Keadilan dan Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu
Pada 31 Mei 2018 Presiden Joko Widodo menerima peserta Aksi Kamisan yang terdiri dari perwakilan korban dan keluarga pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM masa lalu.
Menurut Juru Bicara Presiden Johan Budi, korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM masa lalu diterima oleh Presiden, karena Presiden ingin mendengarkan langsung permasalahannya tidak melalui mediator. Namun, suasana kebatinan korban terusik kembali setelah penyataan pesimistis Jaksa Agung HM Prasetyo yang menyatakan siapa pun yang menjadi presiden dan jaksa agungnya, tetap akan sulit memproses kasusnya.
Alasan Jaksa Agung bersikap pesimistis tersebut karena sebelumnya sudah pernah melakukan konsinyering bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia hampir sepekan lamanya, bahwa hasil penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM tidak dilandasi dengan bukti autentik. Sayang sekali jaksa Agung tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan bukti autentik tersebut.
Prosedur penyelidikan
Sepengetahuan penulis, prosedur penyelidikan Komnas HAM atas dugaan pelanggaran HAM di masa lalu dilakukan dengan prosedur yang memadai dan menggunakan standar yang berlaku secara nasional dan internasional serta referensi yang bersumber dari Mahkamah Agung, termasuk peraturan-peraturan penyelidikan pelanggaran HAM di masa lalu yang selama ini berlalu di internal Komnas HAM. Dalam penyelidikan pelanggaran HAM berat masa lalu, Komnas HAM menunjuk penyelidik yang berkompeten terdiri dari komisioner Komnas HAM dan penyelidik independen yang ahli di bidangnya.
Para penyelidik yang ditunjuk oleh Komnas HAM ini adalah para penyelidik dengan syarat bahwa tidak ada keterlibatan apa pun baik latar belakang, sikap kasus maupun secara politik, dan aspek-aspek lain yang akan memengaruhi psikologi dan obyektivitas hasil penyelidikan.
Dalam penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu, tim penyelidik pasti mengumpulkan bukti-bukti dokumen penting negara/pemerintah, seperti notula rapat, pernyataan, visualisasi, peraturan yang menunjukkan bahwa bukti-bukti tersebut sangat berkaitan dengan pelanggaran yang terjadi karena ada keterlibatan negara secara sistematis dalam peristiwa tersebut. Dalam mengumpulkan informasi suatu peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, tim penyelidik mendatangi sejumlah tempat peristiwa untuk melihat langsung dan memeriksa bukti-bukti lapangan
Tim penyelidikan Komnas HAM diharuskan memeriksa saksi korban dan keluarga korban atas suatu peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut, bahkan tim penyelidik juga diharuskan memeriksa atau meminta keterangan dari pelaku dan institusi yang diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut. Secara hukum, konteks dan substansi penyelidikan tim penyelidik pro justisia Komnas HAM tersebut hanya sampai untuk menemukan bukti permulaan yang cukup terhadap suatu peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.
Seperti bahwa dalam peristiwa tersebut telah ditemukan bukti permulaan yang cukup telah terjadi tindakan pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa, di mana ”perbuatan tersebut merupakan bagian dari serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yaitu suatu rangkaian yang dilakukan secara sistematis sebagai kelanjutan dari kebijakan penguasa”.
Dalam konteks ini, seharusnya Jaksa Agung sebagai penyidik yang dimandatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mengerti dan memahami kewenangan penyelidikan, bahwa Komnas HAM sebagai penyelidik hanya dimandatkan untuk menemukan bukti permulaan yang cukup, selanjutnya Jaksa Agung-lah yang berkewajiban untuk melanjutkan penyidikannya termasuk untuk menemukan bukti-bukti autentik yang dimaksudkan oleh Jaksa Agung sendiri.
Solusi lain
Korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu memiliki beban keadilan yang berbeda dengan korban- korban pelanggaran HAM yang terjadi saat ini, walaupun beban dari derajat, harkat dan martabat kemanusiaannya sama, demikian pula beban yang diemban oleh negara jika negara pesimistis menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu adalah korban yang terbebani tekanan politik, psikologi, ekonomi, dan ketidakpastian, itu berarti kekerasan negara akan berlangsung secara terus- menerus sepanjang kasus tersebut tidak terselesaikan sehingga menjadi sebuah beban sejarah (burden of history).
Penuntasan kasus pelanggaran HAM yang menjadi tanggung jawab negara merupakan hal yang paling penting bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Pembangunan demokrasi Indonesia ke depan tidak akan utuh selama penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masih terbengkalai.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2006 menyatakan bahwa pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi bisa dilakukan dengan dasar UU yang sesuai dengan UUD 1945, atau kebijakan politik,di mana kebijakan politik oleh presiden telah dituangkan dalam RPJMN yang secara tegas menyebutkan bahwa presiden akan membentuk komite yang langsung di bawah presiden untuk mencari jalan dan resolusi- resolusi yang konkret untuk memenuhi rasa keadilan korban.
Dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu perlu kiranya dilakukan dengan membuka kembali ruang dialog yang melibatkan korban, melakukan pendekatan-pendekatan secara kemanusiaan, mencari alternatif penyelesaian dengan membuat peta jalan (road map) penuntasan kasus pelanggaran HAM yang berat secara konkret, komprehensif, dan berarti bagi publik sehingga upaya penyelesaiannya dapat dilakukan secara terencana.
M Ridha Saleh Direktur Rumah Mediasi Indonesia