Kunjungan Menteri Luar Negeri China Wang Yi ke Tokyo, Jepang, Minggu-Senin mempertegas hubungan Jepang-China yang kian mesra beberapa waktu terakhir.
Dalam sembilan tahun terakhir, Wang disebutkan merupakan Menlu China pertama yang datang ke Jepang dalam konteks pertemuan bilateral. Dengan tegas, Wang juga menyatakan bahwa kunjungan dilakukannya sebagai respons atas sikap positif Jepang terhadap China.
Sinyal positif Tokyo ditunjukkan, antara lain, sejak tahun lalu dalam pertemuan pemimpin kedua negara. Mereka sama-sama mengisyaratkan keinginan untuk ”memperbaiki” hubungan dua negara yang memiliki kekuatan ekonomi terbesar di Asia itu.
China dan Jepang dikenal memiliki relasi yang tidak mudah. Sebagian warga China masih melihat Jepang sebagai bangsa yang membuat mereka sengsara dalam perang berpuluh-puluh tahun silam. Sejak Perang Dunia II berakhir, China juga tampak melihat Jepang seperti belum sungguh-sungguh mengakui ”kesalahannya” semasa konflik bersenjata. Dikombinasikan dengan sengketa wilayah kedaulatan di Laut China Timur, hal-hal itu menjadi ”kerikil-kerikil tajam” dalam relasi kedua negara.
Namun, ketika China tampil sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia yang bersaing ketat dengan Amerika Serikat, sementara Washington cenderung menarik diri lewat slogan America First, Jepang memperlihatkan sikap yang lebih positif terhadap China. Tokyo tampak menyambut dengan lebih terbuka gagasan Jalur Sutra Modern atau Prakarsa Jalan Sabuk yang dikembangkan oleh Beijing. Dengan kata lain, Jepang melihat proyek infrastruktur ambisius China tersebut tidak dengan kecurigaan.
Dalam pertemuan di Tokyo, Menlu China dan Menlu Jepang sama-sama memberikan isyarat mengenai pentingnya menjaga perdagangan bebas. Hal ini bisa dilihat sebagai respons kedua negara terhadap langkah AS yang memulai menaikkan tarif impor. Kebijakan Donald Trump ini, selain memukul China, juga memberikan dampak pada Jepang.
Rasanya, bukan kebetulan, yang dilakukan oleh Jepang terjadi saat Presiden AS Donald Trump mengembangkan kebijakan yang cenderung proteksionis dan jaminan kehadiran AS di kawasan tampak tak terlalu meyakinkan. Hubungan AS-Jepang tampak agak terganggu pula karena Tokyo tidak dilibatkan oleh Trump saat Presiden AS ini menyatakan kesediaan untuk bertemu dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Padahal, dalam isu nuklir dan uji coba rudal Korut, Jepang ikut terancam.
Karena itu, pada waktu-waktu mendatang, sangat menarik mencermati peningkatan relasi antara Jepang dan China. Bagaimanapun, Jepang memiliki aliansi dengan AS yang terjalin sejak berakhirnya Perang Dunia II. Aliansi ini harus diakui memberikan kontribusi sehingga Jepang menjadi negara penting dalam perekonomian dunia seperti sekarang. Sampai sejauh mana Jepang mendekati China dan bagaimana pola hubungan keduanya akan mewarnai dinamika di kawasan selama era Presiden Trump.