Tahun 1889, untuk memperingati 100 tahun Revolusi Perancis digelar pameran bertajuk I’Exposition Universelle di Paris. Di pameran tersebut terdapat paviliun Belanda yang memamerkan kebudayaan negeri jajahannya (kolonialisme) bernama Le Village Javanias (Desa Jawa). Dalam keramaian pengunjung, gamelan Sari Oneng dari Desa Parakan Salak, Sukabumi, Jawa Barat, ditabuh untuk mengiringi empat penari jelita dari Keraton Mangkunegaran Solo.
Bagaimana mungkin gamelan Sunda digunakan untuk mengiringi tari Jawa? Begitulah kenyataannya. Suara gamelan ternyata menarik minat Claude Debussy (1862-1918), komponis dunia paling berpengaruh kala itu, untuk berlama-lama mendengarkannya. Sesudah peristiwa itu, lahirlah karya berjudul ”Pagodes” (1903), komposisi piano, yang entah mengapa terasa aneh, nyentrik, unik, dan janggal. Dalam komposisi itu, alur melodi yang digunakan seolah tak pernah mencapai kata klimaks, berputar seperti siklus yang tak pernah usai. Ternyata Debussy bermain- main di wilayah lima nada, sama seperti konsep pentatonik dalam gamelan.
Karya itu menjadi perbincangan paling gaduh, memicu loncatan-loncatan baru yang menginspirasi. Berawal dari Debussy, gamelan menjadi sumber dan ide penciptaan karya-karya musik anyar di dunia. Joss Wibisono dalam bukunya Saling-silang Indonesia-Eropa (2012) bahkan mengungkapkan, jika tak mau dicap ketinggalan zaman, komponis pada abad ke-21 wajib memasukkan unsur-unsur gamelan dalam karyanya.
Sementara tahun 1919, Jaap Kunts, pengacara muda berusia 28 tahun, menginjakkan kaki pertama kali di tanah Hindia Belanda. Ia seorang pemain biola amatir, bersama dua temannya, berpentas keliling dari satu tempat ke tempat lain di Jawa dan Kalimantan. Desember 1919, ia pertama kali mendengar gamelan Jawa di Istana Kesultanan Yogyakarta. Ia terpesona, dan memutuskan tak ikut kembali ke Belanda bersama teman-temannya pada Mei 1920. Tinggal di Jawa dan menikmati gamelan baginya adalah sebuah anugerah.
Madelon Djajadiningrat dan Clara Brinkgreve (2016) mencatat kekaguman mendalam Kunts dengan gamelan yang diwujudkan lewat surat-suratnya kepada Mangkunegara VII. Setelah kembali ke Belanda, Kunts menjadi seorang ilmuwan musik (gamelan) atau etnomusikolog yang berpengaruh di zamannya. Ia melahirkan buku fenomenal berjudul De toonkunts van Java (1934) yang diterjemahkan menjadi Music in Java (1949). Tulisannya tentang gamelan dipandang paling lengkap dan bernas kala itu. Ia pun membimbing mahasiswa doktoral di University of Amsterdam bernama Mantle Hood, tema disertasinya adalah pathet pada gamelan Jawa (1954). Hood di kemudian hari menjadi pemicu tumbuh kembangnya keilmuan gamelan di tanah Amerika Serikat hingga kini.
Lewat Kunts dan Hood, gamelan menjadi perbincangan, baik di Eropa maupun Amerika. Setelahnya, penelitian-penelitian tentang gamelan berlangsung secara masif. Kampus-kampus besar di dunia (terutama jurusan musik dan etnomusikologi) merasa penting menghadirkan gamelan sebagai sarana pembelajaran.
Pada akhirnya, Suka Hardjana (2014) menduga bahwa gamelan telah menyebar di lima benua, dan saat ini terdapat lebih dari 100 gamelan yang terbentang dari pantai barat sampai timur Amerika, baik gamelan Jawa, Bali, maupun Sunda. Gamelan bukan lagi menjadi milik Indonesia, dan Jawa khususnya, melainkan telah berlari melampaui batas-batas administratif kewilayahan.
Festival-festival gamelan dunia hilir mudik di gelar di sejumlah negara. Bahkan, di Trengganu, Malaysia, rutin menyelenggarakannya setiap tahun.
Pulang kampung
Namun, musisi-musisi Indonesia selama ini masih sebatas menjadi tamu. Berkunjung dari satu negara ke negara lain untuk bermain gamelan. Oleh karena itu, ide untuk membuat gamelan ”pulang kampung” ke tanah asalnya menjadi penting digulirkan. International Gamelan Festival (IGF) yang akan digelar di Surakarta pada 9-16 Agustus 2018 menjadikan homecoming atau pulang kampung sebagai tajuk dan tema utama. IGF dihelat dengan berbagai macam acara, dari pementasan, lokakarya, penerbitan buku, pameran, hingga seminar. Semua bertema gamelan, dari yang tradisi hingga kontemporer. Kisah gamelan sebagai alat musik megalitik berubah menjadi gagasan dan wacana kuantum pada zaman ini.
Gamelan bukan sekadar alat, melainkan gugusan ide dan konsep yang tidak semata berkisah tentang persoalan musik, tetapi juga kebudayaan dan kemanusiaan. Akibatnya, pada abad ke-21, gamelan menjadi perbincangan yang paling menarik. Banyak musisi gamelan dikenal lewat karya-karyanya, banyak pula peneliti yang berupaya mencetuskan kajian keilmuan gamelan yang disebut ”karawitanologi”. IGF menjadi palang pintu pertama gamelan dilihat dan dibaca dalam berbagai episentrum. Forum itu diikuti pementasan para empu gamelan yang selama ini karyanya memberi pengaruh besar dalam dunia kekaryaan musik. Juga ada penerbitan buku tentang pemikiran dan isu gamelan mutakhir. Dan yang lebih penting, IGF berupaya ”memanggil kembali” kelompok-kelompok karawitan dan ilmuwan gamelan di berbagai penjuru dunia untuk menziarahi kampung halaman. IGF diikuti 19 kelompok karawitan mancanegara, dan 40 kelompok dari Indonesia.
Agar tak putus dengan konteks kesejarahan, terdapat pameran yang menghadirkan berbagai situs dan prasasti tentang jejak gamelan. Forum ini digelar dengan misi penyadaran, setidaknya bagi generasi milenial negeri ini, alih-alih untuk menumbuhkan kembali kecintaan pada gamelan di kala hal-hal yang berbau fisik telah berganti menjadi era digital.
Bermain gamelan tidak semata membutuhkan kemampuan bermusik, tetapi juga empati untuk mendengarkan, mengerti dan memahami. Sebuah proses yang tak mungkin didapatkan dari sekadar bermain gawai. IGF berhasrat menjadi forum berkala.
Ruang pengingatan tentang ”rumah” dan kampung halaman yang mampu membuncahkan kerinduan mendalam dan klangenan untuk menziarahinya kembali di kemudian hari. Namun, menjadi ironi jika di IGF, gamelan begitu gaduh diperbincangkan, tetapi sayup-sayup tak memberi efek berarti bagi kehidupan gamelan di negeri ini sesudahnya.