Naik Kelas
Seorang ibu sedang menunggu pesanan kopinya di depan kasir sebuah gerai minimarket. Sambil menunggu kopi pesanan itu, ia meninggalkan tempatnya dan mulai berbelanja. Saya tak bisa maju untuk membayar karena kasirnya hanya satu dan sedang menyiapkan kopi pesanan si ibu.
”Sak enak udele”
Selang beberapa menit, kopi selesai dan si ibu masih asyik berbelanja. Singkat cerita, saya menunggu sampai ia selesai berbelanja. Saya sendiri tak tahu mengapa si kasir juga tidak berinisiatif melayani saya sementara si ibu sedang asyik berbelanja.
Kemudian, saya bertanya, apakah mungkin saya bisa membayar. Si kasir menjelaskan bahwa harus diselesaikan dahulu transaksi dengan si ibu karena belanjaan awalnya sudah tercatat di mesin pembayaran.
Kejadian semacam itu mungkin pernah Anda alami juga. Tak hanya di gerai tempat belanja, tetapi di anjungan tunai mandiri. Sudah beberapa kali terjadi dan saya alami, ada manusia yang menyelesaikan urusannya tanpa memedulikan bahwa ada manusia lain yang juga sedang mengantre.
Saya sendiri tak tahu apakah manusia itu dilahirkan untuk tidak peka atau memang lahirnya peka, tetapi perjalanan hidupnya yang miris membuatnya menjadi tidak peka sehingga merasa bahwa anjungan tunai mandiri, kasir di gerai minimarket seperti miliknya sendiri yang dapat digunakan seenak udelnya saja.
Dua hari sebelum saya menyetor tulisan ini, saya mengantre untuk masuk ke pemeriksaan di lapangan terbang. Saat saya sedang berdiri menunggu seorang ibu yang sedang diperiksa, tiba-tiba dari belakang seorang bapak menyerobot dan langsung berdiri di depan saya.
Kesal? Tidak. Saya tidak kesal, sama sekali tidak. Tetapi, keadaan yang sangat tiba-tiba itu membuat saya tertawa geli. Mungkin dia pikir saya sebuah patung yang hanya berdiri sebagai hiasan atau mungkin ia benar-benar tak melihat saya.
Setelah tertawa, sambil masih berdiri di belakangnya, saya menatap bahunya dan mulai melayangkan pikiran saya kepada begitu banyak peristiwa yang sak enak udele dewe ini. Peristiwa yang tak hanya saya alami sendiri, tetapi juga oleh teman-teman dan orang lain. Nurani saya kalau sudah begini suka mengambil kesempatan menjadi penasihat ulung.
Latihan
”Sabar, kamu harus melatih kesabaran, melatih mengontrol amarahmu. Semuanya untuk mempersiapkan jalan pulangmu. Bukankah doamu setiap saat selalu begitu? Meminta Tuhan agar ketika waktunya tiba, kamu nggak sedang melakukan kegiatan yang membuat jalan pulangmu itu tak selancar jalan bebas hambatan.”
”Bukankah kamu sendiri yang memohon saat napasmu berhenti, kamu tak sedang menggunakan mulutmu untuk mencaci maki dan berjanji palsu, tanganmu untuk menampar, dan kakimu tak melangkah ke tempat percabulan. Supaya ketika nyawamu diambil, kamu tak sedang melakukan hal yang tak berkenan kepada Tuhan yang kamu percayai itu?”
Setelah dinyinyiri suara nurani, saya berhenti sejenak dan teringat akan perkataan yang selalu saja keluar dari mulut dan rasanya sudah basi untuk ditulis. Saya ini belum siap meninggal dunia karena belum bisa berbuat baik dan masih banyak kurangnya. Perkataan itu sudah saya suarakan dari zaman gigi saya masih asli sampai sekarang sudah pakai gigi palsu.
Saya merasa kurang rendah hati, tetapi selalu memiliki niat untuk melakukan kesombongan melalui pura-pura rendah hati. Kurang punya waktu untuk menolong orang lain, tetapi selalu punya banyak waktu untuk menjatuhkan sesama.
Kurang banyak memberi sesama, tetapi selalu punya banyak waktu untuk mengambil milik sesama. Kurang hormat, tetapi selalu ada banyak waktu untuk mencontoh perbuatan menampar dan atau memaki petugas di bandara, polisi, atau petugas yang lainnya.
Terus sejatinya kapan saya ini mau mulai siap-siap? Nurani saya langsung menyambar. ”Dulu gigi masih asli sekarang sudah palsu aja masih belum siap. Terus nunggu sampai nggak punya gigi. Gitu?”
Kemudian hening. Setelah itu, saya harus mulai melatih untuk melihat bahwa kejadian semacam yang saya ceritakan di atas mungkin sangat dibutuhkan terjadi. Untuk mengingatkan saya bahwa yang menjengkelkan itu adalah sebuah bentuk latihan persiapan jalan pulang.
Peristiwa semacam itu tidak hanya menjadikan saya ahli menegur dan membuat orang naik kelas sehingga mereka belajar untuk mengetahui salah dan benar, tetapi juga menjadikan saya naik kelas dalam penguasaan diri. Agar saya selalu diingatkan bahwa kelahiran saya di dunia ini bertujuan untuk melakukan perbuatan yang benar dan bukan menjadi batu yang menyandung.
Untuk itu, saya perlu berlatih dan tempat latihannya adalah di sebuah situasi atau kejadian yang membuat naik pitam itu secepat kilat terjadi. Mungkin suatu hari, kalau saya berhasil dalam latihan ini, saya harus berterima kasih kepada mereka yang dengan perbuatannya telah menjadi tempat saya berlatih.
Sekarang saya masih latihan dan dalam latihan dimaklumi gagal itu wajar. Namanya juga latihan. Di saat seperti ini, suara nurani berkicau lagi dengan menikam. ”Latihan aja terus sampai elo gak punya gigi....”