Beberapa tahun terakhir, Pemerintah China terlihat sangat agresif mendorong terwujudnya kerja sama China-ASEAN dan peran strategis China-ASEAN di Asia Timur.
Menyusul klaim dan sejumlah manuver agresif dan provokatifnya di Laut China Selatan (LCS) dan di tengah berbagai kecurigaan yang ditujukan padanya, China kini seakan berusaha meyakinkan ASEAN dan dunia internasional tentang paradigma China era baru, yang nonkonfrontatif, mengedepankan semangat kerja sama, dan proaktif mewujudkan stabilitas di kawasan.
Baik China maupun ASEAN sama-sama menyadari, stabilitas LCS adalah harga mati untuk bisa terwujudnya stabilitas ekonomi dan juga politik kawasan. LCS adalah salah satu jalur laut lalu lintas perdagangan tersibuk di dunia, dengan nilai total 3,37 triliun dollar AS (sumber lain menyebut 5,3 triliun dollar AS), yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi Asia Timur.
Konflik dan ketegangan politik akibat saling klaim atas wilayah perairan terluas di dunia itu tak hanya akan mengganggu aktivitas ekonomi dan perdagangan kawasan, tetapi juga ekonomi dunia. Oleh karena itu, sangat dipahami jika negara seperti AS juga merasa sangat berkepentingan dengan terwujudnya stabilitas di kawasan ini. Demikian pula sikap menahan diri pihak-pihak yang bersengketa juga menjadi kunci untuk mencegah meletusnya ketegangan menjadi konflik fisik secara terbuka di kawasan.
Dalam kaitan ini, deklarasi perilaku dan tata perilaku para pihak di LCS menjadi penting untuk ditegakkan secara konstruktif. China dan ASEAN sama-sama berkepentingan untuk mendorong terwujudnya stabilitas LCS bagi kesinambungan pertumbuhan ekonominya.
Data Center for Strategic and International Studies (CSIS) 2016, sekitar 21 persen total perdagangan dunia bergantung pada jalur ini. Untuk Indonesia, 85 persen lalu lintas perdagangan harus melalui LCS. Untuk Vietnam 86 persen, Thailand 74 persen, Singapura 66 persen, Malaysia 58 persen, dan China 39 persen dari total nilai perdagangan. Lebih dari 35 persen pasokan minyak dari Timur Tengah juga harus melalui LCS.
Bagi ASEAN, China mitra dagang terbesar dalam sembilan tahun terakhir. Bagi China, ASEAN mitra dagang ketiga terbesar tujuh tahun terakhir berturut-turut dengan volume perdagangan bilateral pada tahun 2016 mencapai 452,2 miliar dollar AS.
Berbagai inisiatif kawasan, termasuk yang datang dari China, harus diimbangi dengan program agenda dari ASEAN untuk memaksimalkan kepentingan ASEAN sendiri sehingga terwujud hubungan ekonomi saling menguntungkan. Komitmen kemitraan dan kerja sama harus didasari semangat bersama mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di kawasan.
China harus mewujudkan janjinya pada era baru untuk tidak menjadi China yang memaksakan kehendak dan mengedepankan konfrontasi atau ancaman, melainkan kerja sama dan persahabatan. Kerja sama dan kemitraan strategis China-ASEAN harus terwujud dalam semangat senasib sepenanggungan.
Dari situ, baru bisa diwujudkan suatu kerja sama kawasan yang konstruktif dan hubungan saling menguntungkan, bukan zero-sum game, tetapi win-win, bagi pertumbuhan berkesinambungan di kawasan, termasuk menempatkan ASEAN sebagai prioritas dalam implementasi inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan.