Infrastruktur dan Revolusi Mental
Eksistensi bangsa Indonesia di tengah percaturan dunia sangat bergantung pada kualitas mental bangsa ini. Oleh karena itu, revolusi mental merupakan gerakan yang sangat mendasar dan harus berhasil.
Ini adalah gerakan nasional untuk mengubah secara cepat cara berpikir, bersikap, dan berperilaku yang menghambat kemajuan bangsa sehingga bangsa kita mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di era globalisasi ini.
Agar efektif, gerakan revolusi mental difokuskan pada tiga nilai strategis, yaitu integritas (sikap jujur, sadar akan hak dan kewajiban); etos kerja (kerja keras dan kreatif); serta gotong royong (saling menghargai dan kerja sama antargolongan). Semua ini masalah budaya yang sudah mendarah daging dan tidak bisa berubah dengan sendirinya kecuali didorong oleh kebijakan pemerintah yang tepat.
Infrastruktur sosial
Pada dasarnya pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah menggerakkan revolusi mental melalui dua jalur. Pertama, melalui Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Di Jalur ini pemerintah telah melakukan banyak hal yang bersifat promosi dan sosialisasi.
Namun, harus diakui bahwa jalur ini sangat terbatas cakupan kegiatan dan kewenangannya karena hanya ditangani satu kemenko. Efektivitasnya untuk melakukan perubahan mental seluruh masyarakat Indonesia secara ”revolusioner” jelas sangat terbatas. Banyak masyarakat menjadi skeptis dan tak sedikit yang mengatakan revolusi mental telah gagal. Namun, kita harus tahu bahwa masih ada jalur lain bagi Jokowi untuk menggelar revolusi mental, yaitu melalui program Nawacita yang langsung digerakkan di bawah komando Presiden.
Kebijakan ”Membangun dari Pinggiran” yang mencakup dana desa, pembangunan infrastruktur sampai ke pelosok Tanah Air, penyamaan harga migas dan lain-lainnya, ternyata memiliki potensi amat besar sebagai pemicu revolusi mental. Semua itu merupakan potensi untuk menghasilkan perubahan besar dan dahsyat di kemudian hari bagi bangsa Indonesia. Apalagi ketika nanti kekuatan ekonomi yang terpusat di Jawa bisa ditarik untuk berinvestasi ke seluruh pelosok Nusantara. Bahwa orang kaya cenderung akan memperoleh keuntungan terlebih dahulu, itu adalah hukum ekonomi.
Secara sosiologis, infrastruktur fisik yang digelontorkan oleh pemerintah bisa mendorong munculnya infrastruktur sosial, yaitu kemampuan masyarakat berorganisasi dan mengembangkan suatu pola kerja sama yang baru dan kreatif dalam merespons kesempatan yang diciptakan oleh infrastruktur fisik.
Jalan raya yang menembus desa-desa terpencil akan merangsang penduduk desa secara kooperatif mengembangkan pertaniannya, industri kecilnya, bahkan menghidupkan kembali kesenian serta kuliner tradisionalnya menjadi atraksi wisata lokal. Dana desa akan menghidupkan kembali musyawarah dan gotong royong di desa-desa kita sehingga secara kreatif dan adil mereka bisa memanfaatkan dana itu untuk kemajuan dan kesejahteraan seluruh warga.
Jadi, kebijakan ”pembangunan dari pinggiran” adalah suatu kebijakan cerdas dan berani dan sudah di jalan yang benar (on the right track). Bagi negara yang amat luas ini, yang terpenting adalah tersedianya secara merata potensi nyata bagi perkembangan ekonomi rakyat di seluruh daerah.
Membangun peradaban
Sejak masa penjajahan hingga merdeka, kondisi infrastruktur fisik sangat memprihatinkan. Ini bukan hanya menghambat pemerataan pembangunan ekonomi, tetapi mencederai perkembangan budaya bangsa ini, terutama mentalitas mereka. Tuduhan sebagai bangsa pemalas, tak kreatif, tidak disiplin, sesungguhnya tidak adil karena ini semua akibat dari miskinnya infrastruktur selama beratus tahun.
Bahkan pembangunan transportasi massal cepat (MRT) di Jakarta jangan dinilai sekadar pembangunan fisik semata, tapi infrastruktur itu akan jadi pendorong pembangunan mental dan budaya masyarakat Jakarta untuk masa depan. Kehadiran MRT akan menyadarkan warga Jakarta bahwa menggunakan kendaraan umum lebih efisien daripada kendaraan pribadi. Mereka akan siap beralih ke kendaraan umum, tidak mau lagi menambah mobil pribadi dan seterusnya.
Perpindahan secara masif dari kendaraan pribadi ke MRT akan mengubah sikap sopan santun berkendara di jalan raya Jakarta yang saat ini sudah mendekati situasi ”kebiadaban”. Jadi, pembangunan peradaban Jakarta ternyata terjadi melalui pembangunan infrastruktur, bukan melalui penataran, pidato atau kampanye.
Pembangunan di masa Orde Baru tidak bisa langsung dirasakan oleh rakyat kecil di seluruh daerah, tetapi dijanjikan akan menetes ke bawah (trickling-down effect). Inilah teori pembangunan yang saat itu dianggap paling benar. Sayangnya, tetesan itu tak kunjung terjadi sampai saat ini sehingga kesenjangan ekonomi meroket terus. Rasio gini sebagai pengukur kesenjangan ekonomi pada 2014 sudah menunjukkan angka 0,41 (dari skala 0,00 sampai 1), kini menjadi 0,39: belum signifikan, tetapi setidaknya telah bisa dihentikan lajunya.
Teori pembangunan trickling- down effect kini dengan penuh keberanian diganti dengan ”membangun dari pinggiran”. Kita semua paham bahwa keputusan membangun infrastruktur di pelosok daerah bukanlah hasil pertimbangan ekonomi, melainkan pertimbangan sosial, yaitu untuk menghasilkan pemerataan. Membangun infrastruktur di Jawa pasti akan jauh lebih menguntungkan secara ekonomi.
Di saat Lebaran ini kita menyaksikan tersedianya infrastruktur yang baik telah memanusiakan rakyat Indonesia dan telah mendorong mereka untuk lebih mengembangkan ketertiban dan keteraturan. Pelayanan aparatur negara, mulai dari polisi yang mengatur kenyamanan dan keamanan berlalu lintas, sampai Bulog yang mengamankan harga- harga di pasar akan jadi pemicu perubahan mental pada masyarakat Indonesia secara luas.
Melihat semua kejadian ini tentu saja kita semua berharap agar semua warga masyarakat Indonesia mulai bisa membaca bahwa di Tanah Air kita saat ini sedang terjadi suatu ”angin perubahan”. Revolusi mental akan berjalan seiring dengan itu menuju Indonesia yang semakin beradab.
Paulus Wirutomo, Sosiolog Universitas Indonesia