Tren meningkatnya harga minyak mentah dunia mulai membuat gerah sejumlah tokoh dunia dan tekanan pada perekonomian negara-negara pengimpor minyak.
Selain respons Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang sepakat menaikkan produksi hingga 1 juta barrel per hari (bph), upaya intervensi juga dilakukan Presiden AS Donald Trump dengan langsung melobi pemimpin Arab Saudi, produsen minyak terbesar dunia, untuk menaikkan produksi guna meredam harga. Dalam cuitan Twitter-nya, Trump mengaku mengantongi janji Raja Salman menaikkan produksi hingga 2 juta bph.
Selama ini Trump menuding OPEC berada di balik naiknya harga minyak secara tak wajar (artificially high), tetapi AS lewat keputusan Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran dan desakan kepada sekutunya untuk memperpanjang embargo terhadap Iran ikut memicu naiknya harga minyak.
Minyak patokan Brent mendekati 80 dollar AS per barrel seusai keputusan AS untuk menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran. Secara ekonomi, naiknya harga minyak dipicu oleh kuatnya permintaan, pengurangan produksi dari produsen besar, dan meningkatnya tensi geopolitis, terutama di Libya dan Venezuela. Perang dagang AS dengan China dan Uni Eropa ikut memicu.
Harga diprediksi akan naik cepat ke level 90 dollar AS per barrel dengan efektif diperpanjangnya sanksi AS terhadap Iran dan datangnya musim dingin di belahan bumi utara.
Bank investasi Swiss, UBS, sudah mengingatkan naiknya harga minyak hingga mendekati 100 dollar AS per barrel bisa memukul perekonomian dunia dan mendorong inflasi global. Enam resesi dunia terakhir selalu didahului lonjakan harga minyak mentah. Harga saat ini tertinggi dalam 3,5 tahun terakhir. Brent naik hampir 48 persen dari tahun lalu, sedangkan WTI 43 persen.
Sejumlah kalangan menyangsikan pernyataan Trump tentang janji Raja Salman untuk menaikkan produksi hingga 2 juta bph karena menteri energi Saudi memberikan sinyal negaranya tak akan keluar dari jalur kesepakatan OPEC yang sudah setuju menaikkan produksi hingga 1 juta bph. Belakangan, Gedung Putih meluruskan pernyataan Trump dengan menyebutkan angka hingga 2 juta bph sebagai kapasitas cadangan yang dimiliki Saudi yang akan digunakan secara hati-hati jika diperlukan, tetapi tetap berkoordinasi dengan negara produsen lain.
Menyusul kejatuhan harga minyak pasca-krisis finansial 2009 yang memicu krisis ekonomi dan politik di negara-negara produsen minyak, Saudi dan negara produsen minyak lain tentu juga berkepentingan dengan harga minyak lebih tinggi.
Kenaikan harga minyak mentah juga dirasakan dampaknya oleh Indonesia sebagai importir neto minyak sejak 2002 dan memaksa PT Pertamina menaikkan harga BBM pertamax per 1 Juli 2018. Naiknya harga minyak menjadi salah satu faktor utama kekhawatiran perekonomian Indonesia saat ini. Efek dominonya meliputi membengkaknya subsidi jika harga BBM bersubsidi tak dinaikkan. Naiknya harga minyak juga mengakibatkan kebutuhan devisa untuk impor minyak mentah dan BBM naik. Kebutuhan akan devisa untuk impor ini berpotensi membuat nilai tukar rupiah kian tertekan, harga barang dan jasa ikut terkerek, tekanan inflasi meningkat, serta daya saing barang dan jasa menurun.