Politik adalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana cara mendapatkannya. Itulah teori politik ilmuwan Amerika Serikat, Harold Laswell (1902-1978).
Teori politik itu rasanya relevan melihat manuver politik elite politik satu-dua hari menjelang pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden. Posisi calon wapres menjadi kursi yang diperebutkan. Bahkan, beberapa partai politik menegaskan, calon wapres usulan partainya adalah ”harga mati”. Namun, realitas politik menunjukkan tidak ada ”harga mati” dalam politik karena politik dipahami sebagai negosiasi dan transaksi yang dikemas dalam bahasa politik canggih power sharing.
Dalam bahasa sehari-hari, power sharing diartikan sebagai pembagian kursi kabinet. Portofolio kabinet bisa saja menjadi ruang yang dinegosiasikan untuk memberikan dukungan kepada calon presiden tertentu. Power sharing kadang dirasionalisasikan dengan frasa bahwa masalah bangsa begitu banyak sehingga tak bisa diselesaikan oleh satu kelompok. Power sharing diharuskan karena aturan konstitusi mengatur soal ambang batas pencalonan presiden 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara nasional. Karena tidak ada satu partai politik pun yang bisa memenuhi ambang batas, koalisi partai politik pun menjadi keniscayaan.
Power sharing sah-sah saja dalam upaya menjalankan pemerintahan. Koalisi dan power sharing seharusnya didasarkan pada kesamaan platform, kesamaan visi dan misi, serta kesamaan nilai-nilai hakiki yang akan dibangun, bukan semata-mata untuk meraih kemenangan elektoral. Kesamaan tujuan untuk menempatkan rakyat sebagai subyek yang harus disejahterakan. Tercapainya kesejahteraan rakyat dan hadirnya keadilan sosial adalah tujuan yang harus dicapai bersama.
Penentuan capres dan cawapres dalam Pemilu 2019 menjadi kian rumit karena semua partai politik menempatkan faktor Pemilu 2024 sebagai faktor yang dikalkulasikan. Siapa pun yang akan menjabat wapres, dianggap mempunyai peluang besar untuk memenangi Pemilu 2024. Ego partai politik lebih mengemuka. Sebuah ruang kalkulasi politik yang terlalu jauh.
Namun, melihat dinamika politik yang terjadi, politik ideal yang menempatkan rakyat sebagai subyek utama tetap jauh dari harapan. Bangunan koalisi baru pada sampai apa yang dikatakan oleh Laswell, ”Kami mendapat apa, kapan dan bagaimana.” Dalam ruang politik elitis, itulah yang mengemuka, posisi rakyat bisa kian termarjinalkan.
Bangun koalisi seharusnya bukan hanya untuk memenangi sebuah kontestasi dengan hitungan matematika politik, melainkan bagaimana pemerintahan yang akan terbentuk bisa menjalankan pemerintahan dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dan memberikan rasa aman dan tetap menjaga kemajemukan bangsa di bawah Pancasila.
Realitas politik kontemporer paling tidak menunjukkan Indonesia masih lebih banyak didominasi politisi, tetapi miskin negarawan. Mengutip intelektual Amerika Serikat, James Clarke, ”Seorang politisi berpikir tentang pemilihan ketika seorang negarawan berpikir tentang generasi masa depan.”