Sering saya ceritakan pada teman-teman, setiap kali ke Solo, nyaris tidak pernah absen malam saya lewatkan untuk nonton pertunjukan Wayang Orang Sriwedari. Beberapa teman, bahkan yang tinggal di Solo, bertanya: Wayang Orang Sriwedari masih ada? Keadaan Taman Sriwedari yang menjadi ikon Kota Solo sekarang terus terang memang menyedihkan.
Didirikan pada akhir tahun 1800-an oleh Paku Buwono X, Sriwedari melengkapi ekspresi kebudayaan adiluhung Jawa. Konon Paku Buwono menciptakan taman ini berdasar inspirasi cerita wayang, tentang taman di kahyangan bernama Maerakaca. Dalam kisah pewayangan, raksasa buruk rupa yang baik hati, Sukrasana, dengan kesaktiannya memindahkan taman itu ke sebuah kota kerajaan.
Sebagaimana taman yang melambangkan ketenteraman kahyangan, Sriwedari memberi warna khusus pada Solo. Terletak di pusat kota di pinggir jalan utama, Jalan Slamet Riyadi, taman ini dihiasi gapura melengkung di depan, bertuliskan Taman Sriwedari. Di depan gapura terdapat pohon beringin besar yang memberi kesan teduh pada siang hari dan kesan misterius pada malam hari.
Di sebelahnya terdapat stadion, namanya Stadion Sriwedari. Stadion ini menjadi lokasi PON pertama tahun 1948. Banyak kejadian penting ataupun kenangan tertatah di Sriwedari. Jurnalis Marco Kartodikromo dalam novel Student Hidjo (1918) menjadikan keramaian Sriwedari sebagai latar belakang novelnya.
Orang-orang lama Solo niscaya bisa mengenang adanya kolam besar di tengah taman, orang menyebutnya segaran. Pada area paling depan dulu terdapat bioskop Solo Theater. Masuk taman, di sebelah kanan terdapat Taman Hiburan Rakyat alias THR. Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari menempati kawasan belakang.
Satu per satu apa yang ada di Sriwedari kemudian rontok digilas zaman. Gedung bioskop tak ada lagi. Kolam tak terurus. Terakhir, sejak sekitar akhir tahun lalu, THR gulung tikar. Setelah beroperasi lebih dari 30 tahun dia kena gusur. Menurut cerita orang-orang Solo, Sriwedari akan dijadikan area dibangunnya masjid raya.
Bisa dimaklumi kalau banyak orang mengira kini tak ada lagi kehidupan di Sriwedari. Menuju gedung wayang orang seperti melewati karang hantu. THR menyisakan sisa puing dan rumput yang meninggi. Suasana gelap gulita.
Naik becak ke gedung pertunjukan wayang, tukang becak selalu bercerita mengenai kejayaan Sriwedari pada masa lalu. Cerita akan dilanjutkan dengan keluh kesah mengenai keadaan sekarang. Salah satu tukang becak memakai kata yang selalu saya ingat: wolak waliking jaman.
Siapa mengira di ujung sana ada pertunjukan wayang orang setiap malam? Bukan saja kelompok Wayang Orang Sriwedari setia berpentas, tetapi mereka juga berhasil merevitalisasi pertunjukannya. Gedung pertunjukan berpendingin ruangan. Sungguh kemewahan budaya, bisa menikmati tontonan klasik ini dengan tiket antara Rp 5.000-Rp 10.000.
Berbeda dibanding kelompok wayang orang yang masih tersisa seperti antara lain Bharata di Jakarta (entah bagaimana Ngesthi Pandawa di Semarang), panggung Sriwedari digairahkan pemain-pemain muda, kebanyakan berasal dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Ayu-ayu, kinyis-kinyis.
Mereka mengemas pertunjukan ringkas, tidak bertele-tele. Sebelum pukul 22.30 dipastikan lampu di dalam gedung menyala, pertunjukan berakhir. Klimaks pertunjukan selalu tak terduga. Mereka memakai pola dramaturgi yang mengingatkan pada dramaturgi teater Barat.
Kalau Kasunanan Surakarta Hadiningrat membangun Sriwedari, Puri Mangkunegaran pada zamannya membangun Taman Balekambang dan Tirtonadi. Mangkunegaran juga dikenal dengan kepemilikannya atas pabrik gula Colomadu, yang kini diambil alih oleh BUMN. Ketika Colomadu terbengkalai, seniman Sardono W Kusumo membikin acara di situ dengan seperangkat gagasan kebudayaan.
Hanya saja, gagasan kebudayaan saat ini cenderung kalah oleh gagasan tentang modal dan agama. Inikah wolak waliking jaman—zaman yang terbalik-balik?
Mudah-mudahan, seperti moto Pasar Gede, Sriwedari Ora Sare. Serupa ucapan Jawa: Gusti Ora Sare.***