Membendung Politisasi Agama
Secara sosiologis agama merupakan pranata sosial yang diekspresikan oleh pemeluknya dalam bentuk sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Bryan S Turner menyebutkan bahwa agama memiliki fungsi-fungsi antara lain: (1) sebagai kontrol sosial, (2) sebagai acuan legitimasi politik, dan (3) sebagai perekat sosial (solidaritas sosial). Fungsi-fungsi ini terjadi dalam masyarakat sebagai nilai-nilai dan norma-norma sosial walaupun tanpa keterlibatan negara sehingga fungsi-fungsi juga terjadi di negara-negara sekuler. Kedudukan agama di negara Indonesia sangat penting karena Pancasila sebagai ideologi negara menunjukkan Indonesia bukanlah negara sekuler walau tidak bisa juga disebut sebagai negara agama. Secara kelembagaan, negara Indonesia dibangun seperti lazimnya negara modern sekuler, tetapi secara filosofis, negara ini didasarkan pada Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945 menyebutkan: ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Agama dan politik
Pelibatan agama dalam politik oleh penganutnya dimaksudkan untuk: (1) mengawal agar politik sesuai dengan etika dan ajaran agama, (2) melegitimasi aspirasi dan perilaku politik dengan ajaran agama, dan (3) membangun identitas dan solidaritas sosial. Karena di sebagian besar negara di dunia agama tak bisa dipisahkan sepenuhnya dari negara, maka agama pun tak bisa dipisahkan sepenuhnya dari politik dan sebaliknya. Pelibatan agama dalam politik tak bertentangan dengan demokrasi, dan ini pun terjadi di negara-negara Barat yang notabene sekuler.
Hampir semua negara mayoritas berpenduduk Kristen terdapat partai Kristen, seperti di Argentina, Australia, Belgia, Belanda, Brasil, Inggris, Italia, Jerman, dan Norwegia. Bahkan partai Kristen juga terdapat di Perancis dan Amerika Serikat meski di kedua negara ini partai agama tak berkembang, yakni Christian Democratic Party (Parti chrÉtien-dÉmocrate/PCD) yang didirikan pada 2001, dan American Solidarity Party yang didirikan pada 2011. Di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Islam juga terdapat partai-partai agama, seperti di Aljazair, Indonesia, Malaysia, Mesir, Pakistan, dan Tunisia. Di negara-negara mayoritas Hindu juga terdapat partai Hindu, dan di sebagian besar negara mayoritas Buddha juga terdapat partai Buddha.
Dalam konteks Indonesia, pada masa penjajahan, doktrin agama tentang jihad, misalnya, dipergunakan sebagai alat legitimasi perjuangan melawan penjajah. Demikian pula di masa-masa awal kemerdekaan, dibentuk parpol yang berdasarkan agama: Partai Masyumi (Islam), Partai Kristen Indonesia, dan Partai Katolik. Pada masa Orde Baru partai agama memang tak diperbolehkan, sejalan dengan kebijakan pemerintah ”de-ideologisasi politik” dan ”de-politisasi agama”. Namun, agama tetap dipergunakan untuk melegitimasi program-program pembangunan yang digalakkan pemerintah.
Di era reformasi ini parpol berdasarkan agama diperbolehkan kembali, sejalan dengan pembangunan sistem demokrasi yang substantif dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi. Pelibatan agama dalam politik dimaksudkan agar politik sesuai etika dan ajaran agama, terutama ketika kondisi etika-moral politik pada saat ini secara umum masih sangat lemah, baik dalam persaingan untuk memperoleh kekuasaan maupun dalam penggunaan kekuasaan. Problem etika moral ini misalnya dapat dilihat dari masih banyaknya kebohongan publik, korupsi, manipulasi, egoisme, kebencian, penyalahgunaan wewenang, dan sebagainya.
Bagi warga yang memiliki orientasi keagamaan yang tinggi, segala perilaku, budaya, serta sistem hukum dan politik sedapat mungkin sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Dalam konteks ini agama menjadi alat legitimasi bagi perilaku dan orientasi politik seseorang. Oleh karena itu, aspirasi politik mereka tidak hanya didasarkan atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, tetapi juga pemenuhan kebutuhan spiritual (keagamaan). Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi fenomena di dunia, bahwa fungsi ketiga tersebut, yakni membangun identitas dan solidaritas sosial secara sempit, sangat menonjol untuk mendapatkan kekuasaan, yang terintegrasi dengan politik identitas dan populisme. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di luar Indonesia, termasuk negara-negara demokratis sekuler. Pelibatan agama dalam politik yang demikian ini kemudian disebut sebagai politisasi agama yang borkonotasi negatif dan dinilai tidak sejalan dengan etika demokrasi.
Pencegahan politisasi
Keterlibatan agama dalam politik dapat dibedakan antara legitimasi keagamaan dan politisasi agama. Legitimasi keagamaan adalah penggunaan agama sebagai alat untuk memperkuat pemikiran dan tindakan seseorang atau kelompok, baik dalam bentuk aspirasi politik, keputusan politik, maupun gerakan politik melawan kezaliman. Adapun politisasi agama adalah penggunaan agama atau simbol-simbol agama sebagai alat mendapatkan tujuan-tujuan politik atau memobilisasi massa dalam memenangkan calon tertentu dalam pemilihan jabatan publik. Penggunaan agama dalam politik disebut politisasi agama jika pelibatan agama dalam politik dilakukan: (1) berdasar dalil-dalil keagamaan atau argumentasi yang bersifat diperselisihkan (khilafiyah), (2) penggunaan agama disertai kampanye negatif, kebencian dan/atau permusuhan terhadap lawan politik, (3) berorientasi hanya kepentingan kelompok, dan mengabaikan kepentingan nasional.
Dengan demikian, jika penggunaan ajaran agama itu merupakan ajaran agama yang absolut (qath’i), maka pelibatan agama dalam politik tak bisa disebut politisasi agama. Tentu saja dengan syarat, jika itu disampaikan dengan santun dan tak disertai kampanye negatif atau ujaran kebencian terhadap lawan politik dan tetap berorientasi kepada kepentingan umum (nasional). Namun, jika penggunaan agama ini disertai dengan kebencian terhadap calon lainnya yang berbeda orientasi politik atau agama mereka, maka hal ini merupakan politisasi agama.
Politisasi agama dalam dua dasawarsa terakhir semakin kuat, sebagai cara cepat mendapatkan dukungan lebih besar dari publik, baik karena dalam kompetisi politik maupun alasan legitimasi paham keagamaan suatu kelompok. Partai Keadilan dan Kebebasan (Hizb al-’AdÂlah wa al-Hurriyah) dan Partai al-Nour (Hizb al-NÛr) di Mesir, misalnya, dapat memenangi Pemilu 2013 di Mesir setelah terjadi Arab Spring pada 2012, terutama karena faktor politisasi agama ini.
Politisasi agama juga terjadi di negara-negara Barat sekuler yang dalam banyak kasus terintegrasi dengan politik identitas dan populisme, dan bahkan Islamofobia. Di AS, agama juga dijadikan alat legitimasi dan bahkan politisasi dalam pemilu, terutama untuk menarik dukungan dari kelompok-kelompok konservatif dan fundamentalis. Kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS pada 2016 tidak terlepas dari politisasi agama dalam kampanyenya, terutama politik anti-Islam (Islamofobia) dan anti-imigran.
Demikian pula, penambahan suara atau kemenangan pendukung partai-partai kanan di Eropa Barat dalam pemilu juga tak terlepas dari politisasi agama. Partai-partai sayap kanan itu antara lain National Front Party di Perancis dengan tokohnya Marine Le Pen, The Party for Freedom di Belanda dengan tokohnya Geert Wilders, Danish People’s Party dengan tokohnya Pia Kjarsgaard. Austria adalah negara yang saat ini pemerintahannya dikuasai partai sayap kanan, Austrian People’s Party dengan tokohnya Sebastian Kurz.
Penggunaan isu-isu agama (politisasi agama) dalam pemilu juga terjadi di Indonesia, terutama pada masa kampanye Pilpres 2014 dan juga Pilkada DKI 2016. Belum lama ini, untuk menghadapi Pemilu 2019, muncul ungkapan tokoh politik yang bisa disebut sebagai politisasi agama. Partai-partai yang tergabung dalam kelompoknya adalah Partai Allah (hizb AllÂh) dan disebut juga Poros Mekkah, sedangkan partai yang tergabung dalam kelompok lain Partai Setan (hizb al-syaithÂn) dan disebut juga Poros Beijing.
Untuk melakukan pencegahan politisasi agama diperlukan upaya-upaya pelurusan pengertian dan batasan pelibatan agama dalam politik serta pelurusan pemahaman keagamaan yang dipergunakan untuk politisasi agama. Dalam hal ini, ungkapan bahwa agama harus lepas sama sekali dari politik tentu saja kurang tepat karena Indonesia negara Pancasila, yang sangat menghormati kedudukan agama.
Agama bahkan sering dilibatkan dalam legitimasi politik untuk menjalankan fungsi-fungsi di atas. Namun, pelibatan agama dalam politik ini perlu diekspresikan dengan santun dan tak mencampuradukkan antara kepentingan politik praktis dan agama sehingga pelibatan agama ini tak menimbulkan perpecahan, kebencian dan konflik SARA.
Di samping itu, perlu kesadaran semua pihak, terutama tokoh politik, tokoh organisasi keagamaan, dan tokoh agama, akan pentingnya selalu menjaga persatuan bangsa, dan bahwa politisasi agama akan merendahkan posisi agama hanya sebagai alat memperoleh kekuasaan. Dalam konteks ini, ajaran Islam sebenarnya sudah jelas menyatakan keharusan berbuat adil termasuk terhadap kelompok yang tak disukai (QS Al-Maidah: 8), larangan komersialisasi atau manipulasi ayat Al Quran (QS Al-Baqarah: 41), larangan fitnah dan adu domba (QS Al-Qalam: 10-11 dan QS Al-Lumazah: 1), dan larangan mengolok-olok atau membenci kelompok lain (QS Al-Hujurat: 11 dan Al-An’am: 108).
Masykuri Abdillah Guru Besar dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Rais Syuriyah PBNU