Menimbang Sistem Zonasi
Penerapan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah-sekolah negeri telah memicu protes dan kekecewaan dari sebagian orangtua dan anak.
Gagalnya peserta didik yang memiliki nilai ujian nasional (UN) lebih tinggi untuk dapat diterima di sekolah negeri karena tergeser oleh peserta didik dengan nilai UN lebih rendah, namun tinggal lebih dekat dari sekolah atau memiliki surat keterangan tidak mampu (SKTM), merupakan salah satu isu yang muncul berdasarkan analisis atas respons warganet melalui Facebook dan pemberitaan media massa yang saya lakukan.
Penyalahgunaan SKTM oleh mereka yang sebenarnya tidak berhak untuk memanfaatkan kuota minimal 20 persen bagi siswa dari keluarga tidak mampu dan gangguan-gangguan teknis saat pendaftaran secara daring juga mewarnai pelaksanaan PPDB tahun ini.
Selain itu, analisis Ismail Fahmi, seorang ahli komputasi bahasa dan analisis media, yang memantau percakapan terkait PPDB di Twitter dan media daring menggunakan Drone Emprit, menunjukkan bahwa respons negatif masyarakat terhadap pelaksanaan PPDB jauh lebih dominan dibandingkan dengan respons positif, sebagaimana ditulis di akun Facebook-nya pada tanggal 12 Juli 2018.
Di sisi lain, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) masih cenderung lebih mendengarkan respons positif dari masyarakat. Meskipun demikian, terpantau juga dua orang kepala daerah, yaitu Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo yang paling aktif merespons keluhan dan kekecewaan masyarakat dan mencari jalan keluar atas masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan PPDB.
Tidak adil?
Banyak yang menilai bahwa sistem zonasi tidak adil karena nilai UN yang tinggi sebagai buah kesungguhan peserta didik dalam belajar seakan-akan sia-sia karena dikalahkan oleh jarak antara rumah dan sekolah ataupun status sosial ekonomi. Sistem zonasi juga dipandang dapat menurunkan motivasi peserta didik dalam belajar karena nilai yang tinggi tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam seleksi penerimaan peserta didik baru.
Pembatasan jumlah peserta didik dari luar zona yang hanya 5 persen juga dirasa merugikan peserta didik yang ingin mendapatkan layanan pendidikan lebih baik dibandingkan dengan yang ada di dekat tempat tinggalnya.
Selama ini, pandangan bahwa peserta didik dengan prestasi akademik yang lebih tinggilah yang lebih pantas untuk diterima di sekolah-sekolah negeri mengingat kapasitasnya yang terbatas, apalagi di sekolah favorit, tampaknya telah terpatri di masyarakat. Sekolah-sekolah favorit tersebut dianggap memiliki mutu yang lebih tinggi dibandingkan sekolah-sekolah negeri lainnya.
Iklim belajar di sekolah favorit ini pun dinilai lebih baik karena peserta didik yang diterima di sekolah tersebut umumnya memiliki kemampuan akademik dan motivasi belajar yang tinggi. Di samping itu, bersekolah di sekolah-sekolah favorit, terutama di jenjang pendidikan menengah, juga dianggap dapat membuka peluang lebih besar untuk dapat diterima di PTN melalui jalur SNMPTN yang mempertimbangkan nilai rapor, ranking siswa, dan reputasi sekolah.
Meskipun demikian, ada juga warganet yang berpendapat bahwa sistem zonasi sebenarnya positif untuk mendorong pemerataan pendidikan, sehingga ke depannya diharapkan mutu sekolah menjadi lebih setara. Mereka juga menilai bahwa sekolah-sekolah negeri yang selama ini dianggap bermutu oleh masyarakat sebenarnya lebih merupakan cerminan input dibandingkan mutu pembelajaran di sekolah itu sendiri karena selama ini peserta didik yang diterima di sekolah-sekolah itu adalah mereka yang memang memiliki prestasi akademik yang tinggi.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam beragam kesempatan menegaskan bahwa "penerapan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan upaya mempercepat pemerataan di sektor pendidikan." Akan tetapi, kata "pemerataan" sendiri tidak muncul dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 14 Tahun 2018 Pasal 2 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa "PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara obyektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan."
Tidak terteranya frasa "pemerataan mutu", tetapi hanya "akses layanan pendidikan" dikhawatirkan dapat mengurangi gaung pesan utama sistem zonasi ini sehingga tidak tertangkap sepenuhnya oleh para kepala daerah, pejabat-pejabat di dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, dan masyarakat dalam sosialiasi dan implementasi PPDB. Permendikbud ini tampaknya perlu direvisi lagi untuk lebih menegaskan tujuan sistem zonasi.
Di samping itu, Kemendikbud pun perlu segera menjabarkan dan mengimplementasikan "rangkaian kebijakan yang utuh, terintegrasi, dan sistemik" yang terkait dengan sistem zonasi ini. Rangkaian kebijakan ini amat esensial karena salah satu keraguan ataupun malah resistensi masyarakat atas sistem zonasi adalah kesenjangan mutu antar sekolah.
Orangtua tentu menginginkan anaknya mendapatkan hak atas pendidikan bermutu sebagaimana tertuang dalam Undang-Undanf Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 5 Ayat (1) bahwa " Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu." Di sisi lain, Pasal 11 Ayat (1) menegaskan bahwa "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi."
Penentuan zona
Peraturan Mendikbud RI Nomor 14 Tahun 2018 Pasal 16 Ayat (1) menyebutkan bahwa "Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar 90 % (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima."
Dalam penentuan zona, tiap-tiap daerah menggunakan kriteria masing-masing. Ada daerah yang menggunakan jarak antara rumah peserta didik dan sekolah, yang bervariasi antardaerah, dan ada pula yang mendasarkan pada kewilayahan, seperti di Sleman yang membagi dalam empat wilayah, yaitu Sleman barat, Sleman tengah, Sleman utara, dan Sleman timur (antaranews.com, 6/6/2018).
Dalam implementasinya, berbagai masalah terkait penentuan zona ini bermunculan yang disebabkan antara lain oleh tidak meratanya sebaran sekolah di suatu daerah, perbedaan mutu sekolah, perbedaan kepadatan penduduk di sekitar sekolah, dan ketimpangan antara lulusan suatu jenjang pendidikan dan daya tampung sekolah-sekolah negeri di jenjang berikutnya.
Konsekuensinya, ada sekolah-sekolah negeri di suatu zona yang kekurangan peserta didik dan ada pula yang terpaksa menolak peserta didik karena pendaftar melebihi daya tampung. Di zona yang padat penduduk, ada juga peserta didik yang tak dapat diterima di sekolah negeri manapun meskipun jarak antara rumah dan sekolah kurang dari satu kilometer.
Warganet juga mencatat adanya \'blank spot\' dalam sistem zonasi ini, yaitu lokasi rumah yang tidak masuk ke dalam zona manapun sehingga peserta didik tidak dapat mendaftar ke sekolah negeri manapun. Peserta didik dari keluarga yang mampu mungkin memiliki alternatif untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah swasta, tetapi tentunya tidak begitu mudah bagi peserta didik dari keluarga yang kurang mampu.
Beberapa daerah, misalnya DKI Jakarta, sejak beberapa tahun yang lalu telah memberikan bantuan melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuk membayar SPP dan memenuhi keperluan sekolah lainnya bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu yang bersekolah di sekolah swasta. Walikota Bandung, Ridwan Kamil, juga telah menyatakan bahwa Pemerintah Kota Bandung akan membiayai warga yang harus bersekolah di sekolah swasta karena tidak tertampung di sekolah negeri, baik untuk SPP maupun perlengkapan sekolah lainnya. Solusi-solusi semacam ini perlu menjadi pemikiran para kepala daerah lainnya bila sistem zonasi ini memang akan tetap dipertahankan.
Untuk mengurangi masalah-masalah terkait penentuan zona, warganet juga mendorong pemerintah untuk membuat pemetaan yang akurat dengan memerhatikan, antara lain sebaran sekolah, daya tampung, jumlah guru, kepadatan penduduk, dan topografi wilayah. Pemetaan ini tentunya perlu didukung data kependudukan yang akurat dan mutakhir.
Zonasi atau prestasi?
Tidak mudah untuk menentukan sistem penerimaan peserta didik baru di sekolah negeri yang paling tepat untuk Indonesia yang sangat beragam ini dan yang dapat memuaskan semua pemangku kepentingan. Penerimaan peserta didik baru, baik berdasarkan kedekatan tempat tinggal peserta didik dengan sekolah maupun prestasi akademik dan nonakademik, memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Dengan sistem zonasi, peserta didik dapat berinteraksi dengan teman-teman yang lebih beragam, baik dari kemampuan akademik maupun latar belakang lainnya. Namun, guru akan menghadapi kelas yang lebih heterogen. Selain itu, peserta didik yang tinggal dekat sekolah yang kurang bermutu tentunya akan dirugikan.
Di sisi lain, bukti-bukti empirik menunjukkan keterkaitan yang erat antara prestasi akademik dan status sosial ekonomi. Bila penerimaan didasarkan pada prestasi akademik, peserta didik yang berasal dari keluarga berada memiliki peluang lebih besar untuk diterima di sekolah-sekolah yang lebih bermutu. Konsekuensinya, mereka yang kurang dari sisi akademik ditambah lagi berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi, akan cenderung terkumpul di sekolah-sekolah yang kurang bermutu.
Penelitian dan evaluasi atas sistem zonasi dalam PPDB amat mendesak dilakukan untuk memperoleh landasan yang kuat atas kebijakan yang dipilih, memperbesar peluang tercapainya tujuan kebijakan tersebut, dan mengurangi dampak-dampak negatifnya.