Penerimaan Guru Baru
Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikannya.
Karut-marut bangsa kita saat ini merupakan hasil yang kita panen dari kualitas pendidikan yang ada. Di samping itu, pendidikan juga instrumen untuk menegakkan keadilan dan ketahanan bangsa. Negara-negara Eropa Barat dan negara maju lain sadar betul bahwa pendidikan merupakan aset penting karena menyangkut generasi muda mereka.
Oleh sebab itu, negara-negara maju ini selalu menjanjikan dan melaksanakan pendidikan yang bermutu dan adil bagi semua warganya. Setiap warga negara, miskin atau kaya, akan memperoleh hak yang sama. Akibatnya, setiap warga negara akan punya kesempatan yang sama untuk maju. Konsekuensi logisnya, setiap warga negara punya kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin.
Indonesia pun seharusnya demikian. Oleh sebab itu, kita harus benar-benar serius membenahi sektor pendidikan ini. Dari segi politik anggaran, pemerintah dan pihak legislatif sudah sangat serius dan ini terbukti dengan ditetapkannya anggaran yang sangat fantastis sebesar 20 persen dari APBN. Masalahnya, kita berhenti sampai di situ saja. Apa langkah selanjutnya? Hal inilah yang perlu didiskusikan secara serius. Jangan sampai dana segunung itu tak sesuai peruntukannya untuk sektor pendidikan.
Oleh sebab itu, beberapa indikator perlu disusun agar hasil kerja pemerintah dapat dinilai. Yang saya maksud pemerintah adalah pemerintah pusat, provinsi. kabupaten/kota, dinas-dinas, sampai ke unit-unit terkecil di seluruh wilayah NKRI.
Saat ini, kita tak dapat menilai apakah kinerja pemerintah berhasil atau tidak. Yang paling konyol, kinerja pemerintah dinilai berhasil atau tidak berdasarkan serapan anggaran. Semakin tinggi anggaran yang diserap, semakin tinggi pula apresiasi terhadap kinerja pemerintah. Sungguh sebuah indikator yang sangat mengerikan!
Tingkatkan kualitas
Tampaknya kita sepakat bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah, prioritas pertama adalah peningkatan kualitas guru dan sekaligus penyamaan kualitasnya dari Sabang sampai Merauke. Di samping itu, guru jangan dibebani pekerjaan-pekerjaan administratif yang sangat melelahkan. Kurikulum 2013, yang sangat ideal tetapi tidak praktis itu, pun perlu ditinjau ulang.
Dari anggaran pendidikan sebesar Rp 444 triliun itu saat ini, kita tak tahu secara persis berapa yang digunakan untuk meningkatkan dan menyamakan kualitas guru. Angka yang sangat fantastis ini seharusnya bisa membereskan banyak hal dalam penyelesaian masalah pendidikan dasar dan menengah kita.
Karena kita menganggap masalah kualitas guru adalah masalah yang paling krusial, logikanya kita harus memberikan prioritas anggaran untuk menyelesaikan masalah kualitas guru ini. Adapun masalah lain menjadi prioritas kedua, ketiga, dan seterusnya.
Berapa anggaran yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas guru? Apa saja komponen-komponennya? Pemerintah dan masyarakat luas perlu mendiskusikannya. Akan tetapi, jangan sampai dana yang digunakan untuk meningkatkan kualitas guru banyak terserap untuk rapat-rapat, biaya perjalanan, dan lain-lain.
Tidak ada cara lain, kita harus mengatur anggaran dengan cara yang sangat disiplin dan dengan analisis pengeluaran yang sedetail mungkin. Dan, pada akhirnya, harus disusun indikator-indikator yang jelas dari hasil pekerjaan kita: apakah kita sudah berhasil meningkatkan kualitas guru atau belum sehingga hasil yang kita dapatkan bisa maksimal dengan anggaran yang serendah-rendahnya.
Pengangkatan guru baru
Pada 11 Juli 2018, Kompas menulis berita berjudul ”100.000 Guru Baru Diangkat pada 2018”. Berita ini sangat menggembirakan. Saya berharap pengangkatan guru baru ini menjadi salah satu tonggak sejarah, milestone, kemajuan bangsa kita.
Kalau kita asumsikan setiap guru baru akan menyerap gaji sebesar Rp 100 juta per tahun, untuk 100.000 guru baru, pemerintah harus menyiapkan dana Rp 10 triliun per tahun. Uang yang sangat banyak, tetapi untuk investasi anak bangsa yang sangat strategis ini, nilai Rp 10 triliun bukanlah jumlah yang banyak. Apalagi, kita punya dana pendidikan Rp 444 triliun.
Saya sependapat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yaitu semua guru yang lulus harus bersedia ditempatkan di mana saja untuk mengabdi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar di seluruh wilayah NKRI. Pada kesempatan ini pula, kita harus bekerja keras untuk menyamaratakan kualitas guru di seluruh wilayah NKRI.
Program pengangkatan guru baru ini harus sukses. Apakah indikator kesuksesannya? Salah satunya, kita harus berhasil meningkatkan skor rerata uji kompetensi guru. Dari hasil uji kompetensi guru secara nasional pada 2015, nilai rata-ratanya hanya 56,69. Skor yang sangat rendah. Nilai tertinggi diraih DI Yogyakarta (67,02) dan skor terendah Maluku Utara (44,79).
Saya berharap nilai rata-rata uji kompetensi guru ke depan paling tidak 80. Dan, ini sangat dimungkinkan jika kita menerima guru baru dengan sangat hati-hati. Guru baru yang diangkat nantinya harus punya kompetensi yang tinggi sekali.
Kita harus menentukan, misalnya, hanya nilai minimal 80 yang akan diterima jadi guru. Kita tak perlu terburu-buru untuk menerima guru pada sekali ujian saja. Andai kata target 100.000 guru belum tercapai, ujian bisa diadakan lagi pada enam bulan berikutnya.
Materi ujian yang akan diuji pun harus kita diskusikan. Harus ada materi ujian yang bersifat umum dan ada pula yang khusus. Pada materi ujian umum, yaitu materi ujian yang harus diikuti semua calon guru, saya usulkan tes potensi akademik dan bahasa Inggris. Sementara materi ujian khusus terkait penguasaan bidang ilmu dari calon guru.
Lalu, lembaga mana yang menyelenggarakan ujian penerimaan calon guru ini? Hal ini pun jadi faktor sangat penting untuk memastikan sukses tidaknya program pengangkatan guru baru. Saya berpendapat, Kementerian Keuangan yang telah berpengalaman dan sangat sukses dalam merekrut mahasiswa baru Politeknik Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) diberi tugas, kehormatan, dan amanah untuk menyelenggarakan ujian penerimaan calon guru baru.
Alasannya, selama ini tidak pernah kita dengar ada skandal kebocoran soal dalam ujian penerimaan mahasiswa baru STAN. Pengawasan yang sangat ketat saat berlangsung ujian memberikan hasil sangat obyektif dan adil bagi semua peserta ujian.
Tentu saja kalau ada lembaga lain yang dianggap lebih baik dan kompeten, kita dapat menerimanya dengan baik. Intinya, kita menginginkan sistem penerimaan calon guru yang dapat berlaku adil dan obyektif di seluruh Indonesia. Dan, kita pun berharap, mereka yang berhasil lulus nantinya betul-betul merupakan putra-putri terbaik bangsa yang bersedia ditempatkan di mana saja.
Syamsul Rizal Profesor di Universitas Syiah Kuala; Alumnus ITB dan Universitaet Hamburg, Jerman