Unjuk rasa luas dan mengguncang Jordania, akhir Mei hingga awal Juni, telah berakhir. Namun, jalan terjal untuk bisa keluar dari krisis masih menghadang negeri itu.
Judul tulisan ini sengaja mengutip pernyataan Raja Jordania Abdullah II, yang diucapkan di hadapan sekumpulan wartawan di negaranya, 4 Juni lalu. ”Jordania saat ini berada di persimpangan jalan: apakah akan mampu keluar dari krisis dan memenuhi kehidupan yang bermartabat bagi warganya atau, semoga Allah mencegahnya, terperosok dalam situasi yang tak diketahui— tetapi kita harus tahu ke mana akan melangkah,” kata Raja Abdullah II, seperti dikutip kantor berita Jordania, Petra.
Pernyataan tersebut sepertinya menggambarkan situasi Jordania saat ini. Selama sepekan lebih, dari 29 Mei hingga 5 Juni, negeri di jantung Timur Tengah itu dilanda unjuk rasa ribuan warganya yang memprotes kebijakan penghematan oleh pemerintah melalui pencabutan subsidi, rencana kenaikan pajak, dan lain-lain sebagai bagian dari pelaksanaan program hasil kesepakatan Dana Moneter Internasional (IMF).
Luasnya eskalasi unjuk rasa di sejumlah kota itu mengingatkan banyak kalangan pada fenomena Musim Semi Arab tahun 2011. Berbeda dari unjuk rasa saat Musim Semi Arab lalu, yang diikuti kelompok Islamis, pemimpin suku, dan partai berhaluan kiri, demonstrasi kali ini diikuti profesional muda, mahasiswa, dan keluarga kelas menengah—laki dan perempuan.
Mereka, bukan hanya kelompok lapisan bawah, telah merasakan betul dampak kebijakan penghematan yang diterapkan pemerintah. Tarif listrik, harga BBM dan barang kebutuhan—termasuk roti sebagai makanan pokok—melonjak. Tarif listrik membengkak 55 persen sejak Februari lalu. Harga BBM sudah lima kali naik sejak awal tahun ini.
Yang membuat warga kelompok menengah kian marah adalah kenaikan pajak pendapatan mulai tahun 2018 (5 persen untuk individu dan 20-40 persen untuk perusahaan). Pendapatan mereka yang sudah tak mencukupi masih dipotong lagi untuk pajak. Meledaklah kemarahan itu dalam unjuk besar tersebut.
Walhasil, unjuk rasa dua pekan lalu itu telah menjatuhkan pemerintahan PM Hani Mulki. Mulki digantikan oleh Omar al-Razzaz, mantan ekonom Bank Dunia lulusan Universitas Harvard. Meski pemerintahan sudah diganti, bukan berarti persoalan dan krisis ekonomi di Jordania teratasi.
Razzaz dihadapkan pada tantangan bagaimana Jordania tetap bisa menjalankan program IMF, yang disepakati tahun 2016—antara lain untuk menekan rasio utang dari 95 persen PDB menjadi 77 persen pada 2021—saat negeri itu mendapat pinjaman 723 juta dollar AS, tetapi di sisi lain kebijakannya tidak memicu gejolak rakyat. Hal ini tidak mudah meski ada komitmen bantuan dana 2,5 miliar dollar AS dari Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab plus 20 juta euro dari Uni Eropa.
Jordania, negeri berpenduduk sekitar 10 juta jiwa, miskin sumber daya alam. Angka kemiskinan dan pengangguran tinggi (18,5 persen dari populasi usia pekerja). Perlu kehati-hatian dan menghindari kebijakan ekstrem dalam menjalankan paket reformasi ekonomi IMF.