Bukan Salah Messi Tak Ada ”Machismo” di Rusia
Dibandingkan 12-18 tahun silam, Piala Dunia tak lagi sama di Rusia 2018. Kini, betapa setaranya kualitas kerja tubuh rata-rata pemain, membuat tipisnya predikat antara tim pujaan dan (sekadar) kontestan. Jadi, jangan salahkan Lionel Messi jika Argentina seri 1-1 dengan Eslandia, dan kalah 0-3 dari Kroasia. Di Rusia, tak lagi ada yang namanya ”El Machismo”.
Setiap jeda pertandingan dalam siaran langsung televisi yang kita tonton, juga yang ditayangkan dalam situs resmi FIFA, adalah lengkapnya statistik permainan dari kedua kubu yang berhadapan: penguasaan bola, jumlah umpan, tendangan ke gawang, dan seterusnya.
Akan tetapi, ada satu fakta paling menawan, tingginya jarak jelajah—distance coverage—hampir semua tim: dari Mesir hingga Brasil, dari Rusia hingga Korea.
Perhatikan saja data FIFA. Nyaris semua tim menempuh jarak total lebih dari 100 kilometer dalam 90 menit pertandingan. Jika pun ada pengecualian, itu ditampilkan Kolombia (93 kilometer) saat kalah tipis 1-2 dari Jepang di laga Grup H. Kalau kita menyimak statistik yang ditampilkan stasiun televisi di jeda pertandingan, kedua kubu yang berhadapan selalu sudah mengumpulkan jarak jauh di atas 50 kilometer dalam 45 menit awal permainan.
Yang lain di atas itu bahkan jauh melebihi itu. Simak ketika dedengkot Piala Dunia dari Amerika Latin, Uruguay, menang tipis atas negeri ”penggembira” Mesir 1-0. Para pemain Mesir mengumpulkan jarak total 112 kilometer, lebih jauh 1 kilometer daripada lawan yang mengalahkannya.
Pada pertandingan lain, jarak jelajah para pemain negeri nun di bawah sana, Australia, mencapai 111 kilometer. Meski kalah tak telak, 1-2, jarak tempuh mereka unggul atas lawannya: para pesepak bola Perancis yang bermain modis (103 kilometer).
Memang, tak semua pemain di posisi yang berbeda mengumpulkan jarak tempuh yang sama. Sejumlah penelitian memastikan gelandang dan bek sayap selalu menjadi pemain yang menempuh jarak terjauh dalam permainan. Penyerang tak sebanyak keduanya dalam urusan jauh-jauhan rute. Sementara para bek tengah adalah mereka yang paling irit menempuh ruang.
Juga sudah bawaan permainan bola, jarak dan waktu yang dihabiskan untuk berjalan adalah yang paling banyak dalam urusan kerja kaki mereka. Diikuti dengan lari intensitas rendah (kurang dari 11 kilometer per jam), dilanjutkan dengan lari intensitas tinggi dan sprint—di atas 24 kilometer per jam dan melebihi 25 kilometer per jam—yang membuat para atlet berada di ambang batas asam laktat mereka.
Singkirkan sejenak detail-detail seperti itu (untuk lebih rinci, baca: jadwal ketat Piala Dunia 2018 Kompas.id, 9 Mei 2018).
Pukul rata jarak tempuh para pemain di Rusia 2018. Tak peduli pemain dari Nigeria, Tunisia, Argentina, atau Swedia. Sebagian besar pemain dari 10 pekerja di lapangan menempuh jarak lebih dari 10 kilometer per pertandingan (abaikanlah kiper, tokoh kunci, yang ruang jelajahnya relatif teramat kecil. Juga rincian penghitungan dua-tiga cadangan serta mereka yang digantikan).
Jarak tempuh 10 kilometer yang ”dikumpulkan” para pemain tak cuma dari mereka yang berkaus tim kawakan favorit juara adalah standar jarak pemain top kelas dunia. Banyak riset yang mengonfirmasi angka ”keramat” tersebut.
Para peneliti dari Universitas Negeri Campinas Brasil sebagai contoh pernah meneliti jarak tempuh dari para pemain di klub-klub elite liga divisi utama ”Negeri Samba”. Hasil rata-rata, para pemain andalan menempuh jarak 10,012 kilometer per 90 menit permainan.
Di seberang Samudra Atlantik, peneliti di Institute Ilmu Olahraga Universitas Kopenhagen, juga pernah menekuni riset senada. Mereka menelisik jarak tempuh 14 pemain andalan dari Liga Serie A Italia yang juga lolos ke Liga Champions. Hasilnya sama. Jarak tempuh mereka per permainan rata-rata 10,86 kilometer.
Jarak tempuh mereka per permainan rata-rata 10,86 kilometer.
Jarak tempuh dengan segala variasinya—lari sprint, intensitas tinggi, intensitas rendah ditambah berbagai aktivitas fisik yang menyertainya: mengumpan, menembak bola, mencegat, menjegal—adalah ukuran dari daya tahan kardiovaskular pemain. Semakin tinggi semakin bagus.
Merujuk kedua riset dua benua itu, 10 kilometer adalah ukuran bagi daya tahan yang dimiliki pemain elite di liga papan atas kelas dunia. Ukuran bagi pemain-pemain jajaran puncak dunia.
Daya tahan—endurance—adalah ”ibu” dari komponen-komponen kebugaran fisik lainnya. Dialah yang menjadi kursi buaian kecepatan, daya ledak—power, daya tahan kekuatan, dan pemulihan. Tanpa daya tahan kardiovaskular, yang lain sulit menjadi besar dan kokoh.
Daya tahan adalah ”ibu” dari komponen-komponen kebugaran fisik lainnya.
Ringkasnya, daya tahan kardiovaskular bersandar pada kemampuan tubuh menyerap oksigen dalam jumlah yang amat memadai untuk berbagai kerja bagian tubuh. Secara langsung, memang dia dipakai untuk kerja otot yang memerlukan oksigen (aerobik) semisal lari dengan kecepatan menengah.
Sprint, tendangan keras, tekel keras bukanlah jenis kerja yang memerlukan oksigen itu. Proses pengambilan energinya berlangsung pada sitoplasma sel otot yang sama sekali tak perlu oksigen.
Namun, proses itu menghasilkan produk samping yang kita kenal dengan asam laktat: senyawa kimia yang berpotensi membuat otot kita terasa jarem. Jika semakin banyak dan menumpuk, itu menjadi sinyal bagi tubuh untuk stop. Berhenti.
Hanya, asam laktat dapat diurai kembali menjadi glukosa—sumber energi—dengan bantuan oksigen. Semakin tubuh kita mampu memasok oksigen dalam jumlah yang memadai secara berkelanjutan, penumpukan asam laktat dapat ditunda selama mungkin.
Kembali ke soal 10 kilometer, itu bisa menjadi indikasi daya tahan yang harus dimiliki pemain elite kelas dunia. Dengan kemampuan seperti itu: pemain dapat relatif bergerak lincah di lapangan pada saat dia harus melakukannya. Pemain dapat melakukan sprint berulang-ulang dengan stabil.
Tendangan terarah yang perlu kecepatan plus kekuatan pun dapat dilakukan jauh lebih banyak. Itu yang membuat akurasi umpan semua tim Piala Dunia dalam dua pekan pertama, tidak cuma banyak, tetapi persentase akurasinya tinggi. Intip saja statistik situs Rusia 2018 di Fifa.com, rata-rata di kisaran 80 persen—8 dari 10 passing berhasil dilakukan dengan akurat.
Terpenuhinya standar kemampuan jarak tempuh 10 kilometer juga menjadi jawaban mengapa semua tim nyaris tak ada yang tampil kedodoran, terseok-seok menghadapi lawan. Dapat dikatakan, seluruh laga berlangsung memikat, imbang.
Bahkan, Arab Saudi yang gawangnya berkali-kali dijebol Rusia, 0-5, pun sesungguhnya bermain menawan. Saat diserang, para pemainnya terlihat cepat bergerak ke belakang, cepat mencegat, dan menghadang lawan. Sering kali pula mementahkan serangan.
Dalam kasus ini, Arab Saudi jauh dari kata ”terseret-seret”. Agaknya kekalahan besar mereka lebih disebabkan dua hal.
Pertama, kekayaan organisasi permainannya tak sekaya lawan. Ini tidak terkait dengan fisiologis, tetapi pada pengalaman, stok taktik, dan persediaan bentuk kerja sama. Singkat kata, Arab Saudi masih kalah jurus!
Kedua, kali ini Rusia memang jagoannya dalam hal daya tahan. Tim itu paling jauh jarak tempuhnya dibandingkan lawan-lawan mereka. Dalam pertandingan pertama (lawan Arab Saudi, 5-0), para pemain Rusia menempuh jarak total 118 kilometer (Arab Saudi 105 km). Di laga kedua (3-1 atas Mesir), Rusia mengoleksi 115 kilometer (lawan 110 km).
Rusia memang jagoannya dalam hal daya tahan.
Memang, hingga pekan kedua, gelandang Rusia, Alexandr Golovin, tercatat sebagai pemegang rekor jarak tempuh (25 km). Namun, dikurangi sumbangan Golovin itu pun, jarak tempuh kesembilan pemain Rusia lainnya (tanpa kiper), lebih kurang sama dengan yang dicapai satu tim penuh kesebelasan lainnya.
Lagi-lagi, fakta bahwa sebagian besar pemain dari seluruh kontestan di Rusia 2018 mencapai standar daya tahan pemain elite dunia adalah jawaban mengapa umumnya pertarungan berlangsung menarik. Hampir tak ada tim yang mendikte lawan dalam pertarungan yang telah terjadi.
Jika menang, tim itu membuktikan mereka lebih bagus di pertarungan itu. Jika kalah, seisi stadion melihat kesebelasan itu meninggalkan lapangan secara terhormat. Dengan kata lain, tak ada lagi tim jagoan, paling jantan, paling macho. Tak ada lagi el machismo atau los machismos, kata orang Argentina.
Jadi, kalau Argentina yang teramat banyak pencintanya itu ditahan Eslandia yang bukan siapa-siapa atau dijegal Kroasia yang mungkin sebelumnya dilihat sebagai grade dua, mesti disadari, kualitas fisiologis semua tim dan pemain yang hadir di Rusia sudah setara.
Jadi, memang bukan salahnya Messi.