Bukan Presiden-presidenan, Bukan Wapres-wapresan
Musim semi politik tengah memekarkan bunga-bunga. Nama-nama bakal calon presiden dan wakil presiden sudah semakin mengerucut. Sebab, empat hari lagi pendaftaran bakal capres-cawapres dibuka KPU.
Dan partai politik cuma punya waktu seminggu untuk mendaftar sebelum ditutup pada 10 Agustus 2018. Sampai saat ini, peta Pilpres 2019 kemungkinan besar mirip Pilpres 2014. Tampaknya ada dua kubu.
Melihat gelagatnya, rivalitas Joko Widodo versus Prabowo bakal terulang. Prabowo akan revans dengan Jokowi. Masing-masing kubu sudah semakin intensif melakukan komunikasi dan lobi-lobi politik. ”Musim semi adalah cara alam untuk menyatakan mari berpesta,” kata aktor dan komedian Robin Williams.
Jokowi, presiden petahana, dapat dipastikan menuju panggung Pilpres 2019. Jokowi berulang kali berkomunikasi dengan parpol pendukung: PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, PPP, Partai Hanura, PKB, PSI, Perindo, dan PKPI. Jokowi sudah wira-wiri mengajak sejumlah ketua umum parpol pendukung.
Puncaknya saat Jokowi melakukan santap malam bersama enam ketua umum parpol pendukung di Istana Bogor pada Senin (23/7/2018) malam. Ada Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PPP Romahurmuziy, dan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang.
Seminggu kemudian, Jokowi mengundang santap siang di Istana Bogor, Sabtu (28/7/2018), Ketua Umum PSI Grace Natalie, Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo, dan Ketua PKPI Diaz Hendropriyono.
Kalau melihat tanda-tanda politiknya, bakal cawapres Jokowi kemungkinan besar bukan orang parpol.
Tentu bukan santap malam dan santap siang biasa. Di bawah udara sejuk Kota Bogor itu sudah pasti Jokowi dan para tokoh kunci parpol itu menikmati santap malam politik. Bukan soal tokoh-tokoh politik yang bersantap, melainkan komunikasi tampaknya lebih dominan soal persiapan Pilpres 2019.
Tentu saja soal cocok-cocokan pasangan capres-cawapres. Kalau melihat tanda-tanda politiknya, bakal cawapres Jokowi kemungkinan besar bukan orang parpol. Parpol kemungkinan besar tidak akan ngotot untuk menyodorkan kader mereka untuk dipinang sebagai bakal cawapres. PKB sudah tak ngotot lagi mengajukan Muhaimin Iskandar sebagai bakal cawapres. Kalaupun dulu-dulu terlihat agak ngotot, itu tak lebih sebagai bargaining position saja.
Di arena politik, semua parpol punya trik untuk diperhitungkan. Parpol tidak hanya mengajukan kepentingan (interest) tetapi juga kerap menjalankan gaya menekan (pressure). Saling usul, saling tekan, saling ancam kerap terlihat dalam lobi-lobi politik. Apabila kepentingan terakomodasi, biasanya akan melemah tekanannya. Lalu timbul saling kesepahaman.
Jadi, kalau parpol pendukung Jokowi memainkan peran untuk mendapatkan posisi strategis di pilpres, begitulah yang terjadi dalam persaingan politik. Sekarang, suasana sudah sama ketika semua parpol pendukung akan setuju pilihan Jokowi.
”Bakal cawapres ada di kantong Jokowi,” kira-kira begitu semua sikap parpol pendukung. Siapa pun yang dikeluarkan dari saku Jokowi, parpol pendukung akan menerimanya.
Karakter ”M”
Publik tahu tersiar sekitar 10 nama yang ada di kantong Jokowi. Lalu mulai mengerucut menjadi lima nama. Dari nama-nama yang kabarnya dijanjikan akan menggemparkan nanti, tampaknya memiliki karakter (huruf) ”M”. Misalnya, Mahfud MD (anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Ma’ruf Amin (Ketua Umum MU dan Rais ‘Aam PBNU), Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan), Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (Gubernur NTB).
Adapun Wapres sekarang Muhammad Jusuf Kalla (JK) sedang menunggu nasib di Mahkamah Konstitusi, yang meminta agar konstitusi mengizinkan dicalonkan kembali lebih dua periode.
Kalau melihat tanda-tanda yang tampak, Jokowi kemungkinan besar akan menghindari memilih calon dari parpol agar tidak ada kecemburuan di antara parpol. Dengan begitu, konflik parpol merasa paling berhak dan andil dieliminasi sejak awal.
Selain itu, kelegawaan Megawati untuk mengusung Jokowi (bukan petinggi parpol, malah dulu sering disebut pekerja partai) sejak Pilpres 2014 tentu dapat membuat para ketua umum parpol lain ewuh pakewuh atau dipaksa tahu diri. Kalau parpol pengusung utama saja bisa bersikap seperti itu, parpol-parpol pendukung lain rasanya kurang legitimate untuk memaksakan kehendak.
Apakah parpol-parpol pendukung lain mau? Asal kompensasinya jelas, parpol tidak akan ribut. Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Yale, AS, Harold Lasswell (1902-1978), sudah sejak dekade 1930-an mengidentifikasi bahwa politik itu adalah kompetisi tentang siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana.
Dalam pemilihan capres-cawapres politik kita memang terjebak dalam spesifikasi yang berpola representasi: sipil-militer, nasionalis-religius, politikus-teknokrat, atau secara primordial, seperti Jawa-non Jawa. Kalau sipil-militer, pasti menunjuk Moeldoko, jenderal TNI Angkatan Darat yang menjadi Panglima TNI (2013-2015).
Bila nasionalis-religius bisa jadi melirik Ma’ruf Amin atau Tuan Guru Bajang. TGB juga dapat dilihat sebagai faktor non-Jawa, yang sekarang diwakili JK (asal Sulawesi Selatan). Spesifikasi politikus-profesional bisa disematkan pada Sri Mulyani, yang berganti beberapa posisi menteri di kabinet era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Direktur Pelaksana Bank Dunia (2010-2016). Di zaman Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, spesifikasi ini biasanya dikenal dengan istilah teknokrat.
Spesifikasi baru
Atau jangan-jangan ada spesifikasi baru yang tengah diutak-atik Jokowi dan para ketua umum parpol. Misalnya, tidak ada yang zakelijk benar yang merepresentasikan pola tersebut. Tentu tak semua unsur terakomodasi.
Misalnya, ada rumusan yang spesifikasinya: tokoh berpengalaman di lembaga negara (profesional), dekat parpol, bisa merepresentasikan kelompok religius tetapi berjiwa nasionalis.
Pola ini tampaknya dibutuhkan sosok saat ini untuk bekerja membangun negara (representasi kelompok profesional), yang punya modal kekuasaan yang dapat diterima di tingkat elite (dekat dengan parpol), dan relatif dapat diterima cukup luas (resistensinya kecil) di kalangan akar rumput (grass-root) terutama massa Islam yang belakangan menguat semangat berpolitiknya (nasionalis-religius). Cawapres Jokowi tentu akan menjadi barrier bagi Jokowi yang kerap ”dihabisi” dengan berbagai kampanye buruk.
Mungkinkah Mahfud MD masuk spesifikasi ini? Kalau melihat rekam jejaknya, Mahfud boleh dikata punya kompetensi yang juga lengkap. Ahli hukum ketatanegaraan ini pernah aktif di PKB, menjadi Menteri Pertahanan (2000-2001), anggota DPR (2004-2008), Ketua MK (2008-2013).
Namun, harus diingat suksesi presiden-wapres adalah kesinambungan kepemimpian nasional. Sebagai bangsa, tidak boleh memikirkan jangka pendek saja, yaitu 5-10 tahun. Bagi Jokowi, periode 2019-2024 adalah kans terakhir sehingga harus ditemukan sosok yang dapat menjaga kesinambungan kepemimpinan nasional tersebut. Intinya wapres ideal yang lebih muda yang semangatnya lebih energik dan endurance-nya lebih lama.
Soal sosok yang muda, rupanya hari-hari ini kita menyaksikan deal politik yang berakhir kata sepakat antara Partai Gerindra dan Partai Demokrat. Pertemuan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang juga capres 2014 dan Susilo Bambang Yudhoyono yang presiden ke-6 (2004-2014) terlihat begitu intensif. Mereka kangen-kangenan. Sama-sama seangkatan di Akademi Militer.
Prabowo datang ke rumah SBY pada 27 Juli 2018, sebaliknya SBY ke rumah Prabowo pada 30 Juli 2018. Bahkan, mereka sempat bertemu di RSPAD ketika Prabowo menjenguk SBY yang sakit, 18 Juli. Setelah pertemuan terakhir, dalam jumpa pers SBY pun mengatakan, ”Kami datang dengan satu pengertian, Pak Prabowo adalah calon presiden kita.” Sebelumnya SBY sudah menyatakan tak bisa gabung dengan kubu Jokowi. SBY ”patah arang” gara-gara faktor Megawati yang dianggap belum cair dengan dirinya.
Bukan tujuan final
Lantas kemudian apakah ada deal politik soal Agus Harimurti Yudhoyono; putra SBY yang masih muda, bekas calon gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017 yang menjadi Komandan Satuan Bersama (Kogasma) untuk Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 Partai Demokrat; akan menjadi pendamping Prabowo? AHY adalah ”putra mahkota” yang jalannya memang tengah dipersiapkan.
Akan tetapi, kalau Prabowo disandingkan dengan AHY, kesan yang kuat adalah militer-militer. Ini tentu akan menjauh dari pola spesifikasi capres-cawapres selama ini. Artinya, kantong-kantong suara di luar suara yang menginginkan militer akan tidak terjamah. Barangkali pilihannya adalah kombinasi militer/nasionalis-religius.
Jika demikian, mungkin tiada jalan lain bagi Prabowo kecuali tetap menerima proposal yang diusulkan PKS, yang menawarkan kadernya untuk posisi cawapres. Setelah bertemu SBY, sore harinya Prabowo bertemu Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Aljufri dan Presiden PKS Sohibul Iman. PKS akhir-akhir ini terlihat ”lebih menekan” Gerindra agar menerima usulan mereka.
Keliru memilih pasangan, bisa melepuh terbakar udara panas.
Saat bertemu Prabowo, PKS pun menyampaikan rekomendasi hasil Ijtimak Ulama dan tokoh nasional, yang mengusulkan dua paket pasangan capres-cawapres, yaitu paket Prabowo-Salim Segaf dan paket Pak Prabowo dengan Ustadz Abdul Somad.
Malam harinya, Salim Segaf bertemu empat mata dengan SBY di Hotel Gran Melia, Jakarta Selatan. Lobi-lobi dan gerilya politik bakal terus mewarnai arena politik menjelang penutupan pendaftaran capres-cawapres pada 10 Agustus pekan depan.
Inilah hari-hari yang begitu panjang—sebagaimana hari-hari pada musim semi—yang penuh teka-teki. Hawanya semakin panas, begitulah musim semi, yang bakal memuncak pada musim panas Pilpres 2019. Keliru memilih pasangan, bisa melepuh terbakar udara panas.
Bukan juga memilih pasangan semata karena faktor pendulangan suara. Patut disadari kompetisi politik Pilpres 2019 ini, sepanas apa pun, bukanlah tujuan. Kursi presiden dan wapres bukanlah tujuan final dari sebuah proses politik.
Tujuan akhirnya adalah mampukah presiden dan wapres terpilih bekerja untuk memajukan bangsa dan negara serta menyejahterakan rakyat. ”Tujuan akhir bukanlah memenangi pemilu, melainkan mengubah masyarakat,” kata Paul Krugman, penerima Nobel 2008 yang profesor ekonomi (emeritus) Princeton University’s Woodrow Wilson School.
Rakyat tidak memilih presiden-presidenan dan wapres-wapresan.