Konektivitas Kebangsaan
Apakah tindakan seorang pemimpin bisa kontradiktoris dengan mentalitas yang dimiliki? Sebuah pertanyaan yang kerap muncul tidak saja melihat perilaku pejabat publik yang jauh berbeda dari wacana pembangunan karakter yang dijanjikan, atau bahkan sebagai kritik atas pemimpin yang dinilai hanya mengutamakan salah satunya.
Orasi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) akan revolusi mental yang seakan ”senyap” di tengah deru infrastruktur bisa ditempatkan dalam konteks ini. Bagaimana memahami hal ini dalam bingkai konektivitas kebangsaan?
Dialektika
Kesadaran akan intensitas dialektika antara pemikiran dan tindakan kian diakui. Tindakan adalah manifestasi pikiran.
Menurut Thomas Lickona, dalam Educating for Character (1991), moral action atau tindakan moral merupakan kulminasi dari proses dasar, yakni pengetahuan moral (moral knowing) dan perasaan moral (moral feeling).
Yang dimaksud dengan pengetahuan moral tentu tidak sekadar berada pada tataran verbal, tetapi perlu menyentuh kesadaran moral (moralawareness). Hal itu akan jadi lengkap ketika diarahkan untuk mempelajari nilai-nilai moral, memperdalam cara pandang dan alasan pilihan atas sebuah nilai moral.
Namun, pengetahuan moral harus membatin menyentuh nurani dan menumbuhkan empati serta komitmen pada pengutamaan akan nilai kebenaran. Sikap yang dilakukan secara tulus dan dijiwai kerendahan hati.
Pada akhirnya diharapkan tindakan menjadi muara akhir sebagai manifestasi proses sebelumnya. Kerja nyata merepresentasikan pemahaman yang benar dan pembatinan yang terus dilakukan.
Dari sana kemudian terlahir aksi membanggakan. Rangkaian aksi akan kian membanggakan karena diwadahi niat baik yang tulus serta pembiasaan yang terus-menerus sehingga sungguh terjelma dalam hidup.
Akan tetapi, mengapa kerap terjadi tindakan seseorang kontradiktoris dengan janji? Mengguritanya korupsi menjadi contoh yang kian kerap terjadi. Bila ditelusuri, moralitas yang dijanjikan masih berada pada tataran etika personal di mana lebih diutamakan penampakan eksternal demi mendapatkan simpati. Sesungguhnya, pengetahuan moral belum membatin dan masih jauh untuk menjadi karakter etis.
Jelasnya, ketika proses dialektika antara kata, perasaan, dan tindakan menyatu, maka apa yang dilakukan mencerminkan cara berpikir yang telah dibatinkan. Demikian juga konsistensi akan terus menjadi sebuah pengakuan karena apa yang diucap tersebut lahir dari perwujudan nyata.
Manifestasi gradual
Revolusi mental yang kerap menjadi topik sejak Jokowi-JK menjadi pemimpin di negeri ini harus ditempatkan pada tataran pengetahuan moral. Sebuah konsep untuk membangun kesadaran akan wadah dasar yang perlu dikemas secara mendalam dengan pengutamaan nilai, jauh dari sekadar servis di bibir belaka.
Itu berarti yang jadi sasaran tuju mestinya menggugah pada perwujudan nilai-nilai kebangsaan. Yang dimaksud, kesadaran Kebangkitan Nasional 1908 dan tekad dalam Sumpah Pemuda 1928 dan terutama Proklamasi Kemerdekaan 1945 adalah tekad yang perlu dijadikan nyata di masa kemerdekaan.
Pertama, tindakan moral mestinya menjadi titik berangkat dalam mengevaluasi kepemimpinan. Di sana janji yang diwacanakan terbukti apakah telah membatin dan hadir dalam tindakan yang dirasakan atau belum. Dalam arti ini, tindakan moral mestinya tidak dijadikan polemik (seperti kerap terjadi), tetapi menjadi membacanya sebagai wujud nyata dari pengetahuan moral yang dijanjikan dan perasaan moral yang dijiwai. Pada tataran ini mestinya sudah jarang malah tidak kita dengar wacana ilusif untuk sekadar memperlawankan tindakan dan konsep moral.
Kedua, tindakan moral pemimpin tidak bisa berhenti pada pameran pembangunan fisik atau infrastruktur sebagai tujuan akhir. Membanggakan ribuan kilometer jalan dan tol, pelabuhan, bandara adalah hal yang tak wajar karena hal itu adalah tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin. Keberhasilan pun tak bisa jadi monopoli eksekutif. Tanpa penataan peraturan perundangan dari legislatif dan badan yudikatif yang imparsial, mustahil terwujud pembangunan fisik yang dibanggakan.
Namun, yang paling penting adalah arah kebangsaan yang menjadi bidikan akhir. Yang dimaksud, bagaimana semangat kebangsaan itu bisa terjadi di balik semua pembangunan fisik. Di sana terlihat, ribuan pulau yang terpisah oleh laut justru kini terkoneksi melalui pembangunan. Di sana, keindonesiaan yang (katanya) satu, baik tanah air, bangsa, maupun bahasa, mendapatkan realisasi nyata.
Di sini mestinya jadi kebanggaan bersama. Rangkaian pembangunan yang sudah dilakukan pada zaman Orla, Orba, dan Reformasi kini terlihat benang merah perwujudan gradual. Demikian pula keberhasilan infrastruktur yang bila diakui kini secara nyata merupakan kemajuan gradual yang disyukuri dan bukan dicibiri. Hanya demikian, konektivitas kebangsaan jadi pijakan yang makin melahirkan kita sebagai bangsa besar.
Robert Bala Diploma Resolusi Konflik Asia-Pasifik, Universitas Complutense de Madrid, Spanyol