Pemerintah China masih optimistis perekonomiannya bisa tumbuh 6,5 persen tahun ini, di tengah tekanan eskalasi perang dagang dengan Amerika Serikat.
Keyakinan itu didasarkan pada masih terbukanya ruang untuk melakukan berbagai manuver kebijakan, terutama demi menjaga iklim investasi dan mendorong konsumsi domestik (Kompas, 18/7/2018). Sebelumnya banyak analis meramalkan perlambatan ekonomi China akibat dampak perang dagang dengan AS.
Pertumbuhan 6,7 kuartal kedua 2018 adalah terendah sejak 2016. Selain ancaman perlambatan pertumbuhan, China juga dihadapkan pada risiko besar krisis finansial akibat problem utang masif sektor korporasi yang terancam gagal bayar pinjaman luar negeri. Hampir dua pertiga utang luar negeri jangka pendek sektor korporasinya akan segera jatuh tempo atau harus diperpanjang, di tengah tren terus naiknya suku bunga AS.
Problem internal ekonomi domestik yang tak kalah serius dari ancaman perang dagang AS itu juga mengancam pertumbuhan ekonomi China, di tengah upaya negara itu melakukan rebalancing dan transisi struktural ekonomi, termasuk dari yang sebelumnya sangat bergantung pada ekspor manufaktur, menjadi ke sektor jasa dan permintaan domestik.
Upaya rebalancing ini mulai dirasakan dampaknya beberapa tahun terakhir. Konsumsi domestik yang kuat bisa menjadi bantalan di tengah perlambatan ekonomi global yang juga berdampak pada permintaan akan produk ekspor dari China, sehingga perekonomian China tidak sampai harus mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi yang tajam (hard landing).
Bagaimana China mengatasi dua persoalan pelik ini—perang dagang dan problem utang yang mencapai 250 persen dari PDB— masih jadi pertanyaan. China, menurut sejumlah analis, dihadapkan pada dilema dan dua pilihan, pertumbuhan ekonomi atau reformasi. Memprioritaskan reformasi berarti harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi, dengan risiko menghadapi problem masif gagal bayar utang luar negeri sektor korporasi.
Dampak perang dagang sendiri tak bisa dianggap enteng, terutama jika AS-China gagal berdamai. AS adalah mitra dagang utama China dan meski kontribusi ekspor terhadap PDB terus menurun (dari 35 persen pada 2007), angkanya masih 18,54 persen pada 2017. AS menjatuhkan tarif hingga 25 persen atas produk ekspor China senilai 34 miliar dollar AS pada awal Juli, mengumumkan akan menaikkan tarif untuk produk lain senilai 16 miliar dollar AS, serta mengancam menaikkan tarif 10 persen untuk produk ekspor lain senilai 200 miliar dollar AS.
Ancaman menaikkan tarif atau mencabut tarif preferensi juga dilontarkan kepada 15 mitra dagang utama lain, termasuk Indonesia. Kalangan ekonom mengingatkan, perang dagang akan memukul ekonomi dunia, termasuk AS sendiri. IMF memprediksi perlambatan ekonomi negara maju dan ekonomi global hingga 2020 sebagai dampak perang dagang dan meningkatnya tensi geopolitik di berbagai belahan dunia.
Karena dua pertiga perdagangan barang global terkait dalam rantai produksi global, dampak ke negara berkembang menurut Morgan Stanley dan IMF juga akan destruktif jika perang dagang global pecah dalam skala penuh.