Surat Kepada Redaksi
Pengungsi Kalideres Telantar
Gubernur DKI Jakarta pada 19 Januari 2018 memerintahkan Dinas Sosial DKI berkoordinasi dengan Ditjen Imigrasi soal nasib pengungsi dari Afghanistan dan Sudan. Saat itu, mereka telantar dan menghuni trotoar di depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat. Perintah itu belum dilaksanakan.
Hingga Senin, 2 Juli lalu, masih banyak pengungsi—termasuk perempuan tua dan anak-anak—jadi penghuni trotoar di Jalan Peta Selatan, Kalideres, Jakarta Barat. Bahkan, sekarang mayoritas tanpa tenda, beratap langit terbuka. Bagaimana kondisi kesehatan anak-anak dan pengungsi lansia jika setiap hari terpapar cuaca? Mereka menghuni trotoar itu sejak Desember 2017.
Saya mengimbau Pemerintah Provinsi DKI dan pemerintah pusat segera berkoordinasi menyelamatkan pengungsi yang makin mengenaskan itu sebelum terjadi bencana kemanusiaan terhadap mereka.
Abdul Halim
Perum Taman Walet,
Sindangsari, Tangerang
Perhutanan Sosial
Perhutanan sosial? Mungkin saja. Di situlah telaah mendalam diperlukan sebagai dasar argumen. Namun, teori, konsep, dan pengalaman yang berbeda bisa membuat sudut pandang setiap peneliti bisa berbeda.
Walaupun informasi semakin mudah didapat, ide yang dikembangkan peraih Nobel Herbert Simon (1916-2001) mengenai bounded rationality tetap relevan. Konsep itu mengingatkan adanya keterbatasan daya pikir, informasi, juga waktu. Akibatnya, kita cenderung tidak cukup rasional seperti yang kita sangka. Demikian pula halnya dalam menyimpulkan hasil penelitian.
Opini Sdr Mohammad Adib di harian Kompas (17 Juli 2018) berjudul ”Perhutanan Sosial sebagai Legalisasi Deforestasi”, dalam kerangka pemikiran Simon, perlu lebih teliti menggunakan data dan informasi.
Pertama, yang bersangkutan membahas deforestasi yang menurut dia dilakukan secara legal oleh negara atas 4,2 juta hektar (ha) melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk program perhutanan sosial. Namun, dalam penjelasan, ia menggunakan angka-angka deforestasi hutan tropis dunia.
Di bagian lain disebut ”Deforestasi hutan tropis Indonesia pada 2007 mencapai 120,35 juta ha atau 62,6% dari luas daratan Indonesia (Ka’ban, 2008)”. Padahal, angka itu adalah angka yang biasa digunakan sebagai luas kawasan hutan (negara).
Kedua, yang bersangkutan menulis ”Perhutani mencatat pendapatan usaha Rp 4,11 triliun dengan laba bersih Rp 273 miliar dan total aset meningkat 5% menjadi Rp 4,49 triliun dalam pengelolaan luasan kawasan hutan 2,45 juta ha. Mayoritas kawasan hutan itu, yakni 1,12 juta ha, dialokasikan untuk program perhutanan sosial”.
Yang dimaksud penulis dengan ”perhutanan sosial” mungkin program pengelolaan hutan bersama masyarakat yang sudah lama dijalankan Perum Perhutani. Pemaknaan itu penting agar tidak tercampur dengan perhutanan sosial (PS) yang dibahas.
Ketiga, disebut pula ”Lebih dari separuh (51,87%) lahan di dalam kawasan hutan di Jawa dibagi-bagi kepada petani dalam program PS. Pembagian lahan dilakukan melalui SK dalam bentuk sertifikat tanah dengan jangka pengelolaan sampai 35 tahun dan bisa diperpanjang”. Kata ”dibagi-bagi” mengesankan pelaksanaan reforma agraria—padahal sebelumnya disebut perhutanan sosial—seluas 51,87%. Namun, apabila sebagai obyek reforma agraria, mengapa ada penjelasan jangka waktu 35 tahun dan bisa diperpanjang sebagai jangka waktu izin PS.
Keempat, disebut ”Penyerahan ribuan sertifikat tanah kepada warga masyarakat merupakan bentuk legal deforestasi”. Pernyataan itu dibuat tanpa disertai data tanah yang disertifikatkan itu, semula tanah itu berhutan atau tidak, untuk memastikan terjadi deforestasi atau tidak.
Program PS menjadi program strategis mengingat ada ketimpangan sangat besar atas alokasi hutan/lahan di masa lalu antara perusahaan besar dan masyarakat lokal.
Namun, masih ada kendala mempertemukan subyek-obyek secara tepat, hutan/lahan masih sengketa, biaya tinggi perizinan, dan lain-lain. Untuk itu, diperlukan kecermatan data, informasi, dan kedalaman analisis.
Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Institut
Pertanian Bogor