworski 2003, 11). Demokrasi memungkinkan transisi kekuasaan tanpa perang dan konflik berdarah. Secara historis, keyakinan Popper ini dapat dibuktikan oleh masyarakat Eropa Barat sebagai zona perdamaian dan tanpa perang sejak Perang Dunia II berakhir.
Sejak era reformasi, rakyat Indonesia juga boleh mengalami beberapa kali transisi kekuasaan secara demokratis dan tanpa konflik berdarah. Hal ini kontras dengan pengalaman berdarah pada transisi kekuasaan dari era Orde Lama menuju Orde Baru. Tragedi berdarah juga mengiringi jatuhnya rezim Orde Baru.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Musim semi demokrasi tampaknya akan berakhir. Masyarakat Indonesia harus menyaksikan masa depan demokrasi dengan tatapan pesimistis. Alasannya, sejumlah indikasi tentang intervensi kekuasaan eksekutif guna memenangkan calon tertentu sedang mengancam proses pemilu yang fair dan adil.
Tentu sangat disayangkan, Presiden Jokowi yang dipilih secara demokratis oleh rakyat Indonesia pada akhir masa kekuasaannya tidak akan dikenang sebagai negarawan, tetapi politisi yang menguburkan demokrasi dengan membuka ruang bagi dinasti politik dengan cara-cara melanggar hukum (Ahmad Sahide dalam Jokowi, dari Kesempurnaan Demokrasi Menuju Politik Dinasti, Kompas, 3/11/2023).
Namun, seperti ditegaskan oleh Vedi R Hadiz (2021), sesungguhnya ”kemunduran” demokrasi yang kita alami selama masa kekuasaan Presiden Jokowi merupakan akibat logis dari trajektori perkembangan demokrasi yang prosedural dan mengabaikan prinsip-prinsip substansial. Akibatnya, demokrasi Indonesia selalu berada dalam cengkeraman oligarki dan hanya melayani kepentingan para elite partai.
Penataan sistem demokrasi
Untuk mengatasi persoalan ini, penataan sistem demokrasi di Indonesia perlu memperhatikan beberapa prinsip demokrasi modern berikut. Pertama, prinsip kesetaraan (principle of equality). Artinya, sebuah tatanan demokratis harus memfasilitasi hak semua warga negara untuk berpartisipasi secara politis. Warga sebuah masyarakat demokratis tidak boleh mengancam atau memaksa yang lain dalam proses pemilihan. Negara juga harus menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap warga negara tanpa harus merasa takut terhadap intimidasi (Dahl 1982, 11).
Kedua, prinsip negara hukum (the rule of law). Prinsip negara hukum bertujuan untuk melindungi setiap warga negara dari praktik kekuasaan yang sewenang-wenang dan menegaskan bahwa hukum berlaku untuk setiap orang secara setara, termasuk bagi para pemangku kekuasaan (Diamond 2003). The rule of law memastikan bahwa hukum berlaku secara fair dan setara serta menjamin bahwa tak seorang pun berdiri di atas hukum. Skandal putusan Mahkamah Konstitusi yang tentang batas usia capres-cawapres telah melecehkan prinsip the rule of law sebagai salah satu pilar penting demokrasi.
Ketiga, pemilihan umum. Elemen esensial demokrasi mencakupi sistem pemilihan umum yang bebas dan fair. Para calon yang memenuhi syarat dapat mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan politis lewat proses pemilihan umum yang kompetitif. Sebuah negara yang demokratis harus memastikan adanya kesempatan yang setara bagi semua warga negara yang memenuhi syarat untuk mengambil bagian dalam proses tersebut serta memastikan bahwa penyelenggara pemilu menjadi wasit yang netral (Dahl 1982; 1998).
Keempat, prinsip kewarganegaraan yang inklusif. Prinsip inklusif menolak segala bentuk diskriminasi atas dasar jender, kelas sosial, ras, harta kekayaan, dan perimbangan lainnya. Demokrasi membuka ruang seluas-luasnya bagi semua warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih atau mencalonkan diri guna mendapatkan jabatan dalam pemerintahan. Praktik politik dinasti yang marak terjadi di Indonesia adalah hambatan bagi terbentuknya kewargaan yang inklusif.
Kelima, hak-hak minoritas. Sebuah negara demokratis harus memastikan bahwa kelompok minoritas, entah itu minoritas kultural, etnis, religius, atau bentuk minoritas lainnya, tidak dilarang secara hukum untuk mengekspresikan pandangan dan kepentingannya dalam seluruh proses politik. Negara juga harus memastikan bahwa kelompok-kelompok minoritas dapat mengekspresikan hak-hak kulturalnya.
Pilpres 2024 akan menentukan masa depan demokrasi dan bangsa Indonesia. Untuk itu, setiap kandidat yang terlibat dalam kontestasi harus memastikan bahwa kelima pilar demokrasi di atas dapat bertumbuh. Karena, hanya dengan jalan demokrasi, bangsa Indonesia dapat menggapai cita-cita hidup berbangsa, seperti diamanatkan dalam preamble konstitusi 1945.
Otto Gusti Madung, Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Maumere, Flores; Dosen Filsafat dan Alumnus Program Doktoral dari Hochschule fuer Philsophie Muenchen, Jerman