Idul Fitri, Kata, dan Kita
Bagi saya, salah satu penanda diterimanya puasa adalah kesanggupan kita ”memuasakan” kata, kecermatan dalam berbicara. Idul Fitri sebagai momen panggilan suci untuk lekas mentransformasikan kesalehan personal yang dilatih selama satu bulan penuh menjadi kebaikan publik. Salah satu wujudnya adalah menghadirkan kohesivitas sosial. Nafsu keakuan lebur dalam roh kekitaan.
Pesan seperti ini penting direnungkan justru di tahun-tahun politik seperti sekarang di mana masyarakat terbelah dalam dua kutub. Antara yang pro dan anti pemerintah saling memunggungi. Mereka tidak saja mengerahkan kata-kata di media sosial, tetapi dalam beberapa kesempatan sudah menjurus ke arah persekusi dan kekerasan fisik.
Hari bebas kendaraan bermotor yang semestinya menjadi ruang kegembiraan warga tiba-tiba berubah menjadi kawasan gelap kampanye politik. Kerumunan massa tidak lagi membaur, tetapi disekat gara-gara tulisan kaus yang tidak serupa. Perang tanda pagar (tagar) antara #2019gantipresiden dan #2019tetapjokowi semakin mengkhawatirkan.
Diksi pun dianggit dari belantara margasatwa sebagai sebutan negatif untuk masing-masing pihak. Walaupun Tuhan melarang keras satu sama lain memanggil dengan gelaran buruk, wa la tanabazu bil alqab, tetapi dengan penuh rasa puas, ungkapan kecebong dan kampret pun disematkan.
Polarisasi
Di media sosial terpaksa saya harus mengimani teori evolusi Charles Darwin yang diterapkan dengan sempurna dan secara terbalik. Bukan manusia berasal dari kera, tetapi manusia lambat namun pasti bermetamorfosa menjadi kera, menjadi kampret dan kecebong.
Ayat-ayat Leviathan lebih kuat dijadikan rujukan politik. Kromosom satwa dan manusia tengah bertukar tempat. Algoritma media sosial semakin mengentalkan polarisasi lengkap dengan perangkat unfriend atau unfollow. Yang sama paham politik dan keagamaannya berkerumun dengan sesamanya, di seberangnya dianggap kafir. Yang tak sehaluan dirisak habis-habisan.
Pengguna internet makin terisolasi dalam ekosistem kepompong informasi sebagai efek dari apa yang disebut ”ghetto siber”.
Dalam beberapa hal, bukan hanya kata-kata, tetapi dilengkapi meme yang jauh dari akhlak ketimuran. Dalam media sosial, ”kebenaran” itu diringkus bukan kepada fakta, akurasi data, dan kesesuaian pernyataan dengan realitas, tetapi nyaris sepenuhnya adalah kepada kepentingan politik yang tanpa sadar sudah memenuhi rongga memori setiap pendukung.
Untuk menjadi ustaz tidak perlu nyantri, cukup bertubi-tubi menggerakkan telunjuk men-share berita yang dianggap penting dikabarkan tanpa perlu mengecek kesahihannya. Ustaz gadungan lebih dihormati ketimbang kiai sungguhan.
Pada era post-truth (pasca-kebenaran), yang ditonjolkan dalam komunikasi adalah ”kehebohan” bukan ”kedalaman”, ”provokasi” bukan ”refleksi”, ”keriuhan” bukan ”ketenangan”, ”ketergesaan” bukan ”kesabaran”. Bicara yang berlimpah, tetapi miskin makna.
Kata-kata yang berjejalan, tetapi kehilangan arti, pidato yang bergemuruh, tetapi isinya tak lebih hanya mempertontonkan sikap primitif memunculkan isu usang politik aliran, sentimentalisme identitas, dan sisanya menjual firman Tuhan untuk memburu demokrasi elektoral.
Tentu saja polarisasi itu bukan hanya ketakcermatan memperlakukan media sosial, tetapi juga melampaui diskursus pro dan kontra medsos.
Riset Daryna Grechyna dalam artikel ”On The Determinants of Political Polarization”, seperti dikutip Kompas (9/5/2018), merilis 10 faktor sosio historis dan fenomena ekonomi yang memengaruhi polarisasi di masyarakat, yakni produk domestik bruto per kapita, kesenjangan pendapatan, globalisasi, pembelanjaan pemerintah, independensi media, fraksionalisasi etnolinguistik, kepercayaan, demokrasi, kepadatan penduduk, dan faktor geografis.
Catatan Grechyna, kepercayaan dan kesenjangan pendapatan menjadi dua faktor penentu paling kuat polarisasi politik.
Kembali ke fitri
Ini yang menjadi alasan utama tempo hari para nabi semisal Isa, Sidharta Gautama, Musa, Daud, dan atau Nabi Muhammad tak pernah serampangan mengobral kata. Kesucian mereka terjaga dalam kata. Pilihannya berkata benar atau diam. Salah satu bentuk syariat yang diserukannya adalah puasa bicara.
Efek puasa manusia-manusia pilihan Tuhan itu dicirikan secara kuat dari caranya berbicara dan mengungkapkan kata-kata.
Minal aidin artinya upaya kembali pada ruang publik berkeadaban. Wal faizin maknanya kebahagiaan yang dibentangkan di atas elan vital pemuliaan kemanusiaan yang berporos pada kejujuran (amanah), transparansi (tabligh), kebenaran (shidiq), dan kepintaran (fathanah). Maka, 1 Syawal pun menjadi hari kemenangan.
Kemenangan cinta dan perayaan kegembiraan bersama. Kata Kanjeng Nabi, ”Cintailah semua yang ada di bumi, engkau akan meraih cinta dari langit.”
Dahulu ketika difitnah dan didesak menjawab siapa anak yang digendongnya, Siti Maryam sama sekali tidak menanggapinya. Dia membiarkan jabang bayi Al-Masih berbicara. Tuhan meminjam lidah Isa al-Masih menyampaikan jawabannya. Roh Kudus seumpama Nur Muhammad diletakkan pada ”bayi”. Kullu mauludin yuladu alal-fithrah (setiap manusia lahir ke bumi dalam keadaan suci).
”Bayi” melambangkan manusia suci, tulus, ikhlas, dan disukai setiap orang. Tangisannya menggemaskan dan membawa atmosfer kebahagiaan kepada kedua orangtua dan segenap keluarganya. Puasa sejatinya mengorbitkan amanat religius agar setiap kita kembali kepada fitrah bayi itu. Dan itu hanya dimungkinkan ketika terjaga dalam kata.
Momen kembali itu dirumuskan dalam ungkapan Idul Fitri. Kembali pada khitah sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang steril dari limbo kepentingan kecuali kepentingan untuk kebaikan bersama.
Dalam konteks kebangsaan, ”bayi” adalah metafora negara yang dijangkarkan pada haluan politik kewargaan. Politik yang bersumbu pada etos gotong royong (Soekarno), pendidikan berdaulat (Hatta), jalan kerakyatan dan kemerdekaan total (Tan Malaka), dan pedoman kehidupan yang lurus (Syahrir). Politik yang menjadikan bentangan multikulturalisme sebagai oksigen yang menyatukan nyawa kesadaran kita dalam kehidupan berbangsa.
Tenun yang terkoyak
Tragedi bom sebelum Ramadhan seharusnya menjadi catatan tidak saja bagi pemerintah, tetapi juga masyarakat bahwa radikalisme agama bukan isapan jempol belaka, melainkan nyata dan berada di depan hidung kita.
Mereka tak main-main, tetapi selalu menyiapkan segala cara untuk meraih tujuan , termasuk memperalat agama untuk memuaskan fantasi politik purbanya. Merebut kenangan politik abad pertengahan ketika agama dicampurbaurkan dengan urusan negara dan Tuhan menjadi jubah legitimasi melakukan tindakan keji. Itulah yang harus disadari dan dihindarkan oleh seluruh bangsa kita.
Apabila tidak hati-hati, kalian yang akan menjadi korbannya , tak peduli ayah, ibu, anak, kerabat, yang penting tolok ukurnya kalian ”kafir”. Penolakan Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) harus menjadi momentum politik melakukan gerakan kebudayaan pengarusutamaan Pancasila. Bahwa Pancasila adalah ideologi yang relevan untuk keindonesiaan yang beragam.
Idul Fitri di tahun politik menjadi kesempatan melakukan tafakur total bahwa beragama yang benar adalah ketika dilekatkan di dalamnya daya positif menebarkan kasih kepada semesta. Idul Fitri menjadi ajang menjahit kembali tenun kebangsaan yang terkoyak. Selamat berlebaran, maafkan lahir dan batin.