Pilkada atau Pil Pahit?
Mana yang paling menarik: menonton siaran Piala Dunia 2018 atau datang ke TPS memilih dalam pilkada serentak? Pertanyaan ini tentu saja retoris. Banyak orang bahkan rela begadang untuk menonton pertandingan sepak bola terakbar yang digelar di Rusia. Namun, ingat loh, ajang pilkada itu sangat penting untuk menentukan nasib bangsa dan negara ini.
Jadi, meskipun Anda begadang menonton tim-tim favorit di Piala Dunia 2018 ini, jangan lupa besok, tanggal 27 Juni 2018, datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
Pilkada adalah pesta demokrasi. Artinya, kemeriahan dan kegembiraan bersama. Pilkada juga sangat menentukan karena momentum rakyat mencari pemimpinnya.
Rabu besok ada 171 gelaran pesta demokrasi di Tanah Air. Dari 171 pilkada serentak tersebut, terbagi dalam 17 pilkada tingkat provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Total jumlah pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) sampai dua hari lalu tercatat 152.067.680 orang. Jumlah tersebut mencapai 81,6 persen dari jumlah penduduk yang memiliki hak pilih pada Pemilu 2019 mendatang.
Dalam daftar pemilih sementara (DPS) yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum beberapa hari lalu, jumlah pemilih pada Pemilu 2019 tercatat 186.379.878 orang.
Karena jumlah pemilih sangat signifikan, dan pilkada adalah ajang pencarian pemimpin yang bakal mengelola daerah masing-masing agar lebih maju dan rakyatnya sejahtera, maka masyarakat tentu saja diharapkan berbondong-bondong datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya.
Di era pilkada langsung seperti sekarang ini, suara Anda menentukan nasib masa depan daerah Anda. Harapannya juga, tentu tercapai tingkat partisipasi politik yang semakin baik. Kemarin, menurut Juru Bicara Presiden Johan Budi, Presiden Joko Widodo sudah meneken keputusan presiden tentang penetapan tanggal 27 Juni 2018 sebagai hari libur.
Tetapi, memang ada pertanyaan dan sekaligus gugatan bahwa sejauh mana pilkada menghasilkan pemimpin yang berkualitas, amanah, dan benar-benar bekerja untuk rakyat dan memajukan daerahnya?
Jujur saja, pertanyaan tersebut mudah, tetapi sangat sulit untuk menemukan jawabannya. Sebab, sampai saat ini begitu banyak rapor merah yang dipegang para pemimpin atau kepala daerah hasil pilkada langsung. Walau harus diakui, ada beberapa kepala daerah yang dinilai punya rapor bagus dan memberikan harapan baru di panggung politik.
Ada beberapa kepala daerah yang kerap dijadikan harapan dari daerah. Ada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil (kini calon gubernur Jawa Barat), Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Bupati Bantaeng (kini bertarung dalam Pilgub Sulawesi Selatan), Basuki Tjahaja Purnama (Gubernur DKI Jakarta 2014-2017), hingga Yoyok Riyo Sudibyo (Bupati Batang 2012-2017).
Itu hanya beberapa contoh kepala daerah yang sering menjadi buah bibir di publik. Masih banyak mutiara dari daerah yang bila digosok akan semakin mengilap kilaunya.
Kepala daerah dan godaan korupsi
Sayangnya, justru lumpur-lumpur dari daerah yang lebih banyak menghitamkan percaturan perpolitikan dewasa ini. Publik malah lebih banyak mendengar kabar kepala daerah yang dijerat dalam operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rata-rata para kepala daerah itu tak mampu menghindari godaan korupsi. Padahal, sebagai pemimpin di daerah, mereka seharusnya menjadi ”panglima” yang berdiri paling depan memerangi korupsi sebagai amanat reformasi tahun 1998.
Tetapi, jiwa mereka terlalu lemah terkulai untuk melawan rayuan korupsi karena terlalu besar nafsu syahwat untuk terus memegang kekuasaan. Banyak kasus tertangkapnya kepala daerah terhubung dengan perebutan atau kelanggengan kekuasaan.
Para kepala daerah yang ditangkap KPK itu diduga ada hubungan yang begitu dekat dengan pilkada yang digelar Rabu besok.
Sejak awal tahun 2018, penangkapan bupati/wali kota terkait korupsi seperti halnya ”arisan”. Kepala daerah yang ditangkap atau ditahan antara lain Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif karena kasus suap RSUD (ditangkap 4 Januari 2018), Bupati Jombang Nyono S Wihandoko diduga menerima suap dana kapitasi puskesmas (3 Februari 2018), dan Bupati Ngada Marianus Sae diduga menerima suap proyek-proyek infrastruktur (ditangkap 11 Februari 2018).
Kemudian, juga ditangkap Bupati Subang Imas Aryumningsih yang diduga terima suap atas izin pembangunan pabrik (ditangkap 13 Februari 2018), dan Bupati Lampung Tengah Mustafa diduga suap terkait persetujuan DPRD atas pinjaman daerah kepada PT SMI sebesar Rp 300 miliar (ditangkap bersama 18 orang pada 14-15 Februari). Mustafa adalah calon yang bertarung dalam Pilkada Lampung (kursi gubernur).
Kemudian, Bupati Kebumen Mohammad Yahya Fuad ditangkap terkait dugaan menerima hadiah atau janji dalam pengadaan barang dan jasa APBD 2016 (ditahan 19 Februari 2018). Gubernur Jambi Zumi Zola yang juga diduga menyuap anggota DPRD Jambi agar hadir dalam rapat pengesahan Rancangan APBD Jambi 2018 (ditahan 9 April 2018).
Zola merupakan pemimpin muda yang semula menjadi harapan banyak orang untuk membersihkan negeri ini dari praktik korup. Tetapi, ia malah ikut larut dalam praktik busuk tersebut.
Dari Kendari, Wali Kota Adriatma Dwi Putra juga ditangkap pada 28 Februari 2018 karena diduga menerima suap dari pengadaan barang dan jasa tahun 2017-2018.
Runyamnya, uang tersebut diduga disiapkan untuk biaya kampanye sang ayah, Asrun, yang ikut pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara saat ini. Akhirnya dua anak-bapak itu menggunakan rompi oranye KPK. Lagi-lagi soal persiapan pilkada, Bupati Bandung Barat Abu Bakar diduga menerima suap yang diduga meminta uang ke SKPD untuk kepentingan istrinya, Elin Suharliah, yang akan maju dalam Pilkada Bandung Barat (ditangkap 10 April 2018).
Penindakan KPK sepertinya tak membuat mereka kapok. Pada 15 Mei 2018, Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud juga ditangkap KPK. Ia disangka menerima suap dari pengusaha terkait penunjukan langsung lima proyek infrastruktur jalan dan jembatan. Istri Dirwan dan kemenakannya ikut ditahan karena bagian dari lingkaran suap itu.
Sepekan kemudian, KPK menangkap Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat, yang diduga menerima suap dari kontraktor terkait proyek-proyek di Pemerintah Kabupaten Buton Selatan. Pada awal bulan ini (4 Juni 2018), giliran KPK menangkap Bupati Purbalingga Tasdi karena disangka menerima suap pembangunan Purbalingga Islamic Center tahap 2 tahun 2018.
Itulah catatan tentang kepala daerah yang ditangkap KPK karena korupsi.
Menambah daftar hitam
Catatan-catan itu menambah daftar hitam kepala daerah yang terlibat korupsi. Tahun 2017, Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti diduga terlibat suap proyek jalan tahun 2017. Istri Ridwan Mukti, Lily Martiani Maddari, juga ditangkap (20 Juni 2017).
Sejumlah kepala daerah lain yang ditangkap adalah Bupati Pamekasan Achmad Syafii dengan dugaan suap Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya pada 2 Agustus 2017 terkait pemulusan perkara penyelewengan pengelolaan dana Desa Dasok.
Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno juga ditangkap KPK pada 29 Agustus 2017, dengan dugaan suap kasus jual beli jabatan di Rumah Sakit Kardinah serta berbagai proyek di Pemerintah Kota Tegal senilai Rp 8,8 miliar.
Pada 14 September 2017, Bupati Batubara OK Arya Zulkarnain ditangkap KPK terkait kasus suap pengerjaan pembangunan infrastruktur tahun 2017.
Wali Kota Batu Eddy Rumpoko juga kena ”batu” setelah ditangkap KPK pada 18 September 2017 terkait kasus suap proyek belanja modal dan mesin pengadaan mebeler. Adapun Wali Kota Cilegon Iman Ariyadi ditangkap pada 22 September 2017 diduga menerima suap untuk memuluskan proses analisis mengenai dampak lingkungan pembangunan Transmart.
Pada 20 September, KPK menetapkan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari dugaan gratifikasi dan suap dan pencucian uang. Pada akhir Oktober, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman ditahan sebagai tersangka penerimaan suap perekrutan aparatur sipil negara di Kabupaten Nganjuk tahun 2017.
Pada akhir November 2017, KPK menetapkan Wali Kota Mojokerto Masud Yunus sebagai tersangka kasus suap terkait pembahasan perubahan APBD pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Pemerintah tahun 2017.
Daftar hitam di atas tentu saja makin menyesakkan dada. Betapa para kepala daerah hasil pilkada yang sangat diharapkan sebagai lokomotif pembersih daerah dari mental dan perilaku koruptif malah ikut terbawa arus.
Inilah anomali hasil pilkada, sebuah pesta demokrasi yang seharusnya menggembirakan rakyat. Ini pula yang harus menjadi ingatan dan pelajaran rakyat untuk benar-benar memberikan suaranya pada sosok yang benar-benar dipercaya dapat memegang mandat rakyat, bukan pengkhianat amanah rakyat.
Jangan sampai pilkada yang digelar besok menjadi pil pahit yang ditelan bertahun-tahun. Sungguh sangat pahit dan getir!