Mencari Indonesia
”Apa arti Indonesia bagi Ong?” tanya Andi Achdian kepada sejarawan Onghokham (1933-2007).
Pertanyaan dilontarkan dalam sebuah obrolan ringan, sebagaimana dinukilkan dalam Sang Guru dan Secangkir Kopi (2011). ”Bila tak ada Indonesia, kau akan berjalan membungkuk-bungkuk di hadapan raja-raja Jawa,” balas Ong dengan intonasi datar.
Bagi doktor lulusan Yale University, AS (1975), itu, Indonesia sebuah konstruksi kenyataan yang memungkinkan persamaan di antara warga negara dan membebaskan orang dari ikatan primordial dari Sabang sampai Merauke. Indonesia adalah pencapaian paling ajaib sebuah negara-bangsa, dengan wilayah geografis sebanding dengan perjalanan dari London menuju Istanbul, dari ujung barat sampai timur. Gerakan separatisme di Aceh dan Papua tak mengakibatkan balkanisasi, tak pula terbelah sebagaimana India menjadi Pakistan dan Bangladesh (1947).
Sidik jari keindonesiaan
Suatu ketika, siswa-siswa Sekolah Menengah Belanda (HBS) ditawari menjadi warga Belanda atau tetap menjadi orang Indonesia. Dari puluhan siswa, hanya satu memilih Indonesia. Dia Onghokham, sejarawan nyentrik yang pada era 1980-1990-an produktif menulis di Kompas, Tempo, dan Prisma. Ia beda dengan Sartono Kartodirjo dan Nugroho Notosusanto, dua sejarawan yang hampir jadi penentu hitam-putihnya historiografi Indonesia. Alih-alih predikat guru besar, kepangkatan pegawai pun tak ia urus, bahkan sampai pensiun.
Andai saja Ong bangkit dari kubur, tentu ia akan turut berkomentar perihal kontroversi akibat insiden bendera saat sprinter Indonesia, Lalu Muhammad Zohri, meraih kemenangan pada Kejuaraan Dunia Atletik U-20 kategori lari 100 meter di Finlandia. Media menyebarluaskan fotoZohri yang menyelimuti tubuhnya dengan bendera Merah Putih, yang ternyata bukan bendera dari ofisial, melainkan bendera Polandia dalam posisi terbalik.
Kontroversi serupa mengemuka pada 15 Agustus 2016. Berselang dua hari sebelum gegap gempita karnaval Hari Ulang Tahun Ke-71 Kemerdekaan RI, seorang menteri secara terhormat diberhentikan dari jabatannya. Pencopotan lantaran status kewarganegaraan asing yang melekat pada menteri bersangkutan. Dihitung dari pelantikan hingga pemberhentian, umur jabatan menteri itu tak lebih dari 20 hari. Jabatan menteri paling pendek.
Perihal menipisnya sidik jari keindonesiaan atau mengentalnya mentalitas inferior ”menjadi Indonesia”—hingga makin banyak anak bangsa dalam berbagai profesi di luar negeri tak segan-segan melepas baju keindonesiaan dengan rupa-rupa dalih dan pertimbangan—saya teringat upaya gigih seorang putra Indonesia yang terbuang bertahun-tahun di negeri orang guna mendapatkan kembali kartu tanda penduduk Indonesia-nya. Saya sebut saja namanya Sobron Aidit (1934-2007).
Sejak 1964, Sobron bekerja sebagai pengajar sastra dan bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing, selain berkhidmat sebagai wartawan Peking Review. Tak berselang lama sejak ia berdomisili di Beijing, tersiar kabar tentang tewasnya Bang Amat—begitu Sobron memanggil kakaknya, DN Aidit—setelah dibunuh tentara di Boyolali. Karena sedang di Beijing, Sobron dan keluarga serta ratusan orang Indonesia lain selamat dari penumpasan rezim Orde Baru.
Mereka terpaksa bermukim di China sambil berharap bisa pulang ke Tanah Air. Harapan tak pernah kesampaian, pemerintahan Orde Baru rapat-rapat menutup pintu bagi mereka. Akhirnya, Sobron menggelandang di negeri orang, 18 tahun di China, 21 tahun di Paris.
Pada 1982, Sobron bersama Umar Said, JJ Kusni, Ibbaruri (putri DN Aidit), dan kawan-kawan sesama eksil mendirikan sebuah restoran Indonesia di Rue de Vaugirard, jantung kota Paris. Apa yang sebenarnya hendak dicari Sobron? Selain untuk bertahan hidup, restoran itu menjadi saksi bahwa kaum eksil tak sungguh-sungguh merasa terasing dari Tanah Air mereka, Indonesia.
Di restoran itu mereka menyajikan aneka masakan khas Indonesia, dari nasi rawon, gudeg jogja, hingga rendang padang, seolah mereka tak sedang berada di negeri orang. Banyak aral melintang menghadang Sobron selepas mendirikan restoran itu. Kedubes RI di Perancis mengeluarkan maklumat larangan berkunjung ke restoran milik orang- orang kiri itu meski tak banyak yang mematuhi. ”Masa makan di restoran saja dilarang?” tanya Sobron dalam buku Melawan dengan Restoran (2007), yang ia tulis bersama Budi Kurniawan.
Jargon mencemaskan
Pertentangan ideologis masa lalu telah membuat hidup Sobron selalu berada di bawah tekanan dan ancaman, bahkan dalam urusan restoran yang tujuannya hanya untuk menyediakan lapangan kerja bagi kaum eksil pun dihubungkan dengan perkara ideologi. Tetapi, begitulah Sobron. Apabila lewat restoran itu ia dapat melawan, tak bakal ia sia- siakan peluang itu. Nasib kaum eksil yang terkatung-katung di negeri orang harus diperjuangkan. Lewat menu makanan, Sobron menyemarakkan semangat keindonesiaan di restoran yang kelak menjadi tempat berkumpul para pejabat Tanah Air saat melancong ke Paris. Gus Dur berkali-kali singgah di sana.
Meski jauh, hampir setiap hari tulisan Sobron dapat dijumpai di berbagai mailing list. Ia berdiskusi, bahkan tak jarang berdebat sengit, dengan kawan-kawan penulis muda Tanah Air. Sobron maniak diskusi meski usianya sudah renta. Ia tak pernah abai pada kritik dan tanggapan sesama anggota mailing list terhadap tulisan-tulisannya. Selalu dibalas, dan balasan itu lebih panjang daripada esainya yang sedang jadi pusat perhatian.
Dalam sehari, tak kurang 3-4 tulisan ia kirimkan. Rata-rata lebih dari delapan halaman. Sebuah gambaran energi kreatif yang tiada pernah sumbing meski usianya masa itu sudah berkepala tujuh. Dapat dibayangkan betapa tekun ia duduk berlama-lama di depan komputer.
Beberapa hari sebelum Sobron meninggal dunia, 10 Februari 2007, seperti diceritakan salah seorang anaknya, ia terpeleset dan jatuh di sebuah stasiun bawah tanah di Paris saat mencari layanan internet untuk urusan berkomunikasi dengan kawan- kawan di Indonesia. Hingga ajal datang menjemputnya, Sobron masih tercatat sebagai pemegang paspor Perancis, tetapi Indonesia adalah nyala yang tak kunjung padam dalam hidupnya.
Sobron dan Onghokham adalah anomali dalam gerombolan anak muda yang tak segan menghapus sidik jari Indonesia di tubuh mereka. Ada yang berupaya keras merebut kembali napas keindonesiaan yang hilang dari tubuhnya, ada pula yang jemawa sebagai Malin Kundang, mengunci pintu kerinduan pada rahim bernama Indonesia. Orang yang mencari Indonesia hingga napas penghabisan, seperti Sobron, dan orang yang tak merdeka tanpa identitas keindonesiaan, seperti Onghokham, sudah tiada. Yang tersisa hanya jargon ”NKRI Harga Mati”, sama-sama diteriakkan dua sayap politik yang terus berseteru. Alih-alih memperkokoh tiang-tiang penyangga Indonesia, jargon itu justru membangkitkan kecemasan akan ketercabikan yang sukar diselamatkan.
Damhuri Muhammad Pengajar Filsafat Universitas Darma Persada, Jakarta