Bulan ini kita memperingati 20 tahun Reformasi. Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia 20 tahun setelah Reformasi, yang dipicu oleh krisis finansial 1997?
Babak belur pada masa krisis finansial Asia 1997 sehingga harus mengemis dana talangan dari IMF, dewasa ini Indonesia perekonomian ke-16 terbesar dunia dan satu-satunya negara Asia Tenggara dengan PDB menembus 1 triliun dollar AS.
Pada 1997, PDB Indonesia 215,7 miliar dollar AS dan pada 2017 1,004 triliun dollar AS atau naik 4,6 kali lipat. Pada 2030, ekonomi Indonesia, diperkirakan McKinsey, urutan ketujuh dunia dengan PDB 3,7 triliun dollar AS dan pada 2050, menurut PwC, keempat terbesar. Namun, skala tak selalu menggambarkan kekuatan, kemajuan, keunggulan, dan ketahanan ekonomi suatu negara.
Dalam sejumlah capain—seperti Indeks Pembangunan Manusia, kemajuan industri dan kualitas infrastruktur—Indonesia kian tertinggal atau tersalip negara-negara tetangga. Indonesia juga mengalami dampak lebih parah dalam gejolak ketidakpastian global saat ini dan tertinggal dalam mengambil manfaat dari peluang-peluang baru ekonomi global.
Dari sisi makroekonomi, Bank Dunia mengatakan, fundamen Indonesia saat ini sangat kuat, jauh lebih siap menghadapi krisis dan kecil probabilitas kembali terperosok dalam krisis finansial seperti 1997. Prospek pertumbuhan ekonomi cukup baik di tengah tren pelambatan ekonomi negara lain. Inflasi juga relatif terjaga dan rendah, cadangan devisa sangat aman, neraca perdagangan positif kendati belakangan ada tekanan defisit transaksi berjalan yang meningkat. Defisit fiskal juga relatif terkendali.
Sebagaimana kita ketahui, krisis finansial 1997 dipicu problem neraca pembayaran. Nilai tukar yang tidak fleksibel dan tidak adanya sinkronisasi kebijakan, memicu spekulasi dan ketidakpercayaan pasar. Pemicu lain, stok utang luar negeri swasta sangat besar dan umumnya jangka pendek, tanpa diimbangi cadangan devisa memadai dan mekanisme pengawasan yang baik. Kemudian, problem sistemik sektor perbankan yang dikelola secara ugal-ugalan. Selain perubahan arah dan situasi politik.
Dewasa ini, semua faktor itu relatif teratasi. Kondisi perbankan jauh lebih baik, termasuk manajemen risiko dan tata kelola. Kebijakan moneter dan bank sental juga independen. Utang luar negeri, terutama swasta, sudah terdata dan dikelola lebih baik. Pengelolaan fiskal juga hati-hati dan transparan.
Singkatnya, Indonesia bukan lagi istana pasir rapuh, seperti 1997. Namun, 20 tahun Reformasi masih menyisakan sejumlah problem struktural yang ikut menyumbang pada kerentanan ekonomi Indonesia dewasa ini. Di antara problem struktural itu adalah basis ekspor yang belum terdiversifikasi dan masih sangat bergantung pada komoditas. Kita belum mampu membalikkan gejala deindustrialisasi. Peranan sektor manufaktur terus tergerus dari 30 persen pada 1997 menjadi sekitar 18 persen saat ini. Indonesia juga tak mampu ambil bagian seekstensif negara-negara lain di kawasan dalam rantai produksi dan pasokan global.
Sektor industri, pertanian, dan infrastruktur yang tertinggal membuat kita tak bisa berlari secepat negara lain dan tak mampu merealisasikan potensi pertumbuhannya. Kualitas SDM dan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja kita juga tertinggal.
Menambah kerentanan ini adalah sektor keuangan yang masih relatif dangkal dan belum berkembang sehingga kita rawan terhadap gejolak global. Semua ini akumulasi dari beberapa rezim, yang menumpuk menjadi masalah raksasa dan pekerjaan rumah besar yang harus kita hadapi saat ini dan ke depan.