Dibentuk beberapa tahun pasca-Perang Dunia II, Pakta Pertahanan Atlantik Utara kini menghadapi tantangan baru. Soliditas mereka diuji.
Beberapa hari lalu, salah satu anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yaitu Perancis, mengungkapkan keraguan terhadap komitmen Amerika Serikat terhadap organisasi pertahanan tersebut. Menurut Menteri Pertahanan Perancis Florence Parly, Presiden AS Donald Trump dalam pertemuan NATO tahun lalu tidak secara jelas mendukung kesepakatan bahwa jika salah satu anggota aliansi diserang, anggota lain wajib membantu.
Perancis mengungkapkan keraguan terhadap komitmen Amerika Serikat terhadap organisasi pertahanan tersebut.
Keraguan ini muncul di tengah sikap Trump yang mengkritik negara-negara Eropa, seperti Jerman, karena dinilai tidak berkontribusi cukup signifikan secara finansial terhadap NATO. Selain itu, Trump juga menuding NATO sebagai organisasi yang usang alias sudah tidak sesuai lagi dengan zaman.
Seperti diketahui, Trump dikenal memiliki retorika yang tidak lazim. Mungkin tidak seperti presiden-presiden AS sebelumnya, ia tidak ragu mengeluarkan pernyataan keras terhadap siapa saja. Tak hanya kepada pemimpin Iran, rival lama AS, pernyataan keras atau tidak mengenakkan itu berkali-kali disampaikan pula kepada pemimpin sekutu AS, seperti Kanselir Jerman Angela Merkel dan PM Kanada Justin Trudeau.
Lepas dari retorika tidak lazim Trump, ternyata memang hanya segelintir dari 29 anggota NATO yang memenuhi target mereka sendiri untuk menyisihkan 2 persen produk domestik bruto (PDB) bagi pertahanan. Media theguardian.com edisi 21 Juni 2018 menyebutkan, selain AS yang mengalokasikan 3,5 persen PDB untuk pertahanan, hanya Inggris, Estonia, dan Yunani yang menyisihkan minimal 2 persen PDB bagi urusan pertahanan.
Media nytimes.com edisi 26 Maret 2014 menulis bahwa pada 2013, Jerman yang sejahtera hanya membelanjakan 1,3 persen PDB untuk keperluan pertahanan, Perancis 1,9 persen, Turki dan Polandia 1,8 persen, sementara Italia 1,2 persen. Di sisi lain, AS mengalokasikan 4,1 persen PDB.
Karena itu, tidak mengherankan, Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg pada Kamis (21/6/2018) menyerukan kepada Inggris untuk mempertahankan belanja pertahanan negara itu pada angka 2 persen PDB. Stoltenberg juga memuji Inggris yang selama ini sudah memenuhi target belanja pertahanan yang disepakati oleh para anggota NATO.
Di tengah sikap Washington yang menarik diri dari kesepakatan iklim Paris, perjanjian nuklir Iran, dan melancarkan tarif atas produk impor dari Eropa, sikap sinis Trump terhadap NATO menambah kekhawatiran sejumlah kalangan akan terus memburuknya hubungan Amerika Utara-Eropa. Padahal, relasi erat kedua pihak sejak akhir Perang Dunia II diyakini selama ini menjadi komponen penting pendorong tegaknya demokrasi dan kebebasan—lawan dari kediktatoran atau otoritarian.
Di tengah situasi inilah, soliditas anggota NATO, terutama yang berasal dari Eropa, kian diperlukan. Saat AS tampak begitu mudah mengabaikan multilateralisme, peran aktif anggota NATO dari Eropa kian diperlukan untuk menjadi tandingan.