Koruptor, ke Laut Saja!
Salah satu faktor yang membuat negeri ini membusuk adalah praktik korupsi. Sudah lebih dwiwindu perang terhadap korupsi belum juga membuahkan hasil. Peluru, amunisi, bahkan seluruh jenis senjata digunakan; tetapi korupsi seperti terus bermutasi dan menumbuhkan sistem kekebalan yang sulit dilawan oleh antibodi jenis apa pun.
Para pemimpin, pejabat, politikus terus mengidap penyakit korupsi. Mengharapkan mereka berdiri di garda terdepan perang melawan korupsi cuma bualan politik. Mengharapkan mereka seperti menggantang asap, sia-sia, harapan hampa. Mereka sering mengumandangkan slogan antikorupsi tetapi ternyata PHP (pemberi harapan palsu). Harapan kini berada pada KPU yang punya semangat melarang koruptor ikut kontestasi pemilihan umum.
Praktik suap dan kongkalikong bukan saja mengeruk uang rakyat tetapi merusak watak, karakter, dan jati diri bangsa.
Langkah KPU merupakan salah satu cara untuk menghentikan para koruptor bergentayangan di panggung politik dan menguasai jabatan-jabatan publik. Dengan begitu, mereka dapat dipotong dari akses terhadap sumber-sumber dana yang seharusnya untuk kesejahteraan masyarakat dan membangun negara ini.
Praktik suap dan kongkalikong bukan saja mengeruk uang rakyat tetapi merusak watak, karakter, dan jati diri bangsa. Bangsa ini sudah sedemikian keropos. Bayangkan sejak perang terhadap korupsi yang menjadi agenda utama reformasi, justru negara dan bangsa itu terus-menerus dibelit masalah korupsi.
Persoalan korupsi seperti benang kusut, tidak dapat diurai entah sampai kapan. Korupsi adalah problem besar bangsa ini. Dan, pembusukan itu terjadi pada bagian kepalanya (kepala daerah, pejabat, politikus, dll).
Oleh karena itu, langkah KPU ini menjadi terobosan penting untuk memotong mata rantai korupsi, yang semakin masif. Sejak awal tahun tidak sedikit kepala daerah, terutaam yang hendak maju kembali dalam arena pilkada serentak 2018, ditahan KPK. Misalnya Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif, Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan, Bupati Kebumen Mohammad Yahya Fuad, Gubernur Jambi Zumi Zola, Bupati Jombang Nyono S Wihandoko, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Subang Imas Aryumningsih, dan Bupati Lampung Tengah Mustafa.
Beranak-pinak
Bahkan, korupsi begitu mengerikannya karena sampai beranak-pinak, terjadi di lingkungan keluarga, melibatkan istri atau anak, atau kerabat lainnya. Beberapa contoh dapat disimak, seperti kasus anak-bapak Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan bapaknya Asrun, calon gubernur Sulawesi Tenggara pada Pilkada 2018 ini. Bapak-anak ini ditahan KPK pada Februari lalu terkait kasus suap dalam proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Kendari tahun 2017-2018 senilai Rp 2,8 miliar.
Pada 2017, Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti ditahan KPK bersama istrinya, Lily Martiani Maddari. Keduanya ditangkap KPK terkait dengan suap proyek peningkatan jalan di Bengkulu. Sebelumnya, Wali Kota Cimahi Atty Suharti bersama suaminya, Itoc Tochija, ditahan KPK terkait kasus suap proyek pembangunan tahap dua Pasar Atas Baru Cimahi. Sebelumnya, tahun 2015, kasus Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho juga menyeret istrinya, Evy Susanti. Pasangan itu dijerat kasus suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.
Belakangan dalam sidang-sidang di Pengadilan Tipikor dengan terdakwa Setya Novanto, mantan Ketua DPR, jaksa menelusuri peran sejumlah anggota keluarga Setya Novanto dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik. Istri dan anak-anak Novanto dihadirkan sebagai saksi di pengadilan. Bahkan KPK telah menetapkan keponakan Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP.
Selain para kepala daerah di atas, juga calon-calon yang siap-siap bertarung ikut pilkada 2018 ini menjadi tersangka korupsi. Bukannya bertarung merebut singgasana kursi nomor satu sebagai wali kota, malah mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
KPK menetapkan dua dari tiga calon wali kota Malang, yaitu Mochammad Anton dan Ya\'qud Ananda Gudhan, sebagai tersangka dalam kasus pembahasan APBD Perubahan Pemerintah Kota Malang pada 2015. Gawatnya mereka ditangkap bersamaan dengan belasan anggota DPRD Kota Malang pada pertengahan Maret lalu. Betapa menunjukkan bahwa korupsi begitu masif dan mengakar kuat. Inilah pertanda bangsa dan negeri ini semakin keropos.
Ini sudah benar-benar darurat. Karena itu, langkah KPU untuk melarang mantan koruptor berlaga (lagi) dalam arena pemilu seharusnya tidak dilihat sebagai sesuatu yang “haram”. Persoalannya mengharapkan perbaikan dari sisi mereka, malah banyak NATO (no action talk only). Apalagi aturannya juga tidak diatur.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada Pasal 240 ayat (1) huruf g, soal persyaratan bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota hanya disebutkan begini: “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Jadi soal tiadanya aturan napi korupsi adalah ruang kosong yang banyak dimanfaatkan oleh mereka yang tampaknya mengambil keuntungan dari negeri ini, bukan niat untuk memajukan rakyat dan negeri. Itulah celah sempit yang sering digunakan untuk mengakali dengan argumentasi yang tidak bermutu.
Kalau para napi koruptor itu dibiarkan tetap berlaga di arena politik, lalu bagaimana dikatakan mereka memenuhi syarat bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana tercantum pada huruf b: “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” dan syarat huruf f: “setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika” (pada pasal sama).
Sebab, korupsi itu adalah perbuatan nista dan tercela. Korupsi tak ubahnya vampir yang menghisap darah rakyatnya sampai mati. Upaya di bagian hilir seperti pencabutan hak politik juga patut diapresiasi, walaupun belum maksimal. Ada sejumlah politikus dicabut hak politik (untuk beberapa tahun) oleh pengadilan.
Contohnya dialami Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat/politikus DPR), Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS/politikus DPR), Akil Mochtar (mantan Ketua MK), Ratu Atut Chosiyah (mantan Gubernur Banten/politikus Golkar), Fuad Amin Imron (mantan Bupati Bangkalan), Putu Sudiartana (mantan politikus Demokrat di DPR), Patrice Rio Capella (mantan Sekjen Partai Nasdem/politikus DPR), Andi Taufan Tiro (mantan politikus DPR dari PAN), dan Irman Gusman (mantan Ketua DPD).
Pelarangan mantan terpidana korupsi
Apabila di bagian hulu seperti upaya yang akan dilakukan KPU ini terwujud, maka semakin mempersempit ruang gerak koruptor. KPU menyiapkan dua opsi. Pertama, syarat bakal calon bukan mantan terpidana korupsi akan dicantumkan dalam rancangan peraturan KPU Pasal 8 Ayat 1 huruf j.
Namun, jika tidak diterima pemerintah dan DPR, akan menggunakan opsi kedua yaitu melarang mantan terpidana korupsi jadi bakal caleg DPR dan DPRD. Di sini peran parpol yang harus melarang. Sayangnya, sejumlah sinyal dari politikus atau parpol tak sejalan dengan semangat pelarangan tersebut. KPU diingatkan bahwa norma PKPU harus sesuai dengan UU Pemilu. Bukan mencari jalan keluar terbaik agar pelarangan mantan terpidana koruptor itu sebagai terobosan untuk membersihkan negeri ini, malah sebaliknya yang terjadi.
Diskusi yang berkembang pun kurang produktif karena dihadapkan pada soal kebebasan. Padahal kebebasan bukan berada di ruang hampa, yang tidak mengindahkan kebebasan dan kepentingan pihak lain sebagai makhluk sosial, atau sebagai warga dalam konteks negara-bangsa.
“Kebebasan tanpa kebijaksanaan dan tanpa kebajikan adalah kejahatan terbesar yang mungkin terjadi, karena itu adalah kebodohan, keburukan, dan kegilaan, tanpa pelajaran atau pengendalian,” ujar Edmund Burke (1730-1797), negarawan asal Irlandia. Dan, korupsi pun adalah kejahatan, bahkan jenis kejahatan luar biasa.
Tampak betapa komitmen politikus dalam pemberantasan korupsi makin dipertanyakan. Mereka tak fokus menangani problem besar korupsi. Terlebih lagi sekarang, mereka banyak ribut-ribut berebut kekuasaan sehingga lebih sering melancarkan kampanye busuk. Mereka getol sekali menggali kekurangan dana atau keburukan pihak lain, dan ogah memunculkan keunggulan yang dimiliki sebagai resep untuk membawa negara-bangsa ini lebih maju lagi setelah 2019.
Soalnya, pada era sekarang ini dengan rezim media sosial, mengorek-ngorek kekurangan pihak lain (pihak lawan) akan lebih cepat dan kuat daya destruktifnya ketimbang mempromosikan resep mujarab untuk menemukan jalan keluar kekisruhan negeri ini. Nada pesismistis terdengar lebih kuat, ketimbang nada-nada optimistis.
Semakin koruptor merajalela, makin membuat pesimistis. Langit Indonesia makin mendung. Oleh karena itu, kalau koruptor tidak sungguh-sungguh bertobat dan hanya rakus menggerogoti bangsa dan negeri ini, buang ke laut saja!