Pembangunan daerah, juga untuk peningkatan layanan pada publik, tak bisa dipisahkan dari anggaran. Namun, sejumlah daerah saat ini tak bisa menyelesaikan APBD-nya.
Pada akhir tahun lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebutkan, empat provinsi dan sejumlah kabupaten/kota belum merampungkan pembahasan APBD tahun 2018. Pembangunan daerah pun bisa terhambat. Mendagri meminta kepala daerah membuat peraturan mengesahkan anggaran jika proses pembahasan di DPRD berjalan lambat (Kompas, 25/5/2018).
Peringatan dari Mendagri itu menyiratkan ada daerah yang belum menyelesaikan pembahasan APBD-nya. Hal ini tentu saja bisa menghambat pembangunan di daerah, terutama pelayanan kepada masyarakat. Kondisi itu dikhawatirkan bisa berlarut-larut karena sejumlah daerah sudah memasuki masa pemilihan kepala daerah (pilkada). Rancangan APBD dibahas dan diputuskan tidak hanya oleh kepala daerah, tetapi bersama-sama dengan DPRD.
Sejumlah kepala daerah dan anggota DPRD terlibat langsung dalam pilkada, baik sebagai calon kepala daerah maupun anggota tim sukses, sehingga bisa saja pembahasan RAPBD bukan menjadi perhatian utama mereka lagi. Apalagi, 2019 merupakan tahun pemilu legislatif dan pemilu presiden sehingga kalau tak diingatkan, pembahasan APBD 2018 di sejumlah daerah bisa tak diputuskan. Kondisi ini dapat menghambat pembangunan. Layanan kepada masyarakat pun bisa tak optimal lagi.
Peraturan kepala daerah untuk menetapkan APBD tak melanggar hukum. Pasal 313 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan kepala daerah berhak membuat peraturan untuk menetapkan APBD jika rancangan yang diajukannya tak disetujui DPRD dalam masa 60 hari setelah diajukan. Besaran APBD yang ditetapkan adalah paling tinggi sesuai dengan APBD tahun sebelumnya. Peraturan itu harus mendapatkan persetujuan dari Mendagri untuk tingkat provinsi dan gubernur untuk tingkat kota/kabupaten. Namun, jika kepala daerah membuat peraturan untuk menetapkan APBD, komunikasi antara eksekutif dan legislatif di daerah itu bisa amat buruk dan kembali rakyatlah yang dirugikan.
Banyak alasan yang bisa membuat RAPBD tak bisa disepakati oleh kepala daerah dan DPRD. Namun, selama ini yang tersurat, kegagalan persetujuan terjadi karena ada kepentingan dari DPRD atau kepala daerah yang tak bisa dipertemukan. Jikalau bisa dipertemukan, tak jarang pengesahan APBD itu diwarnai dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, kepala daerah (plus pejabat daerah) serta anggota DPR/DPRD termasuk yang paling banyak terjerat korupsi. Hingga Mei 2018, KPK mencatat tak kurang dari 322 kepala daerah terkait korupsi. Kementerian Dalam Negeri mencatat lebih dari 3.200 anggota DPRD terjerat korupsi sejak tahun 2005 hingga kini.
Tanpa APBD, layanan kepada rakyat akan terhambat. Padahal, pemerintahan, termasuk wakil rakyat, ada untuk melayani rakyat. Presiden Soekarno (1945-1967) pernah mengingatkan, ”Janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat, dan bukan berada atas rakyat.”