Pemilu 2019 dan Selebritasisasi Politik
Menjelang Pemilu Legislatif 2019, sejumlah selebritas tak hanya direkrut oleh parpol-parpol mapan. Banyak dari mereka bergabung dengan parpol baru. Mengapa mayoritas parpol di Indonesia selalu tertarik merekrut selebritas dalam menghadapi pemilu? Apa dampak dan manfaatnya bagi dunia politik Indonesia?
Selebritas adalah seseorang yang dikenal dan dikagumi oleh khalayak luas karena suatu keunikan yang telah dimilikinya, baik melalui proses pencapaian maupun pewarisan (Boorstein, 1971). Selebritas umumnya lahir melalui beragam industri media dan budaya populer. Bahkan, banyak juga di antara mereka yang dilahirkan melalui jasa tangan- tangan ahli PR dan promotor (Gamson, 1994). Proses terbentuknya seseorang menjadi sosok selebritas sering disebut sebagai selebrifikasi (Driessens, 2013).
Proses ini tak hanya ditentukan keunikan dan atau capaian yang dimiliki individu (calon) selebritas semata, tetapi juga ekspektasi dari orang-orang di sekitar yang menjadi (calon) penggemarnya. Dalam proses itu, keberadaan industri media dan budaya serta teknologi dan jaringan komunikasi memiliki peran penting dalam memproduksi, merepresentasikan, dan mengomodifikasikan individual (calon) selebritas tersebut menjadi sosok selebritas (Driessens, 2013: 643)
Dari sejumlah selebritas yang lahir melalui industri tersebut, beberapa di antara mereka tertarik pada isu-isu atau bahkan memasuki arena politik. Mereka ini umumnya dilabeli sebagai selebritas politisi (West dan Orman, 2003; Street, 2004). Mereka bisa dikategorikan secara beragam, berdasarkan latar belakang profesi (West dan Orman, 2003), jenis aktivitasnya di ruang-ruang publik dan politik (Street, 2004; Mukherjee, 2004; ’t Hart dan Tindall, 2009), dan ragam advokasi dan tindakan yang dilakukannya di arena politik (Marsh, ’t Hart, dan Tindall, 2010).
Mayoritas selebritas relatif mampu eksis dan beredar dalam area kehidupan selebritas (celebrity sphere). Namun, tak banyak yang dapat memasuki area-arena kehidupan politik. Hanya mereka yang mampu memasuki kedua jenis area inilah yang akan terus-menerus eksis sebagai selebritas-politisi (Marsh, ’t Hart, dan Tindall, 2010).
Dinamika terbentuknya dan meningkatnya jumlah selebritas (dan sekaligus) politisi di kedua arena tersebut dan daya konvergensi kedua arena tersebut yang mengubah struktur politik dan pola relasi antara warga negara dan aktor-aktor politik inilah yang nantinya akan melahirkan dan menentukan perkembangan arah selebritasisasi politik (Turner, 2004: 133; Mancini, 2011: 51; Wheeler, 2013).
Selebritasisasi politik
Fenomena keterlibatan selebritas dalam panggung politik di Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejak masa Orde Baru, para selebritas sudah banyak terlibat dalam arena politik, khususnya menjelang pemilu. Peran mereka pun cukup beragam. Mulai dari sekadar penghibur, endorser, dan vote getter hingga caleg (Ginting, 2008; Danial, 2009; Ufen, 2010).
Pasca-Reformasi, posisi dan peran selebritas agak berbeda. Mereka tak lagi jadi pelengkap para politisi. Bahkan, banyak di antara mereka berkembang menjadi politisi kelas satu. Adanya perubahan sistem pemilu yang diiringi kebebasan pers dan media tak hanya menjadikan ruang bermain para selebritas makin lebar. Lebih dari itu, telah membuka pintu berkembangnya selebritasisasi politik di Indonesia.
Fenomena ini setidaknya ditandai dengan dua hal berikut. Pertama,meningkatnya jumlah parpol yang merekrut selebritas untuk menjadi pendukung dan vote getter dalam pemilu atau calon anggota legislatif. Kedua, meningkatnya jumlah selebritas yang menjadi calon ataupun yang terpilih menjadi kepala/wakil kepala daerah dan anggota legislatif, khususnya DPR RI.
Fenomena itu terus berkembang selama beberapa periode terakhir. Pada Pileg 2004, dari 48 parpol peserta pemilu, 13 parpol menjadikan selebritas sebagai caleg dan tujuh di antara mereka melenggang ke Senayan. Pada Pileg 2009, 11 dari 38 parpol peserta pemilu juga melakukan hal yang sama, dan 18 di antara mereka mendapatkan kursi di DPR. Pada Pemilu 2014, 10 dari 12 parpol nasional peserta pemilu juga menempuh langkah serupa, dan 22 orang di antara mereka juga mendapatkan kursi tersebut.
Dalam Pileg 2004, sejumlah parpol pada umumnya memasang sejumlah selebritas untuk merebut kursi DPR di sejumlah daerah pemilihan (dapil) di Provinsi DKI Jakarta, Jateng, Jatim, dan Jabar. Namun, dalam Pileg 2009 dan 2014, parpol-parpol pengusung selebritas mulai memasang mereka untuk memperebutkan kursi DPR di sejumlah dapil di sejumlah provinsi di luar Jawa, seperti Sumut, Sumsel, Sumbar, Riau, dan Lampung.
Dibandingkan parpol lain, PDI-P, Golkar, dan Demokrat pada Pileg 2004 lebih mampu membawa caleg selebritas yang diusungnya mendapatkan kursi di DPR. Namun pada Pileg 2009 dan 2014, PDI-P, Demokrat, dan PAN lebih berhasil dalam mengantarkan sejumlah selebritas mendapatkan kursi di Senayan dibandingkan dengan Golkar maupun Gerindra dan PKB.
Dalam Pileg 2009, Partai Demokrat jadi partai yang paling berhasil membawa para selebritas yang dicalonkannya memenangi kursi legislatif. Namun, dalam Pileg 2014, PAN lebih mampu mengantarkan caleg selebritas yang dicalonkannya masuk ke Senayan. Tingkat keterpilihan caleg selebritas dari pemilu ke pemilu tampak terus meningkat, yaitu dari 18% dalam Pileg 2004, jadi 31% dalam Pileg 2009, dan 29% dalam Pileg 2014.
Berharap manfaat
Tren bergabung atau direkrutnya selebritas sebagai caleg tampak kian marak menjelang Pileg 2019. Terbukti, jumlah selebritas yang mendaftar sebagai caleg terus meningkat. Tercatat, 71 selebritas diusung sembilan partai, termasuk Nasdem (27 orang), PDI-P (13), PKB (7 orang), dan Partai Berkarya (7 orang).
Manfaat apa yang bisa kita peroleh dari tren tersebut? Meningkatnya jumlah dan partisipasi selebritas dapat memberikan warna baru bagi dunia politik di Indonesia. Pertama, daya pesona personal mereka dapat dijadikan modal untuk membantu parpol dalam membangun daya magnetisme politik, khususnya di kalangan pemilih. Selain menawarkan model personalisasi dan estetisisasi politik yang dapat diadaptasi oleh para pemimpin parpol yang merekutnya, mereka juga bisa mentransformasikan personal brand yang dimilikinya untuk meningkatkan personal brand partai dan pemimpin partai yang didukungnya.
Kedua, gaya dan kemampuan komunikasi personal yang dimiliki sejumlah selebritas dalam menarik perhatian dan meraih simpati publik juga dapat ditularkan kepada dan diadaptasi oleh para aktivis dan pemimpin parpol yang merekrutnya. Kemampuan seperti ini sangat dibutuhkan oleh para aktivis dan pemimpin parpol untuk membangun strategi narasi dan persuasi politik yang lebih menarik di mata pemilih. Kemampuan ini juga diperlukan untuk mem- branding diri mereka di tengah dinamika dan arena politik.
Selebritas muda dapat diminta lebih berkontribusi dalam mengembangkan model-model retorika politik parpol agar lebih sesuai dengan budaya populer, dan lebih penting lagi memenuhi cita rasa politik pemilih yang jadi targetnya. Selebritas yang memasuki gelanggang politik dapat saja jadi politisi kelas satu. Mereka dapat membantu para pemimpin parpol mengembangkan model-model komunikasi dan kaderisasi politik zaman now. Tentu dengan sejumlah syarat.
Mereka harus mampu mentransformasikan diri menjadi politisi kompeten dan profesional. Harus bisa beradaptasi dan ikut mengembangkan budaya dan kelembagaan organisasi parpol yang merekrutnya. Harus mampu meningkatkan daya magnetis parpol untuk dapat kepercayaan politik dari pemilih. Lebih penting lagi, harus terus terkoneksi dan mampu memperjuangkan serta melayani konstituen dan pemilih secara maksimal.
Nyarwi Ahmad Director for Presidential Studies-DECODE, Fisipol UGM