Bulgur, Pendongkrak Gizi dan Upah Pekerja
Kejadian yang menonjol pada awal tahun 2018 ini antara lain meninggalnya puluhan anak-anak di Kabupaten Asmat, Papua karena gizi buruk dan krisis kesehatan. Masalah gizi buruk kembali mencuat awal Maret lalu yang mengakibatkan jutaan anak Indonesia berusia dibawah lima tahun atau balita mengalami stunting atau bertubuh pendek.
Di Kabupaten Asmat, gizi buruk dan krisis kesehatan telah terjadi sejak 2017. Selama Desember 2017 misalnya, sebanyak 13 anak balita meninggal dunia. Namun berita tentang gizi buruk dan krisis kesehatan itu baru mencuat ke permukaan awal 2018.
Arsip harian Kompas mencatat, selama September 2017- 28 Januari 2018 sebanyak 71 orang meninggal dunia karena gizi buruk dan krisis kesehatan. Keadaan itu dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk. Pemerintah segera bertindak untuk mengatasi KLB di Kabupaten Asmat.
Pada kunjungannya ke Kabupaten Asmat, pada 22 Februari lalu, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan, “Selama setahun pascastatus KLB Asmat dicabut, kami akan melaksanakan evaluasi dan pemantauan.” (Kompas, 5 Maret 2018).
Kurang gizi kronis juga mengakibatkan masalah tubuh pendek atau kekerdilan. Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, sebanyak 37 persen anak balita atau sekitar 9 juta anak Indonesia mengalami stunting atau kekerdilan. ”Stunting bukan hanya soal makanan, melainkan juga berkaitan dengan kesehatan lingkungan, baik sanitasi maupun infrastruktur air bersih,” kata Presiden Joko Widodo seperti dikutip Kompas, 7 April 2018.
Sudah lebih dari 50 tahun, masalah gizi buruk rupanya belum teratasi sepenuhnya. Kondisi serupa pernah muncul di Tanah Air sekitar pertengahan 1960- 1970-an. Setelah peristiwa G30S/ PKI bahan pangan di sejumlah tempat relatif sulit diperoleh. Kalaupun ada harganya tak terjangkau rakyat kebanyakan.
Untuk membantu Indonesia, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia, FAO lewat World Food Program (WFP) antara lain memberikan bantuan kepada Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Kompas, 20 April 1970 atau 48 tahun yang lalu memuat berita dengan judul “$650.000 Bantuan FAO untuk DCI”.
Ini cuplikannya: FAO menyetujui rancangan bantuan yang diajukan Pemda DKI senilai 650.000 dollar AS. Bantuan itu antara lain berupa bahan pangan yang diberikan dalam bentuk beras, gandum, jagung, ikan kering, tepung, telur dan minyak goreng.
Sebelumnya, tahun 1966 rakyat Amerika Serikat (AS) menyumbang 4.500 ton tepung gandum, susu bubuk dan bulgur untuk para korban banjir di Jawa Tengah. Bantuan bahan makanan tersebut seharga 625.000 dollar. Pada 1969 Indonesia juga mendapat bantuan dari FAO untuk berbagai proyek antara lain di Jakarta, Jawa Barat, dan Yogyakarta.
Seperti ditulis Kompas, 6 Juni 1969, bantuan itu antara lain berupa lapangan kerja untuk mereka yang menganggur. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan pangan secara cuma-cuma. Tahun 1972, FAO kembali memberi bantuan untuk Indonesia berupa susu yang dibagikan ke berbagai rumah sakit, juga untuk para ibu hamil dan menyusui, serta anak-anak. Total nilai bantuan itu sebesar 8.830.000 dollar (Kompas, 24 April 1972).
Sekolah dasar
Pada 1960-an kasus anak kurang gizi atau gizi buruk tak hanya muncul di daerah-daerah terpencil, tetapi juga di Jakarta. Petugas kesehatan dari Pemda DKI mendatangi sekolah-sekolah dasar di Jakarta dan mengecek kesehatan para murid. Dengan seizin orang tua masing-masing, puluhan murid dari berbagai SD yang kekurangan gizi kemudian diasramakan di Wisma Putera Bahagia, Cimacan, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (Jabar).
Di wisma milik Pemda DKI tersebut, anak-anak mendapatkan makanan bergizi, bersosialisasi, berolahraga dan belajar mandiri. Selama tinggal selama dua minggu di Wisma Putera Bahagia, anak-anak seperti hidup di asrama. Kegiatan mereka sehari-hari sudah terjadwal. Misalnya, bangun pagi pukul 05.00, shalat Subuh atau berdoa bagi anak-anak nonmuslim, makan pagi bersama dan belajar bersama.
Selain mendapatkan makanan sehat tiga kali sehari, ada selingan makanan kecil pada pagi dan sore hari. Sebagian anak yang di rumah tak doyan sayur, di sini harus menghabiskan porsi makanan dengan gizi seimbang yang disediakan. Setiap hari mereka juga diharuskan minum setidaknya segelas susu dan mengonsumsi buah.
Selain program tersebut, sampai akhir 1960-an siswa SD di Jakarta juga diberi susu pada hari-hari tertentu. Susu biasanya diolah di sekolah, dan setiap siswa diminta membawa gelas masing-masing dari rumah. Agar anak-anak tak kekurangan gizi, pemerintah juga membagikan bulgur. Tepung bulgur diberikan kepada orang tua murid secara bergantian untuk diolah menjadi makanan siap santap. Makanan berbahan baku bulgur kemudian dimakan bersama semua murid di kelas masing-masing.
Ketika itu bulgur merupakan jenis makanan yang relatif baru di Indonesia. Namun di Turki, Libanon dan Suriah, bulgur menjadi makanan utama. Mengapa bulgur? Kompas, 3 November 1967 menulis, di antara bahan makanan biji-bijian, bulgur mempunya gizi terbaik dengan harga hanya separuh dari harga beras. Tahun 1967 Indonesia membeli 15.000 metrik ton bulgur dari AS, juga 100.000 ton beras dengan program Food for Peace.
Setelah dimasak, bulgur matang lebih banyak mekarnya dibandingkan beras. Dengan demikian, jumlah bulgur yang dikonsumsi rakyat pun lebih sedikit daripada beras. Dengan rakyat mengonsumsi bulgur, berarti pula menghemat devisa negara.
Pegawai negeri
Tahun 1968 tak hanya siswa SD yang mengonsumsi bulgur, karena bulgur juga diberikan kepada pegawai negeri sebagai bahan pokok pelengkap selain beras. Diversifikasi pangan sebenarnya sudah digalakkan sejak 1968. Di Jawa Tengah (Jateng) misalnya, pemerintah menganjurkan rakyat mengonsumsi jagung dan bulgur sebagai pengganti nasi (Kompas, 12 Januari 1968).
Namun kebijakan pemerintah yang tidak konsisten menjadi salah satu faktor yang membuat diversifikasi pangan tak berhasil, bahkan sampai kini. Kompas, 24 Februari 1969 mencatat, Maret 1969 bulgur tak lagi dibagikan kepada pegawai negeri, karena persediaan sudah habis. Selain itu, persediaan beras cukup sehingga pemerintah tak lagi mengimpor bulgur.
Akan tetapi, bulgur kembali didatangkan untuk mengatasi kekurangan bahan pangan di Lombok (Kompas, 25 Februari 1970). Bahkan di Ciamis, Jabar, pada 1970 dan 1974 bulgur diselewengkan. Bulgur tak diberikan kepada rakyat, tetapi dijual ke Bandung dan Tasikmalaya. Jumlahnya sampai puluhan ton (Kompas, 6 Juni 1970).
Sementara di Madiun, Jawa Timur (Jatim), bulgur sebanyak 200 ton dijadikan upah bagi para pekerja proyek jalan di wilayah tersebut. Pembuatan jalan itu dibawah koordinasi Tim Padat Karya Kotamadya Madiun. Seorang pekerja mendapatkan 2 kilogram bulgur untuk setiap meter kubik tanah yang diangkut ke tempat proyek.
Proyek padat karya serupa juga dilaksanakan di Sukabumi, Jabar. Di sini, pada tahun 1970 para pekerja membuat saluran air sepanjang sekitar 14 kilometer. Untuk penggalian satu meter kubik, imbalannya 2 kg bulgur. Namun sebelum proyek selesai, bulgur sudah habis sehingga proyek terbengkalai.
Sampai tahun 1976, bulgur masih menjadi makanan pokok sebagian rakyat Indonesia. Kompas, 2 Maret 1976 menulis tentang bantuan pangan dari Program Pangan Dunia untuk Indonesia berupa bulgur 7.739 ton, kacang-kacangan 588 ton, dan ikan kaleng 505 ton. Bantuan senilai 3.560.000 dollar itu untuk proyek padat karya di daerah transmigrasi di Sulawesi Selatan (Sulsel), Sumatera Selatan (Sumsel), dan lampung.
Depot logistik (Dolog) Jateng bahkan masih memiliki 808 ton bulgur pada 1981. Padahal produksi beras Jateng rata-rata setiap tahun 5,5 juta ton gabah kering giling atau sekitar 3,68 juta ton beras. Sedangkan konsumsi beras 25 juta penduduk Jateng sekitar 2,93 juta ton. Ini berarti ada surplus beras di Jateng sekitar 750.000 ton.
Salah satu berita pada Kompas, 14 Juni 1979 menunjukkan, sampai tahun 1979 Indonesia menjadi salah satu negara yang mendapat bantuan pangan melalui Program Pangan Dunia PBB (WFP).
Di sisi lain, keterbatasan persediaan pangan membuat sebagian rakyat harus mengantre untuk mendapatkan beberapa bahan pangan pokok. Di Jakarta pada tahun 1960-an petugas dari kelurahan mendata jumlah anggota keluarga setiap kepala keluarga di wilayahnya. Warga yang bekerja sebagai pegawai negeri dan mereka yang tak mampu, mendapatkan kupon untuk mengambil bahan pokok seperti gula, minyak goreng dan minyak tanah.
Warga mendapat jatah bahan pokok sesuai jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Pada hari pengambilan bahan pokok, biasanya warga sudah mengantre di tempat yang ditentukan dengan membawa tas, jerigen untuk minyak tanah dan botol kaca sebagai tempat minyak goreng. Meskipun antrean panjang, tetapi warga tertib dan relatif tak ada yang menyerobot maupun mendapat prioritas.
Salah satu berita pada Kompas, 14 Juni 1979 menunjukkan, sampai tahun 1979 Indonesia menjadi salah satu negara yang mendapat bantuan pangan melalui Program Pangan Dunia PBB (WFP). Bantuan itu berupa beras, minyak goreng, dan susu bubuk. Jumlah makanan untuk Indonesia terus meningkat. Tahun 1976 bantuan pangan dari WFP senilai 3,76 juta dollar, tahun 1977 naik menjadi 7,2 juta dollar, dan pada 1978 senilai 9,3 juta dollar.
Namun tahun 1986 Indonesia berhasil menjadi salah satu negara yang memberi bantuan untuk korban kelaparan di Afrika. Bantuan berupa 100.150 ton gabah senilai Rp 17 miliar itu disampaikan Presiden Soeharto kepada perwakilan FAO. Hal itu dimungkinkan, karena pada 1984 Indonesia mencapai swasembada beras. Tahun 1988 kembali Indonesia memberi bantuan untuk petani Afrika yang dilanda kekeringan, senilai satu juta dollar.
Pekarangan
Sayang, awal tahun 1990-an Indonesia kembali mengimpor bahan pangan. Tahun 1992 misalnya, Presiden Soeharto menganjurkan masyarakat agar memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam tanaman yang mengandung gizi. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan protein, Soeharto menganjurkan rakyat memelihara kambing, ayam, atau kelinci.
Menjelang Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 1995, FAO memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara dari 88 negara di dunia yang dikategorikan sebagai negara berpendapatan rendah kurang pangan (Low Income Food Countries/ LIFC). Negara yang termasuk kategori ini berarti penduduknya banyak yang kurang gizi dan masih tergantung pada bantuan pangan.
Setahun kemudian, Indonesia menjadi negara yang penduduknya terlalu banyak mengonsumsi karbohidrat (sekitar 62,4 persen), tetapi kekurangan protein hewani dan nabati. Pola pangan penduduk Indonesia pun masih dibawah pola konsumsi yang diharapkan. Pola pangan yang diharapkan adalah 2.500 kalori/orang/hari. Sementara hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional sekitar 1.900 kalori/orang/hari (Kompas, 9 Oktober 1996).
Ketika terjadi krisis moneter tahun 1998, WFP menyumbang setidaknya dua juta ton beras untuk Indonesia. Bantuan itu untuk mengatasi sekitar 7,5 juta jiwa di 15 provinsi yang mengalami kelangkaan pangan. Sampai awal Juni 1998 tercatat 18 provinsi mengalami defisit ketersediaan pangan, terutama beras.
Seakan siklus berulang, seperti kondisi tahun 1960-1970-an, Indonesia menerima bantuan antara lain dari AS pada 2001. Bantuan itu berupa susu segar untuk 470.000 siswa, petugas sekolah, guru dan kepala sekolah di 1.822 SD dan 765 madrasah ibtidaiyah (MI) di Pulau Jawa.
Rapuhnya ketahanan pangan Indonesia terus terjadi. Indikasinya antara lain meningkatnya impor bahan pangan. Sekadar contoh, impor jagung tahun 1998 sebanyak 298.234 ton, pada 2001 bertambah menjadi 1.072.534 ton (Kompas, 11 Juni 2001).
Berubah fungsi
Di sisi lain, lahan untuk pertanian semakin sempit karena berubah fungsi menjadi lahan permukiman. Tahun 2007 Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat, dari total luas sawah 8,9 juta hektar, sekitar 3 juta hektar di antaranya akan berubah fungsi (Kompas, 5 Mei 2007). Namun sebagian orang tetap optimistis. Dengan kemajuan teknologi pertanian, luas area tak lagi menjadi faktor utama yang menentukan hasil panen.
Tahun 2016 Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, produksi padi naik menjadi 79,1 juta ton dari 70,8 juta ton pada 2014. Produksi jagung juga meningkat, dari semula 19 juta ton (2014) menjadi 23 juta ton (2016). “Tahun 2016 tidak ada impor untuk beras,” kata Amran seperti dikutip Kompas, 29 Oktober 2016.
Untuk meningkatkan hasil pertanian dan menunjang ketahanan pangan, pemerintah antara lain memperbaiki infrastruktur irigasi, memberi bantuan benih dan alat pertanian bagi petani. Tahun 2016 bantuan alat pertanian naik sampai 2.000 persen, sehingga biaya produksi petani bisa ditekan hingga sekitar setengahnya.
Namun ancaman ketersediaan pangan belum teratasi. Ini antara lain bisa dilihat dari cadangan beras pemerintah pada 2017 sebanyak 280.000 ton. Jumlah itu terlalu sedikit, dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi Indonesia sekitar 33 juta ton per tahun. Menurut FAO, idealnya cadangan beras itu sekitar 1,3 juta ton. Sekadar perbandingan, Thailand memilik stok beras 1,1 juta ton dan Filipina sekitar 1 juta ton.
Itu baru bicara soal beras, belum termasuk bahan pangan lain seperti protein hewani dan nabati sebagai penunjang gizi bagi semua anak bangsa. Diversifikasi pangan, pengetahuan tentang gizi keluarga, dan program ketahanan pangan yang terpadu dan konsisten harus dilaksanakan. Bila tidak, kita harus bersiap kembali menjadi bangsa dengan gizi buruk!