Epidemi Kebohongan
Sebuah artikel ilmiah berjudul ”The Spread of True and False News Online” yang dimuat dalam majalah Science bulan Maret 2018 mengungkapkan temuan yang mengejutkan: ”berita fiktif menyebar jauh lebih cepat daripada berita faktual”.
Dalam kajian ini, Vosoughi, Roy, dan Aral selaku peneliti menganalisis sekumpulan data berupa 126.000 rumor (hoaks) yang disebarkan oleh sekitar 3 juta pemilik akun Twitter dari tahun 2006 hingga 2017.
Selain menemukan bahwa kabar fiktif menyebar jauh lebih cepat daripada kabar faktual, kajian ini juga berhasil menemukan bahwa berita fiktif mampu menjangkau lebih banyak khalayak dibandingkan berita faktual. Mereka berhasil mengamati bahwa dari sekitar 1 persen kabar fiktif terfavorit ternyata mampu menjangkau 1.000 hingga 100.000 orang, sedangkan untuk kabar faktual hampir tidak ada yang sanggup menjangkau lebih dari 1.000 orang.
Difasilitasi media sosial
Meskipun kajian ini tidak terkait langsung dengan konteks Indonesia, kondisi yang mirip juga telah lama kita rasakan. Fenomena maraknya penyebaran hoaks telah menjadi bagian dari kehidupan media sosial kita.
Hingga saat ini memang belum pernah ada kajian sejenis yang dilakukan di Indonesia. Hanya saja, mengingat masih rendahnya tingkat literasi masyarakat kita—yang berdasarkan pengukuran UNESCO pada tahun 2017 menempati posisi ke-60 dari 61 negara yang diteliti—apabila dilakukan kajian di Indonesia, boleh jadi akan diperoleh temuan yang lebih mengejutkan.
Hal ini berdasarkan asumsi bahwa rendahnya tingkat literasi berkorelasi positif dengan kurangnya pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan terlebih kemauan untuk melakukan verifikasi terhadap informasi yang diterima. Dalam beberapa kasus bahkan kita jumpai pengguna media sosial berpendidikan tinggi, yang diasumsikan memiliki wawasan luas, ikut menjadi ”korban” dan berkontribusi aktif dalam penyebarluasan hoaks.
Teknologi informasi dan komunikasi sebagai fondasi pengembangan media sosial telah berkembang sedemikian pesat. Perkembangan teknologi ini memungkinkan penyebaran informasi menjadi bersifat datar. Setiap orang bisa bertindak sebagai ”prosumer” (produser sekaligus konsumer) informasi. Melalui media sosial, konten-konten berita—termasuk hoaks—yang diproduksi orang ”biasa” yang dikemas dengan cara tertentu, mempunyai potensi tersebar dengan cepat secara massal, sebuah kondisi yang sering disebut sebagai ”viral”. Tak peduli sejauh mana tingkat validitas konten tersebut, dengan fasilitasi oleh berbagai fitur yang ada di dalam aplikasi, para pengguna media sosial dapat begitu mudah berbagi konten ke jaringan pertemanannya.
Sebelum berkembangnya media sosial, penyebaran hoaks tak bisa semasif seperti sekarang ini. Media sosial saat ini telah menjadi medium yang sangat efektif sekaligus efisien bagi para produsen hoaks. Hanya dengan sekali tekan, sebuah konten hoaks bisa meluncur. Belum lagi dengan adanya mesin bot (web robot), khususnya social networking bots, yang memungkinkan penyebaran konten hoaks dengan tujuan dan target spesifik dapat dilakukan secara otomatis. Kebohongan (hoaks) pun dengan segera menjadi wabah di masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Gullory Kramer pada tahun 2014 menemukan bahwa penggunaan mesin bot untuk menyebarluaskan kebohongan secara efektif dapat mengubah persepsi pengguna media sosial atas realitas, khususnya bagi mereka dengan kondisi emosi yang volatil. Melalui perlakuan tertentu, misalnya dengan strategi trolling, para pengguna media sosial dapat digiring untuk meyakini kebenaran isu yang sebenarnya merupakan kabar fiktif. Inilah era pasca-kebenaran (post-truth) di mana persepsi atas realitas lebih dominan daripada pemahaman terhadap esensi dan substansi realitas itu sendiri.
Epidemi kebohongan yang difasilitasi oleh media sosial ini ditengarai menjadi faktor utama yang berperan memperparah polarisasi masyarakat. Berkaca pada pengalaman dari proses pemilu Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa serta Pilkada DKI Jakarta 2017, hoaks semakin marak dan mewabah saat memasuki masa kontestasi politik.
Ajang pemilihan Presiden RI 2019 sepertinya belum akan jauh berbeda. Kemungkinan ini tentu harus diantisipasi oleh negara mengingat besarnya potensi ancaman terhadap kehidupan kebangsaan kita sebagai akibat dari polarisasi yang dipicu oleh wabah hoaks ini.
Langkah penanganan
Oleh karena itu, langkah-langkah strategis perlu dilaksanakan untuk menangani epidemi kebohongan. Pertama, perlu adanya penegakan regulasi secara persisten, konsisten, dan netral.
Peraturan yang tercakup dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dipakai sebagai modal dasar untuk menghadang epidemi kebohongan. Upaya konkret penegakan regulasi dapat dilakukan dalam bentuk pemblokiran akses dan pemberian sanksi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika dituntut bertindak responsif, proaktif, sekaligus imparsial dalam melakukan pemblokiran. Khusus selama tahapan kontestasi politik, Kementerian Komunikasi dan Informatika harus berkoordinasi intensif dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Pemberian sanksi dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi pemilu. Terkait sanksi pidana menjadi ranah kepolisian— melalui unit cyber crime—dan kejaksaan untuk menanganinya. Sementara sanksi pemilu, Bawaslu dan KPU perlu membuat standar penanganan baku terhadap hoaks politik.
Tantangannya adalah bahwa mayoritas pelaku bukanlah representasi resmi para kontestan. Bawaslu dan KPU sulit mendapatkan bukti yang kuat untuk memberikan sanksi kepada kontestan karena sulit menemukan asosiasi secara langsung. Oleh karena itu, langkah yang dianggap efektif adalah secara proaktif mendeteksi penyebaran hoaks dan secepatnya merekomendasikan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika agar dilakukan pemblokiran.
Deteksi ini akan lebih efektif jika Bawaslu dan KPU bersedia melibatkan partisipasi publik. Untuk menangani hoaks yang ditengarai berasal dari luar negeri, Badan Siber dan Sandi Negara selaku cyber security agent perlu berkoordinasi dengan pihak militer/TNI selaku cyber defence agent dan Badan Intelijen Negara selaku cyber espionage agent, serta—tentu saja—dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Kedua, perlu adanya edukasi yang berkelanjutan. Upaya konkret edukasi dapat dilakukan dalam bentuk peningkatan literasi dan penumbuhan kesadaran etik. Upaya peningkatan literasi masyarakat membutuhkan peran serta banyak pihak. Lembaga pendidikan berperan dalam upaya peningkatan literasi siber. Media massa arus utama berperan menyajikan konten alternatif sebagai bentuk perlawanan atas konten hoaks. Komunitas masyarakat sipil berperan menggalang wacana pentingnya kesadaran literasi di tengah masyarakat.
Penumbuhan kesadaran etik membutuhkan peran lembaga pendidikan dan keagamaan untuk menanamkan nilai kejujuran. Khusus untuk konteks kontestasi politik, diperlukan peran para elite politik, terutama peserta pemilu dan pimpinan partai pengusung, untuk berkompetisi secara jujur. Hal ini jelas sulit diwujudkan. Terlebih upaya menumbuhkan kesadaran para simpatisan dan tim sukses ”bayangan” untuk bertanding sehat.
Di sinilah dibutuhkan peran tokoh masyarakat dan agama yang netral serta bisa dijadikan panutan untuk selalu memberikan arahan, pencerahan, dan jika perlu ”sanksi” sosial yang terkadang lebih efektif untuk membangun kesadaran.
Agung Fatwanto Dosen Magister Informatika, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta