Mas Kribo
Pada suatu pagi saya menghadiri sebuah seminar di sebuah universitas bergengsi di negeri ini. Seorang pria muda kurus ceking sangat tinggi dengan rambut kribo datang terlambat. Dan ia langsung menduduki tempat kosong, tepat dua baris di depan saya. Dengan tinggi badannya yang di atas rata-rata dan rambut kribonya yang mirip sasakan rambut ibu-ibu itu, ia menutup pemandangan saya ke depan.
Egois
Seperti biasa, melihat kejadian itu saya langsung berpikir, mengapa ia tak memilih duduk di belakang saja? Di bagian belakang, tempat duduknya memiliki posisi yang lebih tinggi. Dengan demikian, kami yang dikaruniai tinggi badan tak melebihi 1,70 meter dapat menyimak seminar itu dengan baik tanpa halangan.
Saya masih sempat berpikir, mungkin orang itu kalau datang terlambat yang paling penting melihat di mana masih tersedia kursi yang kosong tanpa berpikir panjang bahwa kehadirannya di kursi kosong itu mengganggu. Tetapi, nurani saya ini kan memang terkenal sudah bawel dan sarkastis, juga sangat reaktif. Dengan berbisik, ia bersuara, ”Egois.”
Sekitar 10 menit mengikuti jalannya seminar itu, badan saya mulai bergerak ke kanan dan ke kiri berlawanan dengan gerakan tubuh si mas kribo. Gerakan berlawanan ini terpaksa saya lakukan agar dapat menyimak presentasi. Kalau mau disebut kesal, kesalnya setengah mati. Tetapi, mau menegur, saya sungguh tidak berani.
Sungguh saya tak tahu bagaimana cara menegur, apalagi hanya gara-gara gaya rambut. Satu pasangan, tampaknya sepasang suami-istri, yang duduk tepat di belakangnya terpaksa pindah tempat duduk. Mungkin mereka juga merasa kesal. Mungkin.
Saya sendiri memutuskan untuk menggeser satu kursi ke sebelah kiri sehingga tak terhalangi oleh rambutnya itu. Sepanjang seminar itu pikiran saya hanya diisi oleh dua hal. Menyimak seminar dan bertanya dalam hati, tidakkah nurani si mas kribo itu bawel seperti nurani yang saya miliki?
Melihat kejadian itu yang kena sindiran malah saya sendiri. Nurani saya mengambil kesempatan mengajukan sebuah pertanyaan di tengah saya begitu kesalnya. ”Sekarang ngerti kan, kalau orang lain itu jengkel setengah mati sama kamu karena kamu itu cuma mikirin diri sendiri?”
Parkir mobil & tidak setia
Belakangan saya merasa tabiat saya yang sekarang itu sudah jauh lebih baik dibandingkan belasan tahun lalu, termasuk tingkat keegoisan saya. Tetapi, melihat kejadian di atas, saya mulai meragukan penilaian itu.
Apakah si mas kribo merasa kalau badannya yang super tinggi dan rambutnya sampai menghalangi dan menjadikan orang lain kesal itu adalah sebuah perbuatan yang egois, saya sungguh tak tahu. Satu hal yang saya tahu, bahwa ia tetap duduk di kursi itu sampai seminar selesai.
Saya hentikan cerita si mas kribo sampai di situ. Sekarang saya mau bertanya kepada Anda sekalian. Apakah Anda egois? Atau apakah Anda pernah mendengar selentingan bahwa Anda dikategorikan oleh teman-teman Anda sebagai manusia yang egois?
Apakah Anda pernah memarkir mobil dengan sembarangan sehingga mobil lain tak bisa parkir? Kalau seandainya pernah, apakah perasaan Anda saat memarkir kendaraan dengan sembarangan? Apakah Anda menyadari atau tidak kalau Anda sembarangan memarkir kendaraan?
Kalau Anda menyadari, apakah Anda berniat memperbaiki letak parkir mobil itu? Kalau tidak, mengapa Anda tidak mau melakukan itu? Seandainya kalau orang lain memperlakukan Anda demikian, apakah Anda naik pitam? Kalau ya, mengapa Anda naik pitam lha wong Anda juga menaikkan pitam orang lain?
Apakah Anda tipe orang yang tak setia? Kalau Anda tahu sejak awal Anda ini tak setia, mengapa Anda berani mati berjanji untuk setia sampai mati dalam sebuah ikatan pernikahan di hadapan Tuhan dan pasangan Anda? Apakah perselingkuhan yang Anda lakukan dan mengorbankan perasaan orang lain, yaitu pasangan Anda, menurut Anda bukan perbuatan egois?
”Kamu tuh nggak usah bawel. Coba pertanyaan yang terakhir soal perselingkuhan itu kamu tanyakan kepada dirimu sendiri?” nurani saya menyambar secepat kilat. Saya tak menjawab pertanyaan nurani bawel itu. Selesai seminar dengan rasa lapar saya menyantap makan siang di sebuah kantin sederhana.
Sejujurnya seminar hari itu tak terlalu memesona otak saya. Saya malah mendapat ”seminar” dari mas kribo. Sebuah seminar yang membukakan mata hati saya bahwa saya tak bisa hidup hanya dengan memikirkan diri sendiri. Karena sejak awal kehidupan, saya tak bisa melahirkan diri sendiri. Ada dokter, ada perawat, ada ibu saya yang membantu.
Selama saya hidup, saya hidup karena bantuan orang lain bernama teman yang memberikan jejaring sosial, klien yang meski bawel memberi saya kesempatan untuk mempertahankan perusahaan, ada manusia yang masih mau bekerja dan berteman dengan saya.
Dan ketika saya mati nanti, saya tak bisa menggali kubur saya sendiri. Semua atas bantuan orang lain, termasuk mereka yang menaikkan doa agar manusia tak tahu diri ini diampuni Yang Mahakuasa. Bagaimana saya yang telah dibantu orang lain selama hidup masih bisa berpikir untuk menjadi manusia yang begitu egoisnya?