Pelajaran dari Telur dan Daging Ayam
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, inflasi Juli 2018 mencapai 0,28%, lebih rendah daripada 2017 (0,22%), tetapi lebih tinggi daripada 2016 (0,69%). Ditilik dari sumbernya, inflasi Juli banyak didorong harga pangan.
Andil bahan pangan mencapai 64% dari inflasi bulanan. Ada dua komoditas pangan dominan menyumbang inflasi, yaitu telur ayam ras (28,6%) dan daging ayam ras (25%). Sepanjang Juli lalu harga telur ayam melambung tinggi, hingga Rp 35.000/kg, diikuti kenaikan harga daging ayam broiler. Harga telur dan daging ayam lebih tinggi daripada harga acuan, masing-masing Rp 22.000/kg dan Rp 32.000/kg.
Ada beragam penjelasan mengapa harga telur dan ayam melonjak tinggi. Pemerintah lewat Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita meyakini harga naik karena efek libur panjang Lebaran 2018 dan cuaca ekstrem. Usai Lebaran, pekerja masih cuti panjang. Cuaca ekstrem menekan produktivitas unggas. Paduan keduanya membuat pasokan telur dan ayam pada Juli 2018 menurun. Pelaku usaha menyodorkan tiga penyebab: serangan penyakit, harga pakan naik akibat rupiah loyo, dan larangan penggunaan antibiotik pemacu pertumbuhan dan Ractopamine oleh regulator dalam pakan ternak.
Tak diantisipasi
Mana yang benar? Boleh jadi semuanya benar. Yang patut disayangkan, dari sekian penyebab itu, ada sejumlah faktor yang bisa dikendalikan dan dikelola. Cuti panjang mestinya bisa diantisipasi dengan pengelolaan stok. Apalagi, menurut Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, produksi telur dan daging ayam tahun 2018 surplus. Cuaca ekstrem juga bisa dimitigasi. Mengapa ini tidak diantisipasi sejak dini?
Semua pihak perlu menyadari bahwa strategi stabilisasi harga memerlukan integrasi hulu-hilir, dari kebijakan produksi, referensi harga, subsidi harga bagi warga kurang mampu, operasi pasar dan sistem tata niaga. Ternyata langkah kita tambal sulam, terputus di sana-sini.
Harus diakui, tidak mudah membenahi industri perunggasan. Pelbagai langkah telah ditempuh, tetapi masalah belum terurai. Sebagai regulator dan wasit yang adil, pemerintah harus mengambil pelajaran dari kasus ini dengan memetakan akar masalahnya. Masalah di industri perunggasan bersifat struktural. Pertama, di hulu hampir semua input produksi bergantung impor. Bukan hanya biang benih ayam (great-grand parent stock/ GGPS), benih ayam (grand parent stock/GPS), dan bibit ayam (parent stock/PS), juga input pakan (bungkil jagung dan kedelai). Ketika harga GGPS/GPS/PS dan bahan pakan di pasar dunia naik atau rupiah loyo, imbasnya langsung terasa di pasar domestik.
Kedua, dominasi perusahaan perunggasan besar. Industri perunggasan terkonsentrasi pada segelintir pelaku, baik penguasaan aset, omzet, maupun pangsa pasar. Produsen GGPS hanya satu perusahaan, dan industri GPS tak lebih dari 15 perusahaan dengan dua perusahaan menguasai pangsa pasar 70%. Industri pembiakan bibit ayam (PS) ada 100 perusahaan dengan lima perusahaan menguasai pangsa pasar 80%, dan 20% sisanya terbagi di antara 95 perusahaan kecil-menengah. Integrasi vertikal dan horizontal amat tinggi (Arifin, 2016).
Kondisi itu membuat pasar amat rentan dan mudah jadi ajang permainan pihak yang kuat apabila pasokan-permintaan tak seimbang, salah satunya lewat praktik predatory pricing. Misalnya, harga normal anak ayam (DOC) Rp 4.000/kg, tetapi dibanting hanya Rp 2.000/kg, bahkan gratis. Peternak kecil yang punya PS penghasil DOC akan mati. Praktik banting harga diakhiri apabila pesaing atau peternak kecil mati. Akibatnya, di hilir—peternak rakyat, pedagang eceran, dan konsumen—akhir ayam akan terombang-ambing oleh harga seperti roller coaster.
Sebagian perusahaan integrator juga terintegrasi dengan perusahaan pakan. Dengan penguasaan input lengkap itu, peternak mitra integrator bisa dapat kemudahan akses input produksi (DOC, pakan, vaksin) dan pasar. Peternak mitra juga dapat peluang harga input lebih murah ketimbang peternak mandiri. Dengan kondisi seperti itu, posisi peternak mandiri amat rentan. Peternak mandiri menanggung kerugian dari dua sisi: biaya input tinggi, dan kelebihan pasokan ayam hidup dan telur membuat harga jual (output) rendah.
Jalan keluar
Pertama-tama harus ada pembenahan data, baik data impor GGPS/GPS/PS maupun data produksi jagung untuk pakan. Data yang akurat prasyarat kunci kebijakan. Kelebihan pasokan daging ayam dan telur pada 2017 akibat impor berlebih GGPS/ GPS/PS pada 2013-2014. Saat itu permintaan daging ayam diestimasi tinggi lewat wacana double consumption. Karena sisi konsumsi tak pernah disentuh, angka konsumsi tidak juga naik. Perlu diingat, perencanaan produksi daging ayam dan telur perlu waktu 1,5-2 tahun. Produksi ayam dan telur tak dapat diakselerasi/dihentikan mendadak apabila ada fluktuasi permintaan.
Jagung merupakan komponen utama pakan ternak, mengambil pangsa 50%-55%. Sengkarut ketersediaan jagung dari produksi domestik yang kemungkinan di atas estimasi jadi penyumbang penting kemelut industri perunggasan. Pada 2015, produksi jagung 19,8 juta ton atau surplus 5 juta ton. Di atas kertas, industri pakan tak perlu impor. Kenyataannya, impor jagung untuk pakan mencapai 3,07 juta ton.
Pada 2016, produksi jagung dilaporkan 23,16 juta ton. Yakin surplus besar, pemerintah melarang impor jagung. Impor jagung turun, tinggal 884.679 ton. Namun, harga jagung domestik melonjak tinggi dan tidak kompetitif untuk pakan. Akhirnya perusahaan pakan mengganti jagung dengan gandum. Impor gandum untuk pakan melonjak drastis: dari 0,02 juta ton (2015) jadi 2,5 juta (2016). Penurunan impor jagung menjadi tak berarti karena industri ternak terpukul dan impor gandum melonjak.
Berikutnya, perusahaan integrator wajib menyelesaikan integrasi hingga ke hilir. Pelaku integrasi vertikal wajib membangun rumah pemotongan unggas berikut cold storage dan industri pengolahan. Korporasi integrasi vertikal harus mengintegrasikan seluruh mata rantai nilai dari produksi primer, distribusi, pengolahan, pemrosesan, hingga penjualan di pasar dengan pendekatan from feed to meat. Korporasi harus melayani pasar premium, yakni pasar hotel, restoran dan katering, pasar modern, dan pasar ekspor melalui rantai dingin (cold chain). Sebaliknya, pasar tradisional dilayani peternak rakyat melalui rantai segar (fresh chain). Pemisahan ini akan mengeliminasi watak predatorik perusahaan integrator.
Terakhir, menetapkan jagung, daging ayam dan telur ayam sebagai pangan pokok. Dengan menetapkan ketiga komoditas sebagai pangan pokok, seperti diatur dalam Pasal 1 Ayat 15 Peraturan Pemerintah No 17/2015 tentang Pangan dan Gizi, pemerintah bisa mengatur harga, stok, cadangan, distribusi, dan ekspor-impor. Ketersediaan/pasokan jagung yang pasti dengan harga terjangkau merupakan salah satu pilar bagi terciptanya industri perunggasan yang kompetitif. Pengaturan harga daging ayam dan telur ayam lewat harga dasar dan harga atas menyediakan dua perisai. Ketika harga jatuh, produsen terlindungi dari kerugian lewat harga dasar. Ketika harga tinggi, daya beli konsumen terjaga lewat harga atas.
Harus diakui, sektor perunggasan memiliki peran penting. Penyerapan tenaga kerja di industri pembibitan, pabrik pakan, budidaya, obat-obatan/vaksin, peralatan, dan pascapanen mencapai 3,75 juta dengan nilai lebih dari Rp 100 triliun (Diwyanto, 2015). Berkat revolusi peternakan, industri perunggasan berkembang pesat dan jadi pemasok protein murah. Pada 2016, produksi ayam ras pedaging 1,72 miliar ton, ayam ras petelur 105,74 juta ton, ayam buras 315,54 juta ton, dan telur 1,62 miliar butir.
Saat ini kita telah mampu mencukupi kebutuhan dari produksi sendiri untuk daging ayam dan telur, serta telur dan daging unggas lokal. Dengan harga terjangkau, partisipasi konsumsi daging unggas mencapai 57% dan telur 80% (Susenas, 2011), tertinggi di antara produk pangan hewani. Terlalu sembrono membiarkan industri rakyat ini menuju senja kala.
Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI); Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-Sekarang)