Pembunuh
Saya bercakap-cakap dengan beberapa anak muda pada sebuah sore di dalam mal. Anak-anak muda yang sekarang disebut dengan generasi milenial. Kami bercakap segala topik kehidupan, dan dari semuanya yang paling menarik adalah topik hubungan anak dan orangtua, terutama ayah.
"Ayahku juga gitu"
"Ayahku itu, Mas, sangat otoriter. Harus masuk IPA, harus kerja di bank, dan yang paling mengesalkan gak pernah menghargai prestasi anaknya sendiri dan selalu membanggakan anak orang lain. Komen-komennya suka bikin sakit hati." Demikian salah satu anak muda itu menjelaskan.
Ia masih terus curhat pada sore hari itu. "Sekarang, sih, aku lawan, Mas. Kemarin itu aku bilang gini aja. Papa kalau gak bisa menghargai anaknya, mending diem aja." Mendengar itu saya balik bertanya. "Terus Papa bilang apa setelah kamu ngomong gitu?" Ia langsung menjawab dengan segera. "Diem aja."
Yang duduk di hadapan saya adalah anak muda yang tenang, yang terlihat menjadi pendengar yang baik dari sejak semula. Tetapi, setelah mendengar cerita temannya berkeluh kesah, ia turut mengeluarkan suaranya yang sedari tadi membisu. Komentarnya hanya singkat dan diucapkan tanpa emosi. " Ayahku juga gitu. Sama aja."
Tak lama setelah itu, anak muda yang pertama bercerita lagi. "Aku disuruh berhenti dari pekerjaanku yang sekarang, padahal aku suka banget, Mas. Aku tu heran, emang orangtua enggak suka, ya, lihat anaknya tu seneng? Padahal, selain sekarang bekerja, aku nih masih melanjutkan studi S-2, dan kuliah itu aku bayar pakai uangku sendiri. Gitu aja masih banggain anak orang lain. Heran!" jelasnya lagi.
Mendengar ceritanya itu dan mendengar komen singkat macam "ayahku juga gitu", pikiran saya melayangkan kepada ayah saya sendiri. Dan saya tak akan lagi menceritakan apa saja yang sudah diperbuatnya kepada saya.
Saya telah berulang kali menuliskannya di kolom ini, sampai-sampai beberapa pembaca pernah memberi komentar tentang bagaimana tak santunnya saya membeberkan kejelekan ayah saya di ranah publik.
"Sami mawon"
Sore itu pun saya menimpali penjelasan dua anak milenial itu dengan kalimat yang sama, ayahku juga gitu. Saya sempat berpikir kok perlakuan ayah zaman dulu dan zaman now itu tampaknya sami mawon. Tak ada bedanya.
Ketika percakapan itu berlangsung dengan komentar seperti di atas, saya masih mencoba menengahi dengan mengeluarkan pendapat bahwa orangtua itu, terutama ayah sebagai kepala rumah tangga, hanya ingin agar anak-anaknya itu bisa mapan, tidak susah pada masa tuanya. Jadi, itu hanya sebuah keinginan yang mulia meski penyampaian mungkin jadi menyakitkan.
Keduanya mengangguk tanda setuju, tetapi dengan muka yang jauh dari menyetujui apa yang dianggukkan kepalanya. Karena setelah mendengar komentar saya, yang mungkin dianggap sok bijak, saya masih mendengar keluhan yang lumayan panjang dengan raut wajah yang penuh dengan kekesalan yang sangat.
Waktu saya menceritakan bahwa ayah saya juga menyakitkan dan tidak mendukung kesenangan saya menggambar dengan komentarnya yang tak pernah bisa saya lupakan, salah satu dari kedua anak muda itu langsung menyambar. "Samaaa, Mas. Aku ini suka nyanyi dimarahin, katanya cuma nyanyi-nyanyi doang. Papa tu susah banget menghargai."
Sepulang dari kumpul-kumpul itu, yang terngiang di kepala saya adalah ucapan si anak muda yang kesal itu. "Emang orangtua tuh enggak suka, ya, lihat anaknya tu senang?" Sungguh saya tak berani mengomentari pertanyaannya itu sebab saya bukan seorang ayah.
Saya tak memiliki sudut pandang seorang ayah sehingga tulisan ini pun menjadi sebuah tulisan seorang anak berusia 55 tahun yang sedang mempertanyakan hal itu. Sayang bapak saya sudah meninggal dunia, tetapi friksi anak dan orangtua juga saya alami.
Dulu saya sempat berpikir pemaksaan kehendak itu sebagai sebuah aksi pembunuhan tak berdarah yang dilakukan ayah saya terhadap saya sebagai anak. Membunuh cita-cita, membunuh semangat, membunuh kesenangan.
Masuk ke jurusan IPA itu juga bukan cita-cita saya karena sedari dulu saya tahu saya tidak mampu di jurusan itu. Tetapi, yaa... saya lakoni dengan menjadi peringkat ke-30 dari 30 murid. Pada masa itu pun saya bertanya mengapa orangtua sepertinya tidak senang kalau anaknya senang.
Saya bahkan kalau mengalami mimpi buruk, yang datang dalam mimpi itu adalah ayah. Sampai tulisan ini saya akhiri sebagai seorang anak, saya menganggap bahwa perlakuan yang menyakitkan saya alami dengan ayah adalah sebuah bentuk kekhawatiran.
Kekhawatiran seorang manusia yang memiliki rasa percaya diri yang rendah dalam melakoni perannya sebagai ayah sehingga mungkin tanpa disadari, ia menjadi \'pembunuh\' dan membuat korbannya tersakiti meski tak berdarah.
Apakah \'pembunuhan\' yang dilakukan itu sebuah bentuk cintanya kepada saya, saya sungguh tak tahu. Saya bukan seorang ayah, pembunuh pun bukan.