GM Sudarta
Mas Bre,
Ini salam perpisahan Oom Pasikom. Ibarat perjalanan jauh yang telah saya tempuh, dalam semangat tak peduli akan sihir harapan dan kebahagiaan, tapi pada saatnya harus berhenti, karena kaki tak mampu mendukung perjalanan jauh lagi. Dan kini saat kita menoleh ke belakang, untuk ”pulang”.
Pulang ke rumah kecil dengan taman bunga di sekelilingnya, di balik cakrawala, penuh rindu, dengan taman bunga di sekelilingnya.
GM Sudarta (1945-2018) mengirimkan teks di atas pada tengah malam November tahun lalu. Saya panik. Waktu itu saya tahu GM (saya memanggilnya berganti-ganti, kadang Mas GM kadang Oom Kuk), tengah mundur kesehatannya.
Pagi hari saya langsung ke Cisarua, Jawa Barat, tempatnya menyepi beberapa tahun terakhir. Tubuhnya kurus, membuat sosoknya yang tinggi kelihatan lebih jangkung lagi. Dia berdiri menyambut saya seraya tertawa.
Tawa, senyum-senyum, seolah tak ada persoalan serius di dunia. Itulah yang selalu saya ingat mengenai GM Sudarta atau oleh siapa saja yang mengenal dekat dengannya.
Setelah pensiun dari harian Kompas, sempat beberapa tahun dia tinggal di Jepang, menjadi dosen tamu di Universitas Seika, Kyoto.
Saat di Kyoto, oleh dokter dia ditengarai mengidap hepatitis C. Ia ceritakan pada saya sambil tertawa, menurut dokter umurnya tak akan bisa lebih dari 20 tahun lagi.
”Lha, saya ini sudah lebih 60 tahun. Ditambah 20 tahun, kena hepatitis C atau tidak ya akan mati,” ucapnya terpingkal-pingkal sampai keluar air mata.
”Usia 60 tahun berarti kita dicintai malaikat, usia 70 tahun ibaratnya bonus, 80 tahun dicintai Tuhan, lebih dari 80 berarti kesingsal,” imbuhnya melucu.
Dengan tertawa-tawa dan mesem-mesem sendiri dulu saya saksikan ia membikin karikatur-karikaturnya. Kebetulan tempat duduk kami di kantor berhadap-hadapan. Di ruang kantor tanpa sekat-sekat tersebut wilayah tempat duduk dia sedikit demi sedikit melebar seperti tukang jualan di pinggir jalan yang lama-lama menguasai jalan.
Segala macam barang ada di meja dan di sekitar tempat duduknya: alat-alat gambar, benda-benda antik, keris, dan lain-lain. Ada pula foto-foto
khusus yang kadang ia pamer-
kan pada saya sembari cengengesan.
Di antara harta bendanya, ada gitar akustik bermerk Ibanez. Setiap menjelang petang, dia memangku gitar dan jari-jarinya yang lentik memainkan dawai membawakan instrumen-instrumen klasik. Setelah itu, berpindah lagi ke kertas gambar, menyelesaikan tugas membikin karikatur.
Dia selalu bertanya kanan-kiri mengenai berbagai isu mutakhir sebelum membikin karya. Baginya, seorang karikaturis (dia cenderung menggunakan kata karikaturis, bukan kartunis) harus menguasai latar belakang persoalan. Akhir-akhir ini, ketika kami sering ketemu di Cisarua, dia mengatakan yang kurang dikuasai para karikaturis sekarang adalah pemahaman mengenai latar belakang suatu persoalan.
Menurut hemat saya, sampai saat ini di Indonesia tak ada yang mampu menyaingi GM Sudarta dalam menampilkan kecerdasan dan greget dalam karikaturnya. Selain membikin karikatur, dia melukis dan menulis cerpen. Banyak cerpennya bertema peristiwa 1965.
Pernah kami sama-sama ke Klaten, tempat kelahiran dia. Saya menumpang mobil Datsun Fairlady kesayangannya. Tentang kesukaannya pada mobil sport dia katakan, semasa kuliah di Asri, Yogya, tiap minggu dia bolak-bolak Yogya-Klaten naik sepeda. Kalau punya uang banyak, begitu ia bercerita, bakal dibelinya mobil sport.
Pak Jakob Oetama, Pemimpin Umum Kompas, sangat sering berkata bahwa roh koran adalah kebudayaan. Dalam beberapa hal, karya GM Sudarta adalah roh Kompas.
Malam sebelum Sabtu pagi menerima kabar meninggalnya GM Sudarta, saya ke Palmerah untuk acara Arswendo Atmowiloto di Bentara Budaya Jakarta. Seusai acara, teman wartawan menggeret-geret saya untuk masuk ke gedung baru Kompas yang saya belum pernah menginjaknya.
Terharu saya melihat kemegahannya. Jadi, ingat teman-teman lama.
Petang hari saya tepekur di sisi jenazah GM Sudarta, roh Kompas.