Tiada Maaf Bagimu!
Idul Fitri itu menyejukkan. Ia adalah momen terbaik yang melunakkan hati yang lama mengeras. Ia menjadi perekat hubungan yang terputus lama. Idul Fitri membuat amarah berada di titik nol.
Pada Idul Fitri 1439 Hijriyah ini, di Afganistan dilaporkan, militan Taliban berpelukan dengan pasukan keamanan Afghanistan. Seakan-akan tidak ada konflik hebat di antara mereka.
Pemandangan itu sempat dirasa sungguh mustahil mengingat perang di antara mereka yang begitu keras. Namun, menyambut Idul Fitri tahun ini, Presiden Afganistan Ashraf Ghani melakukan gencatan senjata sepihak. Ia pun menyerukan kepada Taliban untuk melakukan hal sama.
Idul Fitri atau kita sering menyebutnya Lebaran, adalah momen diagungkannya nilai-nilai kemanusiaan. Saatnya semua kebencian dikubur dalam-dalam. Kata “maaf” menjadi kesadaran hakiki pada nilai-nilai luhur manusia.
Dulu, permohonan maaf disampaikan lewat kartu lebaran yang umumnya berdesain gambar ketupat dan masjid. Di zaman now ini, semuanya diekspresikan dan didistribusikan lewat media sosial: WhatsApp, Facebook, twitter, instagram, Line, telegram, dan sejenisnya.
Karena sekarang zaman narsis pula, maka “kartu lebaran maya” itu bergambar foto pengirim, baik sendirian atau bersama keluarga. Apapun platformnya, menunjukkan bahwa Idul Fitri merupakan momentum terbaik untuk menjalin komunikasi dan silaturahim yang membuat suasana lebih cair.
Boleh jadi, inilah momen paling tepat untuk menyejukkan udara panas yang terpapar suhu politik yang begitu tinggi dalam beberapa tahun belakangan ini. Sejak Pilpres 2014, arena politik seperti terpanggang bara api.
Demokrasi makin bergerak menjauh dari titik sumbunya. Bukan mendekati pada makna demokrasi yang makin substantif. Demokrasi tidak terkonsolidasi mengarah pada diskusi di ruang publik yang makin positif dan konstruktif.
Demokrasi diekspresikan sebagai pertarungan hidup-mati (zero sum game). Tentu, bukan pertarungan secara sehat, yang menghargai keunggulan lawan. Padahal, seharusnya demokrasi dimaknai sebagai kemenangan untuk semua, seperti spirit Idul Fitri.
Demokrasi diekspresikan sebagai pertarungan hidup-mati (zero sum game).
Tetapi karakter demokrasi di negeri kita tampaknya lebih dominan siap menang. Kalah nanti dulu. Kekalahan akan sulit diterima. Karena kekalahan itu pahit dan menyakitkan. “Siap menang, siap kalah” agaknya cuma menjadi jargon politik saat kampanye. Ini terjadi karena semangat rivalitas yang tak pernah kendur.
Warisan Pilpres 2014 tetap subur sampai menjelang Pilpres 2019. Polarisasi begitu kuat, antara kubu Joko Widodo (presiden yang memenangi Pilpres 2014) dan kubu Prabowo Subianto (yang kini digambarkan sebagai pihak oposisi).
Di tingkat akar rumput pun selalu gaduh dengan berbagai olok-olok, tudingan, fitnah, perang di media sosial antara cebong versus kampret.
Cebong atau kecebong (anak kodok) adalah sebutan ejekan untuk pendukung Jokowi. Cebong itu dianggap tidak berotak. Sebaliknya kampret adalah sebutan ledekan untuk pendukung Prabowo. Kampret itu dianggap otaknya terbalik-balik (kampret kalau tidur terbalik).
Demokrasi cuma saling lempar olok-olok, ejekan hingga kebencian. Itulah suasana politik di tingkat massa, yang tentu saja tidak menyehatkan demokrasi. Sayang sekali, demokrasi dalam 20 tahun terakhir ini tidak terjadi perang ide-ide brilian sehingga demokrasi tidak tumbuh subur. Sebaliknya, demokrasi kian ringkih.
Demokrasi cuma saling lempar olok-olok, ejekan hingga kebencian.
Begitu sibuknya saling serang, membuat mereka tak sadar bahwa apakah dua tokoh itu akan kembali revans di Pilpres 2019? Jokowi dipastikan kembali mencalonkan, tetapi Prabowo masih tanda tanya sampai hari ini.
Gerakan “#2019 ganti presiden” juga belum memunculkan tokoh-tokoh yang digadang-gadangkan untuk kontes Pilpres tahun depan. Dengan begitu, gerakan itu terlihat “asal bukan Jokowi (ABJ)”. Jika sudah demikian, maka berbagai cara untuk menjatuhkan lawan menjadi sah.
Akhirnya, yang dapat disaksikan di arena politik adalah ketidakpuasan, kekecewaan, pelecehan, penghinaan hingga umbaran kebencian. Mengamati intensi dan frekuensinya, semua itu menjadi propaganda untuk menyerang lawan.
Membuka aib dan kekurangan lawan adalah jurus tergampang untuk menjatuhkan lawan. Tentu saja bisa berdalih sebagai kritik. Tetapi bila dibilang kritik, itu terlalu lebay. Sebab, anatomi kritik itu bersifat konstruktif. Kritik itu bertujuan untuk memberikan perbaikan, bukan untuk mempermalukan apalagi mejatuhkan pihak lain.
“Kritik konstruktif itu adalah tentang menemukan sesuatu yang baik dan positif,” kata Paula Abdul, penyanyi terkenal sejak dekade 1980-an. “Kritik terbaik adalah solusi terbaik,” ujar Frank Sonnenberg, penulis Amerika Serikat.
Rezim demokrasi tentu tidak boleh antikritik. Namun, apa yang dikatakan sebagai kritik di panggung politik akhir-akhir ini lebih banyak bersifat destruktif, tidak membawa hawa yang segar. Apa yang disebut kritik itu justru membawa ruang politik berkabut dan sumpek. Arena politik begitu pengap karena oksigennya semakin menipis akibat dijejali polusi.
Pemerintah (eksekutif) yang dipimpin Presiden Joko Widodo kerap menjadi bulan-bulanan. Setiap langkah pemerintah hampir tiada yang benar. Ketika Presiden Jokowi habis-habisan membangun infrastruktur guna menggerakkan semua roda pembangunan, dituding terlalu mengurusi infrastruktur.
Kelompok oposisi selalu berteriak-teriak karena Jokowi dianggap lebih mengurusi infrastruktur tanpa memikirkan kesejahteraan petani. Bahkan ada juga suara yang menyatakan pembangunan jalan tol, misalnya, hanya akan dinikmati orang-orang bermobil.
Mungkin, mereka lupa bahwa jalan tol itu juga dilewati mobil-mobil pengangkut kebutuhan pokok hasil panen petani di daerah-daerah. Jalan tol juga dilewati bus-bus yang mengangkut warga yang hendak mudik ke kampung halamannya selama Idul Fitri.
Tetapi, itulah sulitnya berdemokrasi dengan perasaan tidak tulus. Kalau mau berpikir bening, persoalan infrastruktur ini sangat minim. Suka atau tidak suka, pada era Jokowi terjadi akselerasi pembangunan infrastruktur. Maka, lebih elegan apabila kubu oposisi mengawal dan mengawasi pembangunan infrastruktur agar berjalan cepat dan sesuai kebutuhan masyarakat.
Tetapi, itulah sulitnya berdemokrasi dengan perasaan tidak tulus.
Dan, jika ada penyimpangan, itulah saatnya meneriaki pemerintahan Presiden Jokowi. Tetapi tentu harus terukur dan sesuai akuntabilitas, bukan mengada-ada.
Bukan hanya soal langkah pemerintah yang disudutkan. Soal hilangnya foto pertemuan Amien Rais, Prabowo, Habib Rizieq di Mekah beberapa waktu lalu di Instagram, pemerintah juga yang dipersalahkan. Semua telunjuk menuding pemerintah.
Tuduhannya macam-macam: represif memberangus kebebasan, menghalalkan segala cara utuk menekan lawan, hingga wacana pengaduan ke pengadilan internasional. Tetapi, semua itu cuma tuduhan. Penjelasan pemerintah yang memberi bantahan dianggap angin lalu saja.
Ternyata, sistem algoritma Instagram yang bekerja menghapus foto-foto itu, berdasarkan data Terrorism Research & Analysis Consortium (TRAC) mengenai teroris lokal.
Lalu, tidak terdengar pula permohonan maaf karena prasangka buruk itu. Apakah spirit Idul Fitri tidak mencairkan hati yang keras membeku? Sayang, karena frase “mohon maaf lahir dan batin” cuma sampai di ucapan dan kata-kata manis yang tersebar di media sosial, belum sampai pada tataran perbuatan nyata, terlebih dalam praksis politik.
Apakah spirit Idul Fitri tidak mencairkan hati yang keras membeku?
Padahal, militan Taliban dan pasukan keamanan Afganistan sudah saling peluk pada Idul Fitri kali ini. Bahkan, Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un saja sudah bertemu di Hotel Capella, Pulau Sentosa, Singapura pada 12 Juni 2018 lalu.
Padahal, dua tokoh itu kerap digambarkan sebagai musuh bebuyutan yang dapat memicu perang besar dengan penggunaan senjata nuklir berbahaya bagi umat manusia.
Kalau mereka bisa, mengapa di negeri kita tidak bisa? Semestinya momentum Idul Fitri ini digunakan untuk benar-benar saling memaafkan, menata kembali keadaban berpolitik, dan bersama-sama berkomitmen bersaing secara sehat untuk membangun negeri ini mengapai masa gilang-gemilang.
Siapa pun pemenang pilpres, berikanlah kesempatan untuk memimpin negeri ini lebih maju dan sejahtera. Andai Jokowi atau Prabowo, atau tokoh-tokoh lain yang menang Pilpres 2019 (pokoknya siapa saja asal konstitusional), harus diterima lapang dada.
Politik itu biasa saja. Tak perlu sakit hati berkepanjangan. Namun, jangan-jangan di panggung politik negeri ini tiada maaf bagimu!