Berbeda
Di suatu pagi, sambil menyantap sarapan sehat, saya dengan seorang teman berdiskusi soal rencana kami bepergian bersama ke sebuah tempat wisata. Waktu saya mengatakan bahwa tempat yang akan dituju tidak bagus, ia langsung bereaksi. ”Bagus, kok.”
Singkat cerita, saya dan teman saya itu tetap bersikeras kepada pendapat kami masing-masing. Kira-kira setengah jam setelah perdebatan itu, sarapan selesai. Kami berpisah.
”Ngotot”
Dalam perjalanan menuju kegiatan selanjutnya, saya dihadapkan dengan lalu lintas yang padat merayap. Kemacetan itu membuat saya dapat merenungkan perdebatan selama sarapan itu. Saya jadi tertawa sendiri saat memikirkan kejadian itu. Mengapa hanya untuk hal sesederhana itu saja, kami berdua sampai ngotot dengan pendapat masing-masing.
Bukankah ketika dunia ini diciptakan, semuanya telah diciptakan berbeda-beda. Ya berbeda geografisnya, beda budayanya, beda sifat manusianya dan sejuta perbedaan lainnya yang membuat dunia ini justru jadi menarik dan tak seperti seragam.
Lha wong kami ini sudah tahu dari sejak awal bahwa dunia dan isinya itu berbeda, saya masih ngotot bahwa pendapat saya yang benar dan teman saya merasa bahwa pendapatnya yang benar. Padahal, kami berdua bahkan belum pernah mengunjungi tempat wisata itu.
Di kemacetan itu, saya jadi kepikiran apakah ngotot itu sebuah aksi kalau saya ini sebetulnya sangat-sangat menyadari bahwa dunia dan isinya berbeda-beda, tetapi satu hal yang tak saya sadari bahwa perbedaan itu diciptakan bukan untuk dicarikan solusinya agar tidak berbeda.
Nah, itu mungkin yang menyebabkan mengapa ngotot itu dapat berakhir dengan menimbulkan kekesalan dan permusuhan di kedua belah pihak atau beberapa pihak, karena tak berhasil menyamakan yang berbeda itu. Tak berhasil memaksakan perbedaan itu menjadi persamaan. Mungkin.
Perbedaan itu bisa terjadi karena pengalaman seseorang berbeda, tingkat ketertarikannya berbeda, karena cara pandangnya berbeda, dan sejuta alasan lainnya yang membuat A dinilai tidak sama di mata dua atau lebih manusia.
Kalau kita ini berbeda pandangan, berbeda pendapat, maka perbedaan itu, kan, bukan diartikan sama dengan kamu goblok, aku pandai. Kamu benar, aku salah. Aku Tuhan, kamu setan. Perbedaan telah diciptakan sejak awal dan saya yakin perbedaan diciptakan bukan sebagai sebuah pembenaran untuk melakukan penghakiman. Bukankah Anda dan saya tak suka dihakimi?
Kurus dan gemuk
Kalau ada orang yang menyukai laki-laki dengan dada dan perut yang gemuk, sementara ada yang suka kalau melihat laki-laki yang enggak punya dada dan enggak punya perut, yaaa… sudahlah, ya. Keduanya harus saling menghormati kesukaan masing-masing.
Karena di dada yang kurus dan perut rata ada kelebihan dan kekurangan seperti dada yang saya miliki. Di dada yang berisi, berisi lemak maksudnya, juga ada kelebihan dan kekurangannya seperti teman saya itu. Ya, seperti ada siang dan malam. Anda dan saya tahu keduanya berbeda, bukan?
Dan saya tak bisa dengan mudah mengatakan kalau siang itu jelek dan malam itu bagus atau sebaliknya, bukan? Saya menerima bahwa bulan itu tak bisa saya paksakan untuk hadir seperti matahari pada siang hari. Apakah kalau contohnya perbedaan siang dan malam, maka saya dengan legowo menerimanya karena tidak mampu menyamakan keduanya karena itu persoalan penciptaan Yang Maha Kuasa?
Bukankah keberadaan saya dan manusia lainnya juga soal urusan penciptaan? Tidakkah seyogianya kalau saya bisa menerima perbedaan siang dan malam dan sampai sekarang saya tak kesal karena perbedaan itu, mengapa saya masih suka ngotot dan sulit sekali untuk mengerti soal perbedaan sesama manusia?
Saya pernah mendengar kalimat macam begini. Perpecahan terjadi karena perbedaan pendapat. Kalau saya membaca kalimat itu, dan dengan IQ saya yang jongkok ini, saya bertanya. Apakah benar perbedaan yang membuat perpecahan?
Ataukah saya saja yang tidak mampu atau tidak mengerti atau tidak mau tahu dan tidak mau mengerti tentang perbedaan? Apakah perpecahan karena perbedaan terjadi karena saya tidak mau memberi kesempatan pada diri sendiri untuk memosisikan diri saya di posisi lawan?
Kalau saya bisa menempatkan diri pada posisi teman saya yang mengatakan tempat wisata yang kami tuju itu indah, bisa jadi yang awalnya yang saya katakan tidak bagus, menjadi bagus.
Apakah perpecahan karena perbedaan itu karena saya bukan tidak mau menempatkan posisi di pihak lawan bicara saya, tetapi takut menemukan bahwa setelah saya menempatkan diri di posisi itu, ternyata tujuan wisata itu memang benar cantik.
Sehingga daripada harus mengakui lawan saya yang benar dan menjadi kehilangan muka, ngotot adalah sebuah solusi yang saya pilih daripada memiliki kebesaran hati menerima kalau pendapat saya keliru tentang tujuan wisata itu.
Atau apakah mungkin perpecahan terjadi, bukan karena saya ini tidak tahu soal perbedaan, tetapi pada dasarnya saya ini memang senang saja mencari celah menjadi agen pemecah mumpung ada perbedaan? Mungkin saya harus menemukan jawabannya di tengah kemacetan sepagi itu.