Cerita yang Terus Berulang
Sebanyak 31 orang tewas sia-sia. Itulah judul berita utama harian ini, yang terbit Selasa, 10 April 2018. Mereka tewas karena menenggak minuman oplosan.
Judul itu dipilih memang untuk mengentakkan kita semua, khususnya pemerintah, baik di pusat maupun lokal. Terkesan tidak ada yang peduli terhadap kematian sia-sia saudara-saudara kita. Seperti diberitakan, dalam tiga hari terakhir, 31 orang tewas karena menenggak minuman oplosan. Ke-31 orang itu terdiri dari 23 warga Kabupaten Bandung, 5 warga Palabuhanratu, dan 3 warga Kota Bandung.
Kita apresiasi langkah cepat Kepolisian Daerah Jawa Barat yang mengambil langkah hukum. Polri mengambil langkah hukum terhadap orang yang mengedarkan minuman oplosan. Namun, kita memandang penegakan hukum penting, tetapi tidaklah cukup. Perlu ada langkah simultan dari pemerintah melakukan edukasi sambil mencari akar masalahnya.
Cerita 31 orang tewas akibat menenggak minuman oplosan adalah cerita yang terus saja berulang. Dokumentasi koran yang tersimpan di Pusat Informasi Kompas (PIK) menunjukkan pada 16 Maret 1995 memuat berita serupa. Judulnya, ”Keracunan Alkohol, Penyebab Kematian 11 Pemuda di Kota Solo”. Dalam kurun waktu 2015-2018 sudah 215 orang tewas karena menenggak minuman oplosan.
Jumlah itu tentunya bukan angka statistik belaka. Kita menduga di balik angka-angka itu ada masalah sosial yang butuh penanganan segera. Butuh penelitian lebih jauh untuk mengetahui apa sebab terjadinya kematian serentak saudara kita karena menenggak minuman oplosan. Apakah gejala itu merupakan fenomena eskapisme sosial, sebagai ikhtiar orang untuk keluar dari tekanan sosial?
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, melihat sebagian besar korban adalah dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Situasi yang ada membuat mereka membentuk subkultur yang menyimpang. ”Di beberapa kasus, semakin berbahaya minuman, jika berani meminum, malah dianggap sebagai jagoan” (Kompas, 10 April 2018).
Karena fenomena kematian setelah menenggak minuman oplosan adalah fenomena sosial, pendekatannya harus menyeluruh. Perlu ada langkah lain untuk mencari tahu lebih detail apa yang sedang di terjadi masyarakat kita. Pemerintah lokal perlu mengambil peran lebih signifikan. Pemerintah lokal yang sangat dekat dengan masyarakat, kecamatan, kelurahan, puskesmas, pemuka agama, RT, dan RW, perlu terus mengampanyekan betapa berbahayanya minuman oplosan tersebut. Pendidikan pada level keluarga juga amat diperlukan. Para penggiat media sosial juga bisa efektif mengampanyekan betapa bahayanya minum oplosan.
Kepolisian dan otoritas lain, seperti kementerian perdagangan perlu melakukan operasi terhadap distributor minuman oplosan. Peredaran alkohol harus dikendalikan dan tidak boleh diperjualbelikan secara bebas. Jangan biarkan kematian sia-sia terus berlanjut!