Kekuasaan Tanpa Batas
Kurang dari tiga bulan, dua pemilu berlangsung di Asia Tenggara. Pemilu Malaysia menghasilkan pergantian rezim, tetapi di Kamboja tak terjadi perubahan.
Dalam pemungutan suara pada 9 Mei 2018, pemilu nasional Malaysia berujung mencengangkan. Kubu Perdana Menteri (PM) Najib Razak kalah. Ia digantikan oleh senior sekaligus mentornya, Mahathir Mohamad, yang pernah menjadi PM Malaysia. Meski bukan wajah baru, Mahathir membawa perubahan.
Kemenangan Mahathir dan kubu oposisi di Malaysia adalah cermin sikap mayoritas publik negara itu yang menghendaki pergantian kepemimpinan. Isu korupsi yang melingkupi Najib tak bisa dibantah merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi bagi melonjaknya partisipasi pemilih dan kemenangan oposisi. Tak lama setelah naik menjadi pemimpin pemerintahan, Mahathir segera menggelar penyelidikan atas kasus dugaan korupsi yang berkaitan dengan Najib.
Pada 29 Juli 2018, Kamboja juga menggelar pemungutan suara pemilu nasional. Partisipasi pemilih tinggi, mencapai lebih dari 80 persen. Namun, pemilu ini dikritik oleh pihak asing, termasuk Amerika Serikat. Meski berjalan damai, pemilu itu berlangsung sangat berat sebelah. Partai Rakyat Kamboja (CPP) yang dipimpin PM Hun Sen mendapatkan segala-galanya, mulai dari dominasi akses publikasi dan pemberitaan, dana, hingga pengawasan penghitungan suara di puluhan ribu tempat pemungutan suara (TPS). Spanduk dan baliho CPP mudah terlihat saat kampanye.
Tak mengherankan, kubu Hun Sen mengklaim memenangi semua 125 kursi parlemen. Hun Sen juga menyebut upaya kubu oposisi, Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP), yang sudah dinyatakan bubar, untuk mengajak rakyat Kamboja memboikot pemilu sama sekali gagal. Selain CNRP dinyatakan bubar, pemimpin partai itu juga ditangkap karena dituduh melakukan pengkhianatan terhadap negara. Dalam pemilu tahun 2013, CNRP merupakan lawan tangguh bagi CPP.
Dengan ketiadaan oposisi dan kemungkinan kemenangan ”absurd” 100 persen di parlemen, CPP bisa dikatakan tidak memiliki lawan yang sepadan di Kamboja. Hun Sen yang sudah berada di jajaran puncak kepemimpinan politik Kamboja selama tiga dekade akan tetap memiliki kekuasaan yang besar, bahkan mungkin nyaris tak terbatas, pada masa mendatang.
Sebuah negara demokrasi tak cukup hanya bisa menjalankan prosedur pemilu secara rutin. Lebih substansial ialah bagaimana pemilu itu dijalankan: apakah masing-masing kekuatan memiliki akses yang sama pada publikasi dan kampanye? Apakah setiap peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum? Jika syarat itu tak terpenuhi, pemilu sebagai alat demokrasi akan kehilangan maknanya. Fungsi pemilu untuk mengevaluasi rezim dan menggantinya jika tidak lagi dikehendaki oleh rakyat menjadi lenyap. Seperti pernah terjadi di negara Asia Tenggara lainnya, pemilu yang cacat seperti itu akhirnya hanya akan melanggengkan kekuasaan rezim yang tak dapat dikontrol oleh rakyatnya.