Jalan Hidup
Beberapa minggu lalu, saya menemani rekan bisnis saya di sebuah pertemuan dengan para bankir. Di tengah gelak tawa dan guyonan, mereka berbicara secara fasih mengenai dunia yang ingin saya raih, tetapi kemampuan otak sama sekali tak mendukung. Di sore menjelang malam itu tebersit di pikiran saya mengapa saya tak sepandai mereka?
UUD
Waktu saya menceritakan perasaan iri hati itu, beberapa orang mengatakan saya ini tak tahu diri karena, menurut mereka, manusia itu diciptakan berbeda-beda dan memiliki jalan hidup yang berbeda juga. ”Mereka pandai ngitung, kamu, kan, pandai nyusahin orang,” demikian mereka meledek saya.
Saya itu ingat saya pernah dicaci maki kalau saya ini percaya bahwa jalan hidup setiap orang itu sudah dari sejak awal ditentukan saat mereka lahir. Jadi, kalau sudah enggak pandai berhitung, ya, enggak bakalan pandai. Jadi, seperti matahari, kalau terbit, ya, dari timur, bukan dari utara.
Setelah mendapat caci maki itu, saya masih dikirimi ungkapan-ungkapan superpositif yang mengatakan bahwa kalau saya mau, saya bisa. Kalau orang lain bisa, kamu juga pasti bisa. Saya sendiri juga pernah membaca ungkapan-ungkapan superpositif semacam itu.
Maka, saya bersemangat untuk mengikuti dan mematuhi ungkapan itu dan tak lagi mau memercayai apa yang saya percayai sejak awal dan yang telah mampu mengundang caci maki. Apalagi teman-teman saya yang kehidupan spiritualnya luar biasa mengingatkan saya bahwa tak ada yang mustahil bagi Tuhan Yang Maha Kuasa itu.
Saya bertambah yakin untuk meninggalkan cara pandang awal itu dan makin giat mengikuti petuah dari ungkapan itu disertai doa siang dan malam meski jauh di lubuk hati saya keder apa, ya, Tuhan mau memberikan apa yang saya inginkan?
Masalahnya saya ini tahu pasti dan tak meragukan bahwa Tuhan itu Maha Kuasa, tetapi masalahnya saya ini tidak tahu apakah Tuhan mau atau tidak untuk memberikan apa yang saya minta seperti Dia memberikan hal yang sama kepada orang lain.
Dari semua profesi yang saya ketahui, saya selalu iri terhadap mereka yang pandai bergelut dengan dunia keuangan. Ada teman saya yang bercerita kalau rekan bisnisnya hanya dengan melihat angka sekilas saja, ia tahu bahwa laporan itu ada yang salah. Belum lagi yang mampu menghitung dengan cepatnya seperti petir menyambar.
Otak ayam
Iri hati terhadap mereka yang pandai soal mengurus duit dan angka itu awalnya sama sekali tidak ada. Saya cukup menikmati hidup saya sebagai manusia yang dijuluki otaknya seperti ayam tak punya otak meski di masa menjadi murid SMA sering dimarahi ayah karena saking gobloknya ilmu pengetahuan alam.
Kata cukup yang saya tuliskan itu karena di tengah saya bisa menikmati hidup seperti ayam tak punya otak dan mendengar ayah naik pitam terselip juga protes-protes duniawi, seperti kenapa saya tidak kaya, tidak tampan, tidak tinggi, dan tidak laku-laku.
Rasa ingin untuk dapat sepandai para bankir dan ahli keuangan itu baru muncul setelah saya mengalami sendiri bahwa apa pun yang ingin saya lakukan untuk mewujudkan kesenangan, kok, selalu saja berakhir dengan soal uang.
Dari keinginan yang supersederhana sampai yang lumayan besar menurut ukuran saya, selalu saja ujung-ujungnya, ada duit enggak, ya? Dari ingin punya rumah makan sampai ingin bepergian melihat dunia untuk melihat ciptaan Yang Maha Kuasa, ujung-ujungnya selalu uang.
Beberapa tahun lalu, saya pernah belajar akunting. Baru berjalan seminggu saya menyerah. Saya kasihan dengan gurunya karena tak bisa mengerti kok ada murid sebodoh ini. Bekas direktur keuangan saya juga pernah mengajari saya dan saya yakin ia sakit kepala.
Tangan kanan ayah saya juga turut mengajarkan ketika saya harus mengambil alih usaha ayah, tetapi hasilnya, ya gitu deh. Setelah berusaha, saya tahu saya memang tidak pandai berhitung bukan menyerah kalah. Sebab, sampai hari ini yang masih kuat membantu saya adalah rekan usaha saya.
Ia bukan orang yang tahu soal keuangan, ia hanya lebih pandai dari saya dan ingatannya akan angka cukup jitu. Mungkin untuk mengerti, saya memang harus diajari oleh mereka yang pandai mengajar bukan yang pandai keuangan.
Beberapa hari setelah saya bergumul dengan iri hati yang sangat itu, tak sengaja saya membaca unggahan di media sosial seorang teman lama. Begini. Jika engkau melihat bulan, engkau melihat keindahan Tuhan. Jika engkau melihat matahari, engkau melihat kekuatan Tuhan. Jika engkau becermin, engkau melihat karya Tuhan yang terbaik.
Setelah membaca itu saya pergi ke cermin besar yang ada di rumah tinggal yang seperti sangkar burung itu. Ya, saya melihat diri saya. Seorang yang diciptakan dengan otak yang seperti otak ayam, tetapi menurut Yang Kuasa itu adalah ciptaan yang terbaik.
Kalau orang lain mencibir, bahkan kalau saya sendiri mencibir atas apa yang saya peroleh, kalau hidup ini ujung-ujungnya duit, mungkin saya harus mulai berpikir bahwa saya adalah ciptaan-Nya yang terbaik.
Terbaik itu artinya dengan otak seperti otak ayam saja saya bisa mewujudkan kesenangan itu tanpa harus sepandai para bankir yang saya jumpai di sore menjelang malam itu. Dan untuk itulah seharusnya saya bersyukur.