Kesepakatan negara-negara pengekspor minyak, OPEC, dengan Rusia untuk mengontrol produksi minyak bumi belum tentu efektif mendongkrak harga minyak.
Arab Saudi, negara produsen minyak bumi terbesar di dalam OPEC, menjalin kesepakatan dengan Rusia untuk mengontrol produksi minyak bumi. OPEC melakukan upaya ini untuk memastikan harga minyak bumi tidak meluncur turun seperti tiga tahun terakhir.
Upaya Arab Saudi mewakili langkah kartel negara-negara produsen minyak bumi merangkul negara-negara non-OPEC membatasi produksi minyak. Tahun lalu kesepakatan pembatasan produksi sudah dilakukan di dalam OPEC dengan tujuan sama. Saat itu langkah yang juga diprakarsai Arab Saudi masih diragukan efektivitasnya mengingat pengalaman sebelumnya di antara para anggota.
Sejak pertengahan tahun lalu harga minyak bumi beranjak naik dari 40-an dollar Amerika Serikat (AS) per barrel. Saat ini harga mencapai 70 dollar AS per barrel dan OPEC menginginkan harga terus naik. Namun, upaya untuk mengontrol pasokan agar mendongkrak harga terhalang produksi minyak dan gas serpih (shale oil and gas) AS. Negara ini menjadi produsen terbesar minyak serpih dunia.
Perkembangan teknologi di AS telah memungkinkan produksi minyak serpih dengan harga murah. Langkah OPEC sebelumnya sengaja membanjiri pasar dengan harapan produsen minyak serpih akan gulung tikar karena harga minyak dunia yang murah tidak berjalan efektif.
Perjanjian kerja sama OPEC dan negara-negara non-OPEC untuk mengontrol produksi dan harga minyak dunia belum tentu akan berjalan seefektif yang diinginkan. AS dan Kanada memiliki cadangan minyak serpih cukup besar. Selain dapat memenuhi kebutuhan dalam negerinya, AS juga mulai mengekspor minyak dan gas serpih dengan harga relatif murah.
Perkembangan terakhir ini menimbulkan kekhawatiran upaya mengendalikan emisi gas karbon penyebab pemanasan global akan semakin jauh dari target yang disepakati dalam pertemuan Paris dua tahun lalu.
Kita juga menyaksikan perubahan situasi geopolitik dunia. Adagium di dunia politik, yaitu tidak ada musuh tetap, melainkan kepentingan bersama, terlihat dalam langkah OPEC dan Rusia.
Kedua negara tidak merasa ada halangan bekerja sama dalam produksi minyak meskipun kepentingan mereka berseberangan di Suriah. Faktanya, keduanya membutuhkan devisa. Arab Saudi untuk membuat lebih modern perekonomian dan politik dalam negerinya, sementara Rusia butuh devisa karena sanksi ekonomi Barat akibat invasi ke Krimea.
Dari kesepakatan OPEC dan Rusia itu kita perlu menyadari bahwa tatanan ekonomi sedang berubah. Arahnya belum terlalu jelas setelah AS di bawah Presiden Donald J Trump tidak menunjukkan perhatian ingin menjadi polisi dunia. Bagi kita mempertahankan politik bebas dan aktif seraya mengutamakan kepentingan dalam negeri akan semakin relevan ke depan.