Selamatkan Mahasiswa dari Jebakan Radikalisme
Tulisan Apridar berjudul ”Perguruan Tinggi Radikal” (Kompas, 14/2) menguraikan catatan penting perihal bagaimana mengatasi dan menanggulangi arus radikalisme dan ekstremisme yang kian subur mewabah di perguruan tinggi.
- English Version: Save Students from the Trap of Radicalism
Sebab, apabila mengacu pada sejumlah hasil riset dan survei yang dilakukan oleh beberapa pihak, wajah perguruan tinggi (PT) kita kian menunjukkan aura radikalismenya. Sebutlah seperti survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa 39 persen mahasiswa sudah terpapar radikalisme. Juga penelitian Anas Zaidi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menampakkan bahwa fenomena paham radikal telah menguasai kampus-kampus besar di Indonesia.
Bahkan, apabila merujuk pada hasil penelitian paling mutakhir tentang ”Literatur Keislaman Generasi Milenial” yang dilakukan oleh Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, bekerja sama dengan PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan PusPIDep Yogyakarta pada tahun 2017, bahwa gerakan jihadi, tahriri, dan salafi mulai mendominasi di banyak PT, di mana gerakan-gerakan tersebut menjadi embrio tumbuh suburnya radikalisme dan ekstremisme.
Dari sekian hasil riset dan survei tentang virus radikalisme yang mewabah di PT, tentu kita perlu mengenali lebih dalam bagaimana paham radikalisme itu bergerak dan melingkupi kehidupan mahasiswa. Setidaknya, melalui pengenalan terhadap ruang gerak radikalisme di PT, semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan PT bisa menyelamatkan mahasiswa dari mata rantai jebakan radikalisme dan ekstremisme, sekaligus—menyitir tulisan Apridar—pimpinan PT berupaya mengembalikan kampus sebagai tempat mendidik generasi emas Indonesia.
Peta gerakan
Dengan meminjam alur pemikiran Imdadun Rahmat yang terurai dalam tulisannya yang berjudul ”Peta Pemikiran dan Gerakan Radikalisme Islam di Indonesia”, hemat penulis ada tiga model bagaimana gerakan radikal terbentuk dan memengaruhi cara bersikap mahasiswa.
Pertama, radical in mind, yaitu sebuah tahap di mana mahasiswa yang menganut paham radikal masih dalam ruang pemikiran tetapi memiliki sikap kompromis dengan realitas sosial-politik di sekitarnya. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan kelompok ini akan memproduksi berbagai agenda revivalisme dan eksklusivisme yang berpotensi besar bagi menguatnya cara pandang dan cara berpikir radikalistik di kalangan mereka. Bahkan, pada titik tertentu, ketika pemikiran radikal ini selalu berinteraksi dengan sesama mahasiswa yang satu aliran, akan bermetamorfosa pada laku radikalisme yang lebih nyata.
Selanjutnya, tidak menutup kemungkinan pemikiran radikal akan berpengaruh pada model kedua, yaitu radical in attitude. Dalam model radical in attitude ini, mahasiswa yang paham radikalnya masih bertumpu pada pemikiran akan menyasar pada perilakunya. Secara kentara, mahasiswa mulai menampakkan perilaku-perilaku yang tidak kompromis terhadap realitas sosial-politik di sekitarnya, semisal pola pergaulan sosial dan cara berpenampilan yang eksklusif.
Hal ini bisa dicermati pada pola kegiatan akademik yang berlangsung secara terbatas antarmereka, cara bertutur dan mengekspresikan model keberagamaannya, cara memperlakukan orang yang berbeda aliran, dan semacamnya. Bahkan, tidak jarang perilaku radikal mereka senantiasa menghadirkan nama Tuhan untuk menjustifikasi sikap pembenaran terhadap apa yang diyakini dirinya dan terhadap apa yang diyakini oleh orang lain.
Kondisi ini akan berpengaruh pada kecenderungan radikal yang lebih frontal, di mana ekspresi radikalisme bermetamorfosa pada model ketiga, yaitu radical in action. Dalam model ini, kelompok yang semula pemikirannya menganut paham radikal dan perlahan-lahan mulai termanifestasi pula dalam perilakunya, akan beranjak pada implementasi radikalisme yang lebih sarkastik. Di fase ini, mereka mulai menempuh cara-cara tertentu untuk memaksa terwujudnya cita-cita mereka guna memperjuangkan nilai-nilai yang berbasis pada sistem keberagamaannya yang dianggap sebagai jalan kebenaran dan kemuliaan yang paling diridai Tuhan.
Dalam mengeksekusi perjuangan mereka, tidak segan-segan ditempuh dengan cara-cara inkonstitusional dan melawan hukum, seperti melancarkan kegiatan teror dan pengeboman. Hal ini bisa dicermati pada beberapa kasus pengeboman yang pernah melibatkan mahasiswa sebagai pelaku dan desain terornya.
Itulah konstruksi radikalisasi yang mulai menggejala di kalangan mahasiswa. Hal ini akan jadi ancaman serius apabila gerakan mereka tidak ditandingi oleh gerakan moderatisasi yang lebih kuat. Sebab, apabila ketiga peta gerakan radikal ini semakin menguat di lingkungan kampus, tidak mustahil berbagai kampus yang selama ini dikenal sebagai agen perubahan sosial dan kemajuan serta sokoguru peradaban Indonesia yang moderat dan inklusif, akan berubah wujudnya sebagai lembaga pendidikan yang akan dimanfaatkan oleh kaum radikalis untuk merancang berbagai laku penyelewengan secara sistematis dan masif yang akan menghancurkan Indonesia.
Kita semua tentu tidak menginginkan PT menjadi semacam benalu yang menambah rentetan masalah sosial yang dapat merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pengelola PT harus sigap merancang berbagai kebijakan yang dapat memperkuat keberadaan mahasiswa generasi emas yang didambakan keluarganya, masyarakat, dan bumi pertiwi.
Kebijakan akademik
Maka, sudah seharusnya pimpinan kampus mulai waspada dan mengantisipasi setiap gerakan mahasiswa yang terindikasi terlibat dalam gerakan radikalisme. Setidaknya ada lima langkah strategis yang perlu ditempuh. Pertama, pimpinan kampus harus membuat sebuah kebijakan antisipatif berdasarkan temuan penelitian deradikalisasi agar langkah-langkahnya seiring dengan spirit akademik yang akan dibangun di kampus.
Kedua, kampus merancang dan memfasilitasi kegiatan akademik yang menunjang bagi terciptanya pembentukan nalar berpikir kritis-analitis. Dengan begitu, setiap mahasiswa memiliki sistem imunitas pemikiran dalam menangkal setiap pandangan dan aliran yang bertolak belakang dengan fitrah PT sebagai produsen ilmu pengetahuan yang mencerahkan.
Ketiga, bagi para dosen dituntut untuk membuat pola ajar dan muatan materi perkuliahan yang berhubungan dengan cara- cara penanggulangan paham radikalisme. Setidaknya, iklim berpikir kritis ini bisa bermula dari dalam kelas dan dapat memicu daya refleksi mahasiswa untuk mempertimbangkan setiap paham yang bertentangan dengan prinsip dasar PT.
Keempat, memfasilitasi kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa secara lebih progresif dengan program-program penguatan kebangsaan dan keindonesiaan. Upaya ini tak lain agar bisa menumbuhkan sikap pembelaan yang kuat terhadap negara.
Kelima, penguatan peran penasihat akademik yang dalam sistem pendidikan menjadi ujung tombak relasi mahasiswa dan dosen. Sebab, penasihat akademik merupakan konsultan bagi mahasiswa yang bisa mengarahkan hal ihwal kepentingan mahasiswa di lingkungan PT.
Lima langkah ini jadi sirkulasi kegiatan akademik yang bisa menjadi benteng pencegahan terhadap pergerakan paham apa pun yang bisa mengancam keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan, dalam konteks perguruan tinggi, kelima langkah tersebut merupakan manifestasi ilmiah dari laku bela negara yang saat ini sedang hangat dipercayai sebagai penangkal gerakan radikalisme dan separatisme.