Indonesia, DK, dan Palestina
Keberhasilan Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB adalah sebuah kebanggaan tersendiri.
Sebagai anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB), Indonesia bertanggung jawab lebih besar dalam menjaga perdamaian dunia dan menyelesaikan berbagai permasalahan keamanan global. Salah satu komitmen Presiden Joko Widodo sebagai anggota DK-PBB adalah menyelesaikan masalah Palestina.
Selama ini, asumsi dalam penyelesaian masalah Palestina adalah meletakkan perjuangan kemerdekaan Palestina dalam satu kutub dengan keberhasilan proses perdamaian yang berbasis solusi dua negara. Dalam kerangka itu, ada tiga variabel kunci yang menentukan maju dan mundurnya perjuangan kemerdekaan Palestina.
Variabel pertama adalah strategi perjuangan Palestina. Variabel kedua keberadaan aliansi pro-perdamaian di dalam pemerintahan Israel. Terakhir, peran aktor eksternal dalam memediasi proses perdamaian yang mengarahkan kemerdekaan Palestina. Dari ketiga variabel tersebut, Indonesia hanya kehilangan variabel kedua—sebagai dampak dari keputusan Indonesia untuk tidak membangun relasi dengan Israel. Dengan demikian, apa kontribusi yang dapat diberikan Indonesia di DK-PBB dalam mendorong kemerdekaan Palestina?
Pergeseran strategi Palestina
Perjuangan kemerdekaan Palestina dilakukan dengan tiga metode berbeda. Pertama, negosiasi bilateral dengan Israel. Diawali penandatanganan Kesepakatan Prinsip 1993, metode ini kandas pasca-kegagalan perundingan Camp David dan Taba di awal dekade 2000-an. Pengusung utama metode ini adalah Amerika Serikat. Mandeknya metode penyelesaian melalui negosiasi bilateral ini seiring keputusan AS untuk tak lagi menjadi mediator. Sesekali, upaya mediasi tetap dilakukan AS, tetapi tidak kontinu dan terencana.
Kedua, perjuangan bersenjata. Metode ini identik dengan Hamas. Pada periode sebelum 1993, perjuangan bersenjata untuk merdeka menjadi opsi utama kelompok-kelompok perlawanan Palestina. Namun, sejak PLO menandatangani Kesepakatan Prinsip, opsi ini ditinggalkan.
Sejak pecahnya Intifadah kedua tahun 2002, Brigade al-Aqsa, kelompok paramiliter yang berafiliasi pada Fatah, kembali menggunakan metode perjuangan bersenjata. Saat ini, beberapa sayap militer yang berafiliasi pada kelompok-kelompok dalam PLO, Hamas, dan beberapa kelompok lain menggunakan metode ini untuk kemerdekaan Palestina.
Ketiga, yang muncul belakangan, penggunaan organisasi internasional, PBB, untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan. Metode ini dimulai oleh Mahmoud Abbas di tengah kebuntuan negosiasi bilateral dan konsistensi Abbas untuk tidak menggunakan kekerasan. Metode ini juga jadi opsi paling maju. Palestina sudah tercatat sebagai non-member state PBB dan masuk keanggotaan beberapa organ utama PBB.
Selain itu, mayoritas anggota PBB sudah mengakui kedaulatan Palestina. Kendala terbesar bagi pengakuan tersebut ada pada DK-PBB. Dalam konteks inilah Indonesia bisa berperan sebagai penjaga gawang bagi dukungan pada kemerdekaan dan kedaulatan Palestina.
Kendala utama Indonesia dalam upaya tersebut adalah kuatnya kepentingan AS dalam melindungi posisi Israel melalui DK-PBB. Sejak 1972 hingga 2017, AS telah menggunakan 43 veto terhadap draf-draf resolusi DK-PBB terkait Israel; 10 di antaranya draf resolusi terkait Lebanon dan satu terkait Suriah. Sisanya, atau sebagian besar, merupakan draf terkait Palestina.
Empat dari draf tersebut terkait dengan Jerusalem dan empat lainnya terkait dengan permukiman Yahudi. Sisanya terkait dengan operasi militer ataupun isu keamanan. Dalam banyak kasus, AS satu-satunya negara yang menolak draf.
Amerika Serikat sering menjatuhkan veto jika ada usulan draf yang dinilai merugikan Israel. Salah satu kasus di mana AS memutuskan untuk tidak menggunakan veto adalah dalam resolusi DK PBB nomor 2334 tentang pemukiman Yahudi. Pemerintahan Obama membiarkan draf resolusi yang menyudutkan Israel tersebut diadopsi oleh DK PBB.
Patut dicatat bahwa resolusi tersebut sifatnya non-binding dan keputusan tersebut diambil manakala hubungan antara Israel di bawah Netanyahu dan AS di bawah Obama berada pada puncak ketegangan. Namun, meski AS membiarkan resolusi tersebut diadopsi, mereka tetap memberikan bantuan militer bagi Israel sepanjang 2016.
Pergantian dari pemerintahan Obama ke Trump ditandai dengan penggunaan kembali veto oleh AS terhadap draf resolusi DK PBB terkait status Jerusalem akhir tahun 2017. Draf usulan Mesir tersebut merupakan reaksi atas rencana pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem yang akhirnya dilaksanakan oleh pemerintahan Trump tahun 2018. Pergeseran tersebut mengembalikan sikap pro-Israel di pemerintahan AS.
Solusi Indonesia
Dari dua variabel tersebut, ada tiga catatan penting yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia selama masa keanggotaannya di DK PBB.
Pertama, hal yang hilang dari variabel pertama adalah tidak adanya skema perjuangan kemerdekaan yang terencana atau terstruktur dengan baik. Artinya, ketiga strategi tersebut tidak dijalankan dalam satu visi yang sama. Aktor-aktor yang menjalankan ketiga strategi tersebut tidak memiliki kesamaan pandangan mengenai negara Palestina seperti apa yang akan mereka bangun. Akibatnya, upaya untuk memecah belah Palestina oleh aktor eksternal menjadi lebih mudah dilakukan. Misalnya, penggunaan kekuatan bersenjata sering digunakan sebagai alasan untuk memojokkan posisi negosiasi Palestina di front diplomasi.
Ketidakmampuan Palestina membangun sinergi yang sinkron dalam tiga strategi tersebut berakar dari perpecahan di dalam tubuh Palestina sendiri. Dalam konteks ini, Indonesia bisa mendorong agar dilakukan rekonsiliasi internal Palestina agar strategi perjuangannya bisa lebih sinergis. Upaya untuk membuat strategi perjuangan bersenjata yang diadopsi oleh Hamas dan sayap-sayap militer lainnya ataupun jalur multilateral yang diambil Pemerintah Palestina menjadi menyatu perlu untuk dilakukan.
Upaya tersebut bisa dilakukan secara bilateral mengingat Indonesia memiliki posisi unik dalam konstelasi politik domestik Palestina. Indonesia memiliki kedekatan dengan dua faksi utama Palestina, Hamas dan Fatah, sehingga memudahkan upaya membangun sinergi.
Upaya terstruktur tersebut tetap harus menempatkan opsi diplomasi melalui PBB sebagai pilar utama. Upaya mendapatkan kedaulatan melalui PBB sudah berhasil dilakukan dalam organ-organ PBB selain DK. Dengan posisi sebagai anggota DK PBB, dalam dua tahun ke depan Indonesia bisa menginisiasi beberapa resolusi yang lebih netral terkait Palestina.
Kedua, sentralitas peran AS dalam proses perdamaian/perjuangan kemerdekaan Palestina membuat Indonesia mau tidak mau harus bisa berperan sebagai jembatan dan penekan bagi kepentingan Palestina. Jikapun opsi untuk melibatkan negara besar lain di luar AS akan dilakukan, Indonesia perlu berhitung dengan cermat agar keterlibatan mereka tidak merugikan Palestina dalam jangka panjang.
Terakhir, perlu juga dicatat bahwa isu Palestina tidak senantiasa perlu ditempatkan sebagai bagian dari pertarungan politik domestik. Indonesia perlu berkaca pada bagaimana isu Israel menjadi bagian dari politik domestik AS yang menghasilkan sikap veto membabi buta atau bagaimana isu Palestina menjadi bagian dari pertarungan politik internal di negara-negara Arab. Bahwa posisi Indonesia dalam isu Palestina akan selalu jelas keberpihakannya adalah hal yang mutlak dan yang patut dipikirkan masak-masak hanyalah strategi yang akan diadopsi dalam mendorong kemerdekaan Palestina sesuai dengan konteksnya.
Broto Wardoyo Staf Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia