Viral Bercita Rasa Pancasila
Anggota DPRD Bone, Sulawesi Selatan, Andy Syaifullah Latief, naik ke meja setelah melempar kursi sampai berantakan. Papan nama dan mikrofon dicabut.
Rekan kerjanya sempat mengabadikan ketika dia berdiri dan berkecak pinggang di atas meja rapat sambil menuding-nuding. Pemicunya karena dia mengaku tidak dapat menandatangani presentasi kehadiran.
Menurut pelaku, selain anggota Dewan memiliki hak imunitas, ini merupakan hal biasa karena bagian dari dinamika rapat. Perilaku itu terjadi dalam rapat DPRD Bone, Sulawesi Selatan, Rabu (30/5/2018), dengan agenda membahas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ).
Sebelumnya, Rabu (23/5/2018), seorang remaja berinisial J (16 tahun) ditangkap polisi di kediaman orangtuanya, kawasan Kembangan, Jakarta Barat. Hal itu menyusul unggahan video melalui akun media sosial Instagram yang berisi ancaman penembakan terhadap Presiden Joko Widodo dan tantangan kepada aparat untuk menangkapnya. Dalam akun tersebut tampak seorang bertelanjang dada sedang berkata-kata secara berapi-api sambil mengacung-acung foto resmi Presiden Joko Widodo. Dia menantang kepolisian untuk bisa menangkapnya dalam 1 x 24 jam. Sehari kemudian pelaku meminta maaf didampingi oleh orangtuanya.
Dua peristiwa itu sama-sama viral. Mereka sama-sama mempertontonkan kekerasan verbal dan fisik kepada publik. Bedanya, perilaku pertama dilakukan oleh orang dewasa di dunia nyata, sedangkan yang kedua dilakukan remaja di dunia maya. Bila dua perilaku itu dicerminkan pada pembangunan karakter kebangsaan, mungkinkah pada masa depan media sosial kita bercita rasa Pancasila? Bila ini hanya persoalan etis, bagaimana mengajarkan etika sosial dalam kerangka kebangsaan kita?
Viral sebagai berita
Akan selalu ada foto dan video viral sebagai konsumsi bagi publik. Dalam kerangka pendidikan karakter, ketika berita didefinisikan sebagai viral dan ideologi kebangsaan menjadi barang usang, maka memviralkan nilai-nilai kebangsaan menjadi sangat mendesak.
Idealnya, pengembangan karakter bangsa mestilah mengikuti dunia yang kian datar, bukan sebaliknya. Sebab, sekarang bentuk bumi itu telah jadi datar, kata Thomas L Friedman dalam The World is Flat: A Brief History of Twenty-First Century (2005). Sebab informasi dunia telah dikemas dalam serat optik dan masing-masing kita terhubung dalam layar datar begitu cepat dan akurat. Ruang privat jadi komoditas atas nama akun dan setiap akun merupakan agen berita.
Hal yang belum dilihat Friedman, akun pun bisa menciptakan pertunjukannya sendiri-sendiri. Media sosial adalah kata lain dari panggung pertunjukan dengan durasi mulai 15 detik hingga berjam-jam. Pertunjukan pada masa kini tidak perlu panggung di kawasan yang butuh parkir dan lahan yang luas.
Tidak butuh waktu berjam-jam agar bisa dinikmati oleh penonton secara utuh. Ketika masing-masing orang adalah pelaku pertunjukan, pada saat yang sama setiap akun harus menerima implikasi sebagai subjek hukum pribadi di ruang publik.
Bila direfleksikan dalam kenyataan sosial, bidang datar itu merupakan cermin kenyataan sosial yang sedang dan akan terjadi. Sebagai contoh, kasus-kasus yang berkembang memberikan mosaik singkat tentang perilaku warga bangsa setiap hari. Boleh dikatakan, mulai dari remaja hingga dewasa mengalami masalah dalam etika sosial. Pendeknya, ketika sosial mengandaikan kebebasan sebagai kondisi manusia. Sekurang-kurangnya pengandaian itu termaktub dalam Universal Declaration of Human Right 1948 pada pasal pertama.
Erich Fromm dalam buku klasiknya, Escape from Freedom, menyatakan bahwa kita dikutuk untuk bebas karena kebebasan hanya kondisi pengandaian “bebas dari” dan “bebas untuk”. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, persoalan kebebasan diidentikkan dengan “bebas dari” belenggu penjajahan, perbudakan, dan ketergantungan. Setelah pembentukan negara-bangsa, kemerdekaan merupakan implementasi dari “bebas untuk” mewujudkan cita-cita bersama.
Mengelola kebebasan
Melalui Fromm, kita tahu bahwa tengah terjadi persoalan-persoalan serius yang sedang dihadapi bangsa ini. Ada tiga masalah pengelolaan kebebasan.
Pertama, masyarakat mengalami masalah dengan kebebasan. Buktinya, baik anggota Dewan yang berkecak pinggang di atas meja maupun remaja yang mengancam presiden sudah meminta maaf. Secara kronologis, permintaan maaf itu kurang dari 24 Jam. Betapa cepat seseorang berubah pikiran atas perbuatan yang secara sengaja dilakukan di muka umum. Hal itu makin membuktikan, masyarakat mengalami disorientasi dalam bertutur kata, bertindak, di muka umum.
Kedua, pemerintah tidak mengelola kebebasan sebagai bagian dari modal sosial. Lahirnya mekanisme perundang-undangan yang menjadikan akun di media sosial sebagai barang bukti tidak menyelesaikan masalah secara sosial. Penanganan kasus-kasus sosial secara hukum membawa pada situasi yang mencekam dalam penggunaan media pada masa sekarang. Siapa pun Anda yang sedang duduk-duduk memainkan jempol di teras rumah, oleh karena terpencet atau lain sebab, bisa saja dijerat oleh pemerintah atas tuduhan penyebaran penghinaan dan ujaran kebencian.
Ketiga, masyarakat butuh sensasi tontonan. Implementasi kebebasan itu dikomodifikasi sebagai bagian dari tontonan melalui media publik. Penontonnya telah mengidentifikasi diri sebagai warganet. Kencederungan yang terjadi pada masa kini, kekerasan telah jadi pertunjukan di ruang publik.
Dalam teori pertunjukan, diperlukan media panggung, penonton, dan aktor pertunjukan. Isi dari media itu bertujuan pada efek dramatik (berakhir bahagia), tragedi (berakhir sedih), atau komedi (berjalan lucu). Haruslah ada peristiwa yang dipamerkan untuk menimbulkan rasa takut, kagum, ngeri, atau sedih.
Contoh, foto anggota Dewan di atas meja memberikan efek ngeri bagi warganet. Ironi muncul ketika kengerian dimunculkan dari sebuah simbol sosial yang diharapkan dan dikagumi.
Fakta-fakta tersebut memperjelas kesenjangan kita dengan nilai-nilai kebangsaan. Idealnya, Pancasila yang tertulis di bidang datar merupakan etika dasar bagi warga bangsa. Kenyataannya, ada masalah perilaku warga bangsa di ruang publik. Pemerintah cenderung menyerahkan pada mekanisme legal-formal tanpa pengembangan orientasi pada nilai-nilai kebangsaan.
Saifur Rohman, Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta