Pilkada Membakar Jalan Pilpres
Seperti Piala Dunia 2018, banyak kejutan di pemilihan kepala daerah yang digelar serentak pada 27 Juni 2018. Kejutan luar biasa terjadi ketika tim Korea Selatan tidak hanya menaklukkan Jerman, 2-0, tetapi sekaligus memulangkan sang juara bertahan itu ke kampung halamannya.
Hasil hitung cepat (quick count) pilkada serentak mengagetkan banyak pihak. Setelah lebih dari 10 tahun sejak pilkada langsung pertama kali digelar tahun 2005, barangkali baru pilkada sekarang yang memperlihatkan sinyal dinamis. Demokrasi makin terkonsolidasi dan mulai menemukan ruang-ruang yang dipenuhi oksigen segar.
Kejutan pilkada adalah sinyal kuat bahwa politik dinasti sepertinya mulai tidak laku.
Kejutan pilkada adalah sinyal kuat bahwa politik dinasti sepertinya mulai tidak laku. Orang mulai bosan dan jenuh dengan praktik politik yang berdasarkan nepotisme jalur keluarga atau kekerabatan. Keluarga-keluarga berpengaruh sudah semakin kehilangan pengaruh.
Bayang-bayang keluarga mulai tidak kelihatan. Barangkali pemilih semakin tersadar pengapnya ruang politik dinasti. Mereka ingin mencari ruang-ruang berudara segar. Demokrasi itu bukan kerajaan.
Di Sumatera Selatan, berdasarkan hasil cepat, pasangan Dodi Reza Alex-Giri Ramanda N Kiemas (meraih 35,37 persen versi Lingkaran Survei Indonesia/LSI atau 31,22 persen versi Saiful Mujani Research and Consulting/SMRC) dikalahkan pasangan Herman Deru-Mawardi Yahya (35,37 persen versi LSI atau 35,55 versi SMRC). Padahal, Dodi adalah putra gubernur petahana Alex Noerdin.
Di Kalimantan Barat, pasangan Sutarmidji-Ria Norsan (59,59 persen versi LSI) mengungguli pasangan Karolina Margaret Natasa-Suryatman Gitot (33,77 persen versi LSI). Di Kalbar, semua orang tahu bahwa Karolina adalah putri Cornelis, Gubernur Kalbar dua periode (2008-2018).
Di Sulawesi Selatan, adik Gubernur Syahrul Yasin Limpo, yaitu Ichsan Yasin Limpo (mantan Bupati Gowa dua periode), yang berpasangan dengan Andi Musakkar, gagal melanjutkan kepemimpinan sang kakak. Di Pilkada Sulsel, Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng dua periode) unggul dengan 42,92 persen (LSI) atau 43,15 persen (SMRC).
Bahkan, lebih menyakitkan lagi bagi calon tunggal di Pilkada Kota Makassar, yaitu pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi, dengan dukungan full 10 partai (Partai Golkar, Partai Nasdem, PKS, PAN, PPP, PDI-P, Partai Hanura, PBB, Partai Gerindra, dan PKPI) dilaporkan kalah dari kotak kosong.
Munafri adalah menantu Aksa Mahmud, pemilik Bosowa dan mantan Wakil Ketua MPR. Aksa adalah adik ipar Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mungkinkah demokrasi kita makin matang? Kalau melihat fenomena hasil hitung cepat, mungkin ada benarnya.
Orang bilang, Pulau Jawa adalah barometer politik nasional. Dari sisi jumlah pemilihnya, memang sangat besar. Dari tiga daerah yang menggelar pilkada lalu (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur), jumlah pemilihnya mencapai 48,8 persen dari total pemilih nasional.
Tak mengherankan jika Jawa merupakan kunci peta politik di negeri ini. Dari hasil hitung cepat pilkada tersebut, kejutan-kejutan terjadi terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kalau di Jawa Timur, banyak yang berseloroh bahwa siapa pun yang unggul (Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno atau Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak), yang menang tetap NU. Jawa Timur adalah basis tradisional organisasi Islam terbesar itu.
Hasil hitung cepat di Jawa Barat, pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum unggul 32,54 persen (Litbang Kompas), 32,48 persen (Indo Barometer), 33,55 persen (Charta Politica), dan 32,26 persen (SMRC). Pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu mendapatkan 29,53 persen (Litbang Kompas), 28,54 persen (Indo Barometer), 30,22 persen (Charta Politica), dan 29,58 persen (SMRC).
Pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi meraih 25,72 persen (Litbang Kompas), 26,03 persen (Indo Barometer), 24,86 persen (Charta Politica), dan 25,38 persen (SMRC). Pasangan Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan di nomor buncit, yaitu 12,20 persen (Litbang Kompas), 12,94 persen (Indo Barometer), 11,37 persen (Charta Politica), dan 12,77 persen (SMRC).
Dalam survei-survei sebelumnya, pasangan Ridwan-Kamil-Uu Ruzanul Ulum memang unggul. Namun, yang mengejutkan adalah melejitnya suara pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang melewati pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi yang biasanya membayangi pasangan Ridwan-Uu.
Survei Indo Barometer pada 7-13 Juni 2018, misalnya, menempatkan pasangan Ridwan-Uu dengan suara 36,9 persen, pasangan Deddy-Dedi 30,1 persen, dengan dua pasangan lain terpuruk di bawah, yaitu Sudrajat-Syaikhu 6,1 persen dan Hasanuddin-Anton 5 persen. Swing voters pada survei ini sebanyak 20,8 persen.
Bandingkan dengan survei yang dilakukan SMRC pada 22 Mei-1 Juni 2018. Pasangan Ridwan-Uu mencapai 43,1 persen, pasangan Deddy-Dedi 34,1 persen, pasangan Sudrajat-Syaikhu 7,9 persen, dan pasangan Tb Hasanuddin-Anton 6,5 persen.
Lihat pula kasus di Jawa Tengah. Survei Litbang Kompas sebulan sebelum pilkada menunjukkan pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin mendapatkan 76,6 persen. Pesaingnya, Sudirman Said-Ida Fauziyah, jauh berada di bawah, hanya 15 persen.
Dinamika terus berkembang. Suara pasangan Sudirman-Ida itu sudah naik dari 11,8 persen pada survei bulan sebelumnya. Sebaliknya, pasangan Ganjar-Yasin tergerus yang sebelumnya 79 persen. Nah, pada hasil hitung cepat Pilkada Jawa Tengah, suara pasangan Sudirman-Ida melonjak tinggi, yaitu 41,67 persen.
Hanya sebulan suara pasangan ini melejit dari 15 persen hingga 41,67 persen. Hasil hitung cepat itu memperlihatkan tak jauh beda dengan pasangan Ganjar-Yasin yang meraih 58,33 persen. Angka ini merosot tajam dari survei sebulan lalu yang 76,6 persen.
#2019gantipresiden versus #2019tetapjokowi
Walaupun tetap kalah (tentu masih berdasarkan hasil hitung cepat sambil menunggu hasil hitung KPU), dua pasangan di Jawa Barat dan Jawa Timur itu memberikan sinyal kuat bahwa pertarungan dua kubu politik sangat sengit. Sebagaimana kita sama-sama tahu bahwa peta politik sekarang ini bermuara pada dua kubu. Sebut sajalah kubu ”pemerintah” versus ”oposisi”. Lebih gamblangnya lagi, pertarungan Joko Widodo versus Prabowo Subianto.
Fenomena rivalitas Jokowi vs Prabowo ini yang mendominasi konstelasi politik dalam lima tahun terakhir.
Fenomena rivalitas Jokowi vs Prabowo ini yang mendominasi konstelasi politik dalam lima tahun terakhir. Kubu pertama adalah koalisi pemerintah yang dipimpin PDI-P dan kubu lainnya adalah koalisi oposisi yang dimotori Gerindra.
Potret pertarungan itu juga meluber ke daerah-daerah. Maka, ketika pilkada pun, analisis politik tak jauh-jauh dari framing konstelasi politik seperti itu. Bukan cuma di Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sumatera Utara juga begitu kuat aroma rivalitas dua kubu tersebut.
Pasangan Edi Rahmayadi-Musa Rajekshah yang didukung Gerindra, PKS, PAN, Golkar, Nasdem, dan Hanura meraih suara 57,16 persen (LSI) atau 58,88 (SMRC). Sementara pesaingnya, pasangan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus, yang didukung PDI-P dan PPP, memperoleh 42,84 persen (LSI) atau 41,12 (SMRC).
Namun, memang di daerah-daerah koalisi tersebut tidaklah kaku. Maksudnya, di daerah-daerah terjadi koalisi antara partai-partai pendukung pemerintah dan partai-partai oposisi. Namanya politik, di mana yang menguntungkan, di situlah mereka bersepakat. Politik adalah soal kepentingan. Di Jawa Timur, Gerindra dan PKS yang biasanya selalu berseberangan dengan PDI-P malah berkoalisi bersama PKB mendukung Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno.
Koalisi memang penting untuk membaca tren politik, sekaligus meraih kemenangan pada puncak kontestasi. Tampaknya perjalanan dua kubu politik akan semakin sengit untuk merebut tampuk pilpres. Suara signifikan pasangan Sudrajat-Syaikhu di Jawa Barat dan Sudirman-Ida disinyalir tak lepas dari jargon yang mereka usung, yakni #gantipresiden. Slogan itu menjadi keunikan yang berbeda dengan pasangan lain.
Tak mengherankan, tampaknya jalan menuju pilpres tahun depan akan semakin gaduh dengan pertarungan besar antara slogan #2019gantipresiden versus #2019tetapjokowi. Pilkada 2018 menjadi warming up menuju Pilpres 2019. Seperti Piala Dunia 2018, rasa-rasanya setiap kubu ingin seperti Korea Selatan yang menumbangkan Jerman.
Setiap kubu tidak sekadar ingin mengalahkan, tetapi benar-benar bernafsu memulangkan lawan politiknya ke kampung halaman. Jadi, perjalanan menuju tahun depan pasti panas dan sengit. Sebab, tren pilkada telah membakar jalan menuju pilpres.