Mulutmu Harimaumu
Pepatah mulutmu harimaumu sebenarnya merupakan sebuah nasihat kepada diri kita untuk berhati-hati dalam berucap dan berbicara. Nasihat itu masih relevan sampai saat ini untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Nasihat dari leluhur Jawa menyebutkan ajining raga gumantung saka busana, ajining diri gumantung pucuking lathi. Pengertian sederhananya adalah penampilan seseorang akan dilihat dulu dari kepantasan pakaian, dan harga diri seseorang tergantung dari ucapannya.
Saya pikir bulan puasa ini akan membuat setiap orang untuk merenung, mengevaluasi, dan mawas diri atas semua perbuatannya, serta tidak mengulang kesalahan karena demikianlah sebagian makna puasa.
Sebagai rakyat kecil, saya sangat masygul manakala menonton TV, membaca koran, atau berita daring, karena masih ada sejumlah orang yang dianggap tokoh masyarakat, tokoh intelektual, justru tidak bisa mengerem ucapannya, tidak bisa menahan diri untuk berucap pedas, serta membuat hati orang lain menjadi jengkel.
Apabila mau memasukkan kepentingannya ke dalam ranah politik, janganlah membawa Tuhan dalam perpolitikan. "Ora ilok," kata orang Jawa.
Ojo nggege mongso, mendahului kehendak Allah dengan mengatakan sebuah kepastian. Jika nafsu meraih kekuasaan menggelora dan semakin ”kebelet” ingin berkuasa, pakailah cara yang elegan dengan sistem dan prosedur yang benar. Raihlah kemenangan dan kekuasaan dengan baik tanpa menyakiti orang lain.
Semoga tulisan ini bisa menggerakkan siapa pun untuk menahan diri dalam berucap dan berbicara. Apabila tulisan ini tidak juga menggerakkan hati, biarlah Allah yang mengingatkan dengan cara-Nya.
Sri Handoko Tugurejo, Kecamatan Tugu, Semarang
Kenapa Ngotot Bela Koruptor?
Saya miris dengan ngototnya DPR dan Kemenkumham yang menolak Rancangan Peraturan KPU: melarang bekas narapidana koruptor menjadi calon anggota legislatif di Pemilu 2019.
KPU yang didukung KPK bersikeras ketentuan tersebut harus ada di PKPU terbaru, dengan alasan ada tanggung jawab moral dari KPU untuk memberikan calon-calon wakil rakyat terbaik bagi publik, yaitu mereka yang benar-benar bersih rekam jejaknya dari korupsi. Itu bentuk konkret KPU memperkuat gerakan antikorupsi, bagian dari Nawacita pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Anehnya, para politikus DPR, dan pemerintah bersikeras peraturan tersebut tidak boleh ada. Alasannya, PKPU adalah turunan UU Pemilu yang tidak mengatur larangan seperti itu.
Mereka mengaku antikoruptor dan mendukung tanggung jawab moral KPU, tetapi karena di UU Pemilu tidak ada larangan, harus ada revisi UU Pemilu terlebih dahulu.
Katanya, parpol juga akan menyeleksi ketat kadernya. Jika tak memenuhi kriteria parpol—di antaranya bekas narapidana korupsi—pasti tidak diusung. Sarannya, bekas narapidana koruptor boleh mencalonkan diri, tetapi harus mengumumkan statusnya sebagai bekas narapidana koruptor. Ini saran yang janggal karena bertentangan dengan komitmen parpol untuk tidak mencalonkan bekas narapidana koruptor.
Akan tetapi, ketika menonton perdebatan antara KPU dengan para politikus DPR di televisi, saya melihat sesuatu yang sangat konyol, politikus DPR dan pemerintah bersemangat menolak ketentuan itu. Maka, yang menonjol justru peran mereka sebagai pembela koruptor.
Untuk apa lagi mereka boleh mencalonkan diri meski dengan syarat membuka statusnya, kalau memang parpol tidak akan mencalonkan mereka? Dari sini, kita patut curiga, parpol tidak akan memenuhi komitmen.
Kenapa tidak dibalik saja cara berpikirnya bahwa seperti KPU, berdasarkan tanggung jawab moral, DPR dan pemerintah mendukung ketentuan larangan bekas koruptor menjadi calon anggota legislatif.
Daniel HT Satelit Indah, Surabaya