Apa Penyebab Suatu Negara Kuat dalam Sepak Bola?
Sebanyak 32 tim sepak bola nasional sedang bertarung di Piala Dunia 2018 di Rusia. Semua tim jelas ingin menang, ingin menjadi juara. Sayangnya, hanya satu negara yang berhak menjadi juara dunia.
Walau teorinya semua tim berpeluang sama, realitasnya tidak begitu. Ambil contoh, bagi tim Kosta Rika, lolos ke Piala Dunia saja sudah anugerah istimewa. Tidak kurang dari Presiden Kosta Rika yang melepas tim sepak bola Kosta Rika.
Bagaimana dengan Jepang? Belum lama ini, sang manajer Vahid Halilhodzic dipecat dan diganti oleh Akira Nishino. Yang menarik, mantan Manajer Jepang Philippe Troussier di Piala Dunia 2002 mengatakan, walau tim Jepang dilatih oleh Jose Mourinho sekalipun, tim ini tidak akan menjadi juara dunia.
Sejauh ini, hanya delapan negara yang menjadi juara dunia. Brasil pernah juara dunia lima kali, disusul Jerman dan Italia masing-masing empat kali.
Kemudian, Argentina sebanyak dua kali dan Uruguay juga dua kali, termasuk juara dunia pertama. Sisanya adalah Inggris, Perancis, dan Spanyol yang masing-masing satu kali juara dunia.
Melihat data tersebut, pertanyaan utamanya adalah faktor-faktor apa saja yang membuat suatu negara dapat menjadi juara dunia?
Banyak faktor
Untuk menjadikan suatu negara kuat dalam sepak bola, ternyata ada banyak faktor yang memengaruhinya. Dalam bahasa sederhana, ada yang mengatakan, intinya sepak bola adalah ilmu sosial, bukan ilmu matematika.
Salah satu contohnya adalah cara seorang pemain menendang penalti bisa dipelajari. Tiap pemain dapat dipelajari pula kebiasaannya. Tim-tim besar, baik negara maupun klub, juga telah menggunakan teknologi untuk merekam masalah ini. Kemudian, pelatih kiper akan memutar rekaman video tersebut.
Akan tetapi, apakah dapat diduga ke mana arah menendang ketika ia sedang menggiring bola.
Terlepas dari banyak faktor penentu itu, ada negara-negara di dunia yang berhasrat kuat untuk menguasai sepak bola. Presiden China Xi Jinping, misalnya, berambisi bahwa pada 2050 China menjadi kekuatan sepak bola (superpower).
Untuk itu, China mendirikan 20.000 pusat latihan sepak bola. Bahkan, China mendirikan akademi sepak bola terbesar di dunia berlokasi di Guangzhou.
Lain lagi dengan Uni Arab Emirat (UAE). Negara kaya ini membeli klub-klub di Eropa dengan biaya miliaran dollar Amerika Serikat. UAE berharap dapat belajar dari klub-klub itu. Adapun Arab Saudi mematangkan pemain-pemain mudanya di Liga Spanyol.
Model berbasis statistik
Majalah mingguan ekonomi terbesar di dunia, The Economist, pun telah membuat suatu model berbasis statistik untuk mengidentifikasi apa yang membuat suatu negara bagus dalam sepak bola.
Tujuan dari pembuatan model ini bukan untuk memprediksi siapa yang menjadi pemenang di Piala Dunia Rusia 2018. Sebaliknya, tujuan pembuatan model ini adalah untuk melihat faktor-faktor apa saja yang dibutuhkan untuk mengembangkan potensi sepak bola suatu negara.
Selain itu, untuk mencari tahu mengapa ada negara yang hasilnya lebih dari harapan atau kemajuannya cepat sekali. Untuk itu, tim dari majalah yang sangat bergengsi ini mendata semua pertandingan internasional sejak 1990 dan melihat variabel apa yang memiliki korelasi dengan perbedaan gol di antara tim-tim tersebut.
Majalah The Economist juga mewawancarai Stefan Szymanski, ekonom dari Universitas Michigan yang juga membuat model yang serupa.
Tim dari majalah yang terbit pertama kali pada abad ke-19 ini juga memperhitungkan sekaligus mempertanyakan faktor produk domestik bruto suatu negara.
Senegal di satu sisi, misalnya, ternyata begitu miskin sehingga hanya terdapat tiga lapangan berumput. Walaupun, di sisi lain, banyak bakat sepak bola terdapat di sana.
Faktor popularitas juga diperhitungkan, dengan menanyakan asosiasi sepak bola di setiap negara, berapa estimasi terbaik jumlah klub di negara tersebut.
Juga dipelajari, misalnya, seberapa sering penduduk di suatu negara mencari informasi tentang sepak bola melalui mesin pencari di internet antara tahun 2004 dan 2018. Kemudian, dibandingkan dengan pencarian informasi tentang rugbi, kriket, bisbol, bola basket, dan hoki es.
Ternyata, perhatian terhadap sepak bola di Afrika mencapai 90 persen. Bandingkan dengan perhatian di Amerika Serikat yang hanya 20 persen atau di Asia Selatan yang hanya 10 persen.
Terakhir, untuk mereduksi dampak distorsi, negara-negara sangat kecil seperti Kepulauan Cayman dan Bhutan dikeluarkan dari survei.
Akhirnya, majalah ekonomi yang berbasis di London ini berhasil menghimpun data pertandingan sepak bola dan sepak bola itu sendiri dari 126 negara sejak 1990.
Hasilnya, Uruguay dinilai punya prestasi terbaik di atas Brasil, Argentina, Portugal, dan Spanyol. Tim-tim dari negara-negara Afrika dan Balkan dinilai punya prestasi jauh di atas perkiraan.
Adapun negara-negara yang ambisius seperti China dan negara-negara di Timur Tengah kinerjanya lumayan meski potensi pesepak bolanya rendah.
Setiap negara yang ingin memenangi Piala Dunia kini dapat mempelajari model dari The Economist. Metodenya, pertama, dorong anak-anak untuk mengembangkan kreativitas. Kedua, perhatikan perkembangan pemain muda bertalenta. Ketiga, manfaatkan jejaring sepak bola global. Keempat, siapkan sebaik mungkin suatu tim untuk mengikuti turnamen.
Nah, mari kita tunggu negara mana yang belum bagus prestasi sepak bolanya, tetapi akan mengikuti model ini.
AHMAD FUAD AFDHAL, Penikmat Sepak Bola