Memasuki era pemilu legislatif dan presiden tahun 2019, kita banyak mendengar anjuran agar momen ini dihayati dengan damai, penuh syukur, dan sukacita.
Kemarin, di harian ini, kita membaca lagi imbauan senada yang disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Ia berharap komponen bangsa memelihara keadaban, kebersamaan, kedamaian, toleransi, dan keutamaan (Kompas, 13/8).
Kita yakin, secara umum para elite yang ambil bagian dalam kontestasi politik ini, dalam hal pilpres antara petahana dan penantangnya, adalah sosok negarawan yang memiliki kearifan untuk mendahulukan kepentingan bangsa di atas kemenangan. Namun, kita juga awas, dalam pesta politik ada elemen massa yang—dengan latar belakang masing-masing—bisa menganut paham kemenangan adalah segala-galanyanya tanpa memedulikan kemungkinan dampak buruk bagi kehidupan berbangsa.
Dengan kata lain, dalam upaya meraih kemenangan, sikap dan semangat harus tetap mencerminkan keanggunan (elegance) dan keagungan sesuai dengan muruah jabatan yang diperebutkan. Di sinilah ungkapan keadaban dan keutamaan mendapatkan makna yang sesungguhnya.
Semua pihak diharapkan, kalau bukan dituntut, menegakkan keadaban dan keutamaan. Sekadar contoh, komunitas media pun mendeklarasikan keadaban (bermartabat) dalam meliput pemilu dan pilpres di Solo, 6 Agustus 2018. Deklarasi ditujukan agar yang dihasilkan adalah pemilu yang berkualitas.
Seiring dengan keadaban dan keutamaan, kita yakin akan lahir sikap dan buah lainnya, terutama kedamaian dan kebersamaan. Di sini pula kita ingin menegaskan apa yang disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah bahwa kontestasi politik tidak perlu menjadi penyebab keretakan, konflik, apalagi permusuhan antarsesama komponen bangsa.
Peringatan di atas mungkin terdengar biasa, tetapi sebenarnya mengandung pesan penting. Seruan damai dan bersatu dewasa ini sangat aktual justru ketika secara faktual kita sedang dihadapkan pada berbagai tantangan global mutakhir, khususnya dalam bidang ekonomi, perdagangan, dan industri.
Jargon disrupsi dan industri 4.0 yang acap kita dengar bukan wacana kosong. Sudah banyak berita yang menyebutkan perusahaan gulung tikar, jutaan lapangan kerja hilang, dan teknologi baru yang canggih dan efisien akan semakin berperan dalam berbagai sisi kehidupan kita.
Menghadapi era tersebut, tak mungkin kita meresponsnya dengan baik jika energi dan persatuan kita porak-poranda. Respons terbaik adalah hanya jika kita bersatu dalam mengerahkan pikiran terbaik seluruh komponen bangsa.
Kita akhiri catatan ini dengan mengulangi penegasan Haedar Nashir bahwa kontestasi politik tak semata-mata hanya ingin sukses meraih kekuasaan. Yang tidak kalah penting adalah mewujudkan idealisme, nilai-nilai dasar, dan cita-cita nasional luhur sebagaimana diletakkan (oleh para) pendiri bangsa. Harapan Ketua Umum PP Muhammadiyah di atas kiranya juga merupakan harapan kita semua.