Dunia Akan Lebih Keras dan Sengit bagi Zohri
Sprinter remaja 18 tahun, Lalu Muhammad Zohri, menjadi juara dunia lari 100 meter putra kelompok usia di bawah 20 tahun. Dia meraihnya lewat aksi menawan dalam final di Tampere, Finlandia, Rabu (11/7/2018).
Itulah modal awal berharga bagi Lalu untuk memasuki kompetisi senior internasional. Kompetisi tersebut tak lain sebuah dunia yang jauh lebih berat, yang perjalanannya lebih berliku lagi terjal dengan berbagai beban yang bakal lebih dahsyat mengimpit dan menekannya.
Dalam final Kejuaraan Dunia atletik U-20 itu, remaja asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, kelahiran 1 Juli tersebut tampil paling cemerlang. Misalnya, dibandingkan pesaing dari AS, Inggris, Swedia, Jamaika, Jepang, dan Afrika Selatan, waktu reaksi Zohri terhadap bunyi pistol start adalah yang kedua tercepat.
Waktu reaksi Zohri terhadap bunyi pistol start adalah yang kedua tercepat.
Dengan tinggi tubuh yang paling mungil dibandingkan seterunya, Zohri relatif tak boros langkah. Hitungan Kompas atas video rekaman lomba, remaja yang telah yatim-piatu sejak usia sekolah dasar tersebut terlihat 47 kali mengayunkan langkah hingga finis.
Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan peraih perak, Anthony Schwartz (AS), yang 48 langkah dan Eric Harrison (AS), si peraih perunggu, dengan 49 langkah. Jumlah ayunan kaki itu bermakna banyak akan ketajaman Zohri malam tersebut.
Hal lainnya, Zohri bertarung di lintasan kedelapan, jalur terluar dalam lomba. Jalur pinggiran adalah ”simbol status” bagi pelari yang dinilai biasa-biasa saja. Seorang pelari memperoleh jatah lintasan itu karena catatan waktunya sebelum lomba (dalam hal ini final) adalah yang terburuk di antara yang lain.
Secara obyektif, berlari di lintasan ujung membuat ekor mata seorang pelari tak bisa membaca peta pertarungan dengan leluasa. Dia relatif hanya bisa mengacu secara jelas pada seteru di sisi kiri atau kanannya. Ini berbeda dari sprinter yang memperoleh jatah luks di lintasan-lintasan tengah, yang dapat keleluasaan meraba aksi para lawan di kedua sisi persaingan.
Menjadi juara dari lintasan pinggiran dapat menjadi pertanda bagi daya juang seorang Zohri. Dia mampu mengubah perasaan dan pikiran sebagai yang ”kurang beruntung” menjadi sesuatu yang positif.
Menjadi juara dari lintasan pinggiran dapat menjadi pertanda bagi daya juang seorang Zohri.
Karena pada akhirnya, kemenangan dalam lomba cabang olahraga terukur seperti lari cepat ditentukan pada seberapa berhasil seorang atlet mengerahkan segala kemampuan tekniknya di semua tahap secara prima, konsistensinya pada race plan yang paripurna, mengulang kembali memori otot yang paling prima.
Pendek kata, kemenangan dalam lari cepat sama sekali bukan hasil dari reaksi seorang sprinter atas aksi lawan. Kemenangan ditentukan pada fokus terhadap kemampuan terbaik diri sendiri. Jadi, tidak masalah apakah Anda harus berlomba di lintasan tengah atau pinggir. Malam itu, Zohri berhasil mengeksekusinya dengan tuntas.
Teori lama yang masih terus dipegang dalam sprint adalah kunci pertama sebuah kemenangan—meski statistik kian menunjukkan hal itu tak absolut—terletak pada reaction time seorang sprinter. Ini adalah ukuran bagi seberapa cepat seorang pelari mulai menggerakkan tungkai dari posisi start begitu bunyi pistol dimulainya lomba berdentum.
Waktu reaksi Zohri adalah 0,131 detik. Dia hanya lebih lambat dari sprinter Swedia, Henrik Larsson, yang 0,124 detik. Memang, gugatan akan tahap ini kian menebal. Misalnya, Usain Bolt, si manusia tercepat sejagat, adalah sprinter yang tak hebat waktu reaksinya.
Saat meraih emas 100 meter di Olimpiade London 2012, misalnya, reaction time Bolt hanya 0,165 detik. Empat tahun kemudian di Rio 2016, Bolt yang kembali memperoleh emas cuma mengukir waktu reaksi 0,179 detik.
Sesungguhnya, para peraih medali di dua Olimpiade terakhir juga memiliki waktu reaksi yang tak sebaik Zohri. Rekan Bolt sesama sprinter Jamaika, Yohan Cuma, mengukir 0,179 detik di London (perak) dan 0,145 detik di Rio (perunggu).
Sangat mungkin, kecepatan reaksi mereka yang menurun—seiring pertambahan usia—tak lagi jadi tahap yang teramat menentukan karena dapat mereka kompensasi dengan teknik telah jauh lebih tajam dan pengalaman lomba yang kaya sehingga mampu mengoreksi kekurangan kecil secara cepat dan tepat.
Namun, untuk pelari seusia Zohri, ukiran waktu reaksi yang dia bukukan di Finlandia tetap istimewa. Hal itu tak hanya menjadi pertanda bagusnya konsentrasi dan kerja sensomotoriknya. Namun, atlet yang di pelatnas diasuh pelatih Eni Martodiharjo itu telah mampu mengeksekusi sebuah tahap lomba dalam zona elite dunia.
Secara umum, waktu tempuh dalam lari cepat ditentukan oleh dua hal: panjang langkah dan frekuensi langkah. Pelari yang jangkung dinilai memiliki keunggulan antropometris karena kakinya yang lebih panjang sehingga panjang langkahya pun lebih jauh.
Sebaliknya, pelari yang lebih pendek dapat mengimbangi pelari jangkung dengan mengompensasi ”kekalahannya” dalam panjang langkah dengan jumlah langkah yang lebih banyak.
Pada akhirnya lari cepat bukan sesederhana panjang-panjangan langkah melawan banyak-banyakan langkah. Akan ada titik temu ideal dari keduanya sehingga menghasilkan waktu paling cepat dalam menempuh jarak 100 meter.
Yang menarik, Zohri yang lebih pendek dibandingkan para lawannya, termasuk si peraih perak-perunggu Schwartz dan Harrison, punya jumlah langkah paling sedikit. Dia lebih irit satu langkah dari Schwartz dan dua langkah lebih sedikit dari Harrison.
Agaknya, hal ini menunjukkan–setidaknya di malam final itu–Zohri lebih berhasil membentuk titik temu ideal antara panjang dan frekuensi langkahnya dibandingkan Schwartz dan Harrison. Selain itu, sangat mungkin Zohri lebih unggul dalam mempertahankan puncak kecepatannya.
Zohri lebih berhasil membentuk titik temu ideal antara panjang dan frekuensi langkahnya.
Inilah nikmatnya lomba lari cepat. Momen yang hanya kisaran 10 detik itu terbangun dari empat cerita. Pertama lesatan time reaction, kedua berlanjut pada upaya sprinter membangun kecepatan (akselerasi) hingga mencapai kecepatan puncak setelah menempuh maksimal 60 meter.
Cerita berikut adalah pertarungan dalam mempertahankan kecepatan puncak tersebut sekaligus menunda selama mungkin masuknya lomba ke bab penutup: deselerasi atau penurunan kecepatan.
Di saat sprinter dalam fase mempertahankan kecepatan puncak, tubuhnya memiliki gaya potensial yang besar yang membantu ayunan langkahnya menjadi lebih ringan, lebih jauh, lebih berada di titik temu ideal panjang dan frekuensi langkah.
Bagi Zohri, hal itu dia peroleh tampaknya karena teknik berlarinya yang bagus sekali. Perhatikanlah di beberapa meter terakhir hingga finis. Dibandingkan lawan, ayunan kaki Zohri amat prima. Di pengujung lomba itu, paha Zohri tetap terangkat indah saat kaki diayunkan ke depan.
Zohri berada di jalur pelatihan dan program yang benar.
Kesimpulan dari seorang juara dunia U-20 malam itu adalah Zohri berada di jalur pelatihan dan program yang benar. Ini modal luar biasa bagi kariernya di masa depan.
Kita patut berterima kasih kepada para pelatihnya: I Made Budiasa dan Wobowo Budi Santoso yang menangani Zohri di NTB. Juga pada Eni dan konsultan pelatih PB PASI Harry Mara.
Mara yang asal AS dikenal sebagai salah satu pelatih atletik terbaik dunia. Anak-anak asuhnya banyak yang memenangi kejuaraan level dunia.
”Dengan Mara, latihan (di pelatnas atletik) diubah. Kini, teknik menjadi ’jenderal’ dan latihan fisik sebagai pendukung. Ini mengubah kebiasaan sebelumnya. Jadi, jika melihat teknik Zohri bagus di Finlandia, itu hasil dari proses latihan yang dia jalani,” ujar Sekretaris Jenderal PB PASI Tigor Tanjung.
Jika melihat teknik Zohri bagus di Finlandia, itu hasil dari proses latihan yang dia jalani.
Melihat gelar Zohri
Kita patut amat berbangga atas prestasi Zohri di Finlandia. Baru kali ini selama sepanjang sejarah, Indonesia memiliki seorang putra yang bisa menjadi sprinter juara dunia U-20. Di usianya yang 18 tahun, Zohri telah mengukuhkan diri sebagai sprinter tercepat di Indonesia.
Ukiran waktu Zohri yang 10,18 detik itu hanya lebih lambat 0,01 detik dari rekor nasional. Sang pemilik rekornas (10,17 detik) adalah Suryo Agung Wibowo yang ditorehkan di SEA Games Vientiene 2009. Saat membukukannya, Suryo berusia 26 tahun.
Selain berbangga, ada baiknya kita ikut menjaga Zohri karena kariernya masih terbentang luas, perjalanannya masih jauh terentang. Kita berharap, Zohri tak hanya bertahan sebagai sprinter terbaik Indonesia, juga bukan bertahan sebagai juara di tingkat Asia Tenggara.
Jika panggung Asia dan dunia yang kita lirik—dan itu adalah podium para sprinter senior—masih banyak yang harus disiapkan Zohri, para pelatih dan pembinanya di PB PASI.
Mari kita ingat, rekor Asia tercatat secepat 9,43 detik. Itu dimiliki oleh sprinter China, Su Bingtian, yang mengukirnya saat berumur 25 tahun pada 2014.
Bingtian masih menjadi sprinter tercepat Asia tahun ini dengan ukiran waktu 9,91 detik. Katakanlah Bingtian sudah tua, tetapi masih banyak sprinter lain yang bakal meladeni Zohri di masa depan. Misalnya, sprinter Arab Saudi, Mohammad Abdullah Abkar (21), yang tahun ini mengukir waktu tercepat 10,03 detik.
Di panggung dunia, lawan-lawan Zohri di Finlandia dipastikan juga tak akan tinggal diam. Mereka akan terus berkembang dengan ambisi menggantikan pelari senior generasi sebelumnya.
Kita percaya terhadap profesionalitas dan kemampuan para pelatih dan pembina di PB PASI untuk menjaga Zohri terus berkembang jauh lebih cepat dibandingkan sekarang. Mereka terbukti adalah para pembina yang terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan keolahragaan dan menerapkannya ke para anak asuh.
Seorang pembina atletik juga menilai, Zohri punya karakter yang mendukung. Anaknya dinilai kalem, penuh disiplin, dengan kepercayaan diri yang kuat.
Di luar itu, masyarakat luas juga punya peran untuk membantu Zohri mencapai prestasi puncak di masa seniornya. Pujian dalam kata-kata ataupun dalam bentuk dukungan materi tentu merupakan hal yang positif, yang dapat menambah semangat bagi atlet.
Euforia berlebihan akan kehadiran dan harapan terhadap seorang juara dunia muda bisa berbalik menjadi ancaman.
Hanya saja, euforia berlebihan akan kehadiran dan harapan terhadap seorang juara dunia muda bisa berbalik menjadi ancaman membuat atlet layu sebelum penuh berkembang. Mari kita kelola harapan kita pada atlet seperti Zohri.
Kita patut memuji keberhasilan mereka. Namun, lebih dari itu, mereka lebih memerlukan dukungan kita ketika tengah gagal dan di masa sulit. Belasan tahun lalu, seorang pelatih pernah mengingatkan atletnya, seorang atlet yang menjadi kebanggaan Indonesia di sebuah cabang olahraga.
”Jika kamu menang, semua orang akan bersamamu. Namun, kamu harus siap jika kamu kalah, kamu akan sendirian,” kata sang pelatih. Jangan biarkan Zohri dan semua atlet kita lainnya sunyi sendiri ketika mereka kalah.
Hasil 100 meter putra Kejuaraan Dunia Atletik U-20, 2018:
1. Lalu Muhammad Zohri (INA) 10,18 waktu reaksi 0,131
2. Anthony Schwartz (AS) 10,22 .211 ms* waktu reaksi 0,133
3. Eric Harrison (AS) 10,22 .220 ms* waktu reaksi 0,135
4. Thembo Monareng (Afsel) 10,23 waktu reaksi 0,136
5. Dominic Ashwell (Ing) 10,25 waktu reaksi 0,136
6. Henrik Larsson (Swe) 10,28 waktu reaksi 0,124
7. Michael Stephens (Jam) 10,31 waktu reaksi 0,136
8. Daisuke Miyamoto (Jpg) 10,43 waktu reaksi 0,143
*ms: milidetik. Diperhitungkan ketika dua atlet mencatat waktu yang sama.
Sumber: www.iaaf.org