Asmara
Dalam sebuah perjalanan dengan kereta api ke Bandung, saya teringat akan komentar seorang teman mengenai nasihatnya agar saya ini harus mampu melihat bahwa perjalanan hidup saya itu seyogianya harus disyukuri. ”Jangan suka iri dengan perjalanan kehidupan orang lain.”
Frustrasi
Nasihatnya itu bermula dari mendengar cerita rasa iri hati saya yang timbul ketika seorang teman menayangkan foto Meghan Markle saat masih muda berfoto di depan Istana Buckingham dan sekian puluh tahun kemudian perjalanan asmaranya mengantarnya menjadi istri seorang pangeran Inggris.
Melihat foto dan membaca kisahnya itu, saya mendadak sontak kesalnya setengah mati. Saya ini sudah berfoto di depan beberapa istana yang ada di dunia ini bahkan sampai sekarang, tetapi hasilnya nol kosong. Setelah sekian puluh tahun berlalu, saya tak menjadi menantu anggota kerajaan. Menantu orang biasa saja pun tidak.
Padahal, sebelum tayangan acara pernikahan kerajaan itu, saya masih tenang-tenang saja dengan keadaan saya. Meski beberapa hari sebelum tayangan itu disiarkan di penjuru bumi, saya sedang makan malam dengan dua teman yang menceritakan kalau mereka baru putus dari pacarnya masing-masing dan sekarang yang satu sudah mendapat dua pendatang baru yang belum ia putuskan untuk dipilih, dan teman yang satu lagi sedang dalam penjajakan.
Mereka tak memerlukan waktu panjang untuk mendapat pengganti. Mendengar cerita dua teman sampai nyaris tengah malam, tak membuat saya merasa kesal dan iri. Padahal, saya ini menemukan satu orang saja susahnya setengah mati, bahkan sampai sekarang tak ada hasilnya. Kadang saya jadi apatis dengan ungkapan kalau semua orang itu pasti ada jodohnya. Apalagi mendengar judul lagunya Afghan, ”Jodoh Pasti Bertemu”, saya makin frustrasi.
Beberapa tahun lalu saya pernah pergi ke cenayang hanya untuk urusan asmara. Saya itu penasaran, kok, saya ini sampai tidak punya perjalanan asmara. Saya datang ke cenayang itu berharap sangat untuk dapat mengetahui penyebabnya.
Alhasil cenayang yang katanya beberapa teman sangat manjur, malah kaget melihat kartu yang tergeletak di depannya. ”Huh, kamu itu sudah lama sekali, ya, sendirian.” Saya agak tersinggung waktu mendengar komentarnya. Saya hanya membalas dengan jawaban, ya, dengan suara yang lirih.
Kemudian ia terdiam sejenak dan melanjutkan nasihatnya. ”Kamu berdoa dan minta saja langsung sama Tuhan, saya enggak bisa membaca kartu jodohmu.” Saya pulang dengan hati yang lumayan kesal dan mulai mempertanyakan apakah kartu yang tak bisa terbaca itu berarti saya tak akan memiliki perjalanan asmara seumur hidup, apa pun usaha yang saya telah dan akan lakukan?
Bahagia hati
Setelah kejadian itu, saya melanjutkan kehidupan seperti biasa, saya melupakan akan perjalanan asmara itu dan merasa bahagia dalam kesendirian. Bahagia bukan karena saya bisa memiliki pekerjaan yang baik, meski perjalanan penuh perjuangan. Bukan karena saya dianugerahi teman-teman yang menyenangkan meski ada saja yang membicarakan saya diam-diam.
Saya bahagia bukan karena alasan itu. Saya bahagia karena saya memang ingin berbahagia. Jadi, kebahagiaan saya tak saya gantungkan dengan keadaan eksternal. Namun, sejak tayangan pernikahan kerajaan itu, saya mulai terusik kembali mengapa saya tak memiliki perjalanan asmara, dan bukan terusik mengapa saya sendirian.
Waktu saya menceritakan kekesalan ini kepada beberapa teman dekat, ada dua jenis reaksi yang saya dapatkan. Satu teman diam saja, mungkin tak berani menasihati meski dalam hati ada begitu banyak yang ingin disampaikan. Sementara teman lainnya berkomentar macam-macam meski klise terdengarnya sampai kalimat seperti yang Anda baca di kalimat pembuka di atas.
Beberapa hari setelah peristiwa mendunia itu, entah dari mana datangnya, saya berpikir bahwa perjalanan asmara atau perjalanan cinta itu mungkin bukan hanya berakhir memiliki pacar atau pasangan hidup.
Kalau saya ini sekarang berbahagia, karena saya mencintai diri saya sendiri dan kemudian saya bisa memberikan rasa cinta itu kepada pekerjaan, kepada orang lain dan kepada Tuhan, itu juga sebuah perjalanan asmara.
Mungkin di dunia ini hanya ada dua jenis perjalanan asmara. Satu perjalanan memiliki pasangan hidup dan satu lagi memiliki hidup yang penuh cinta. Yang satu membagikan cinta kepada pasangan hidupnya, satu lagi kepada lebih banyak orang.
Baru saja selesai menulis pendapat itu suara nurani saya tertawa tergelak. ”Ha-ha-ha… kamu itu emang pinter cari alasan macem-macem. Katanya kamu bahagia. Orang bahagia itu gak terusik kali, bro. Orang yang bahagia itu justru bisa menerima keadaannya. Kalau elo masih terusik, elo masih belum menjadi manusia yang berbahagia.”
Kicauan nurani itu berlanjut lagi. ”Kemampuan menerima segala keadaan hanya akan berhasil kalau dimulai dengan kebahagiaan yang datangnya dari hatimu, bukan bahagia karena pikiranmu. Kalau cuma dari pikiran yaa…kayak tong kalau kosong. Nyaring bunyinya kayak mulut elo itu.”